Sepotong Kisah

Sepotong Kisah

Sepotong Kisah

Oleh: Cici Ramadhani

Bel berbunyi begitu nyaring, pertanda pelajaran telah berakhir untuk hari ini. Dibanding teman-temanku yang terlihat begitu senang hingga terkesan terburu-buru memasukkan buku ke dalam tas, kemudian berebutan keluar kelas, aku lebih enggan untuk pulang ke rumah. Rumah yang selalu menjadi tujuan akhir untuk semua orang, dan seharusnya pun diriku. Andai aku bisa memilih, aku tak ingin pulang, namun aku tak punya tujuan lain selain rumah, bertemu dengan Ibu.

Setiap hari, aku akan menghabiskan setengah sampai satu jam setelah pulang sekolah di dalam kelas, mengerjakan PR atau hanya sekadar membaca buku yang kupinjam dari perpustakaan. Bahkan pernah karena keasyikan membaca, aku hampir terkunci di dalam kelas oleh penjaga sekolah.

Beberapa kali Ibu bertanya mengapa aku pulang begitu telat dibandingkan dengan Tika–anak tetangga–yang juga satu sekolah denganku? Dan aku selalu mempunyai alasan yang tak pernah dicurigai Ibu. Yaitu membersihkan kelas karena ada jadwal piket atau habis mengerjakan tugas kelompok.

Ya, begitulah tiap harinya kulalui dengan hal yang sama selama setahun belakangan ini. Kuharap aku bisa bertahan setahun lagi menyelesaikan bangku sekolah, kemudian aku akan punya tujuan lain selain pulang ke rumah. Kemana pun itu, asal bukan ke rumah. Akankah keinginanku ini terwujud?

Terik matahari seakan membakar kulit wajahku, hangatnya terasa menembus seragam putih abu yang kukenakan. Namun, itu tak membuatku mempercepat langkah menuju halte bus yang ada di persimpangan, yang jaraknya hanya sekitar seratus meter dari gerbang sekolah.

Aku tak sedang terburu-buru, aku tak sedang mengejar sesuatu, atau aku tak merindukan apa pun yang membuatku untuk bergegas pulang. Bahkan setelah sampai di rumah aku hanya akan mengurung diri di kamar. Aku tak pernah bergaul dengan siapa pun. Aku tak sanggup mendengar gunjingan para tetangga tentang ibuku. Hanya sedikit dari mereka yang menatapku dengan iba.

Sejak Bapak meninggal, kehidupan kami berubah drastis. Aku yang saat itu masih berusia lima tahun tidak memiliki banyak kenangan bersama almarhum Bapak. Hanya saja dari cerita Ibu, Bapak begitu menyayangi kami. Hidup kami juga tidak kekurangan. Raja dan Ratu, begitulah Bapak memberikan nama untuk kami–kedua buah hatinya.

Namun setelah kepergiannya, bukan hidup bagai Raja dan Ratu sesungguhnya, kami malah hidup bagai rakyat jelata. Satu per satu harta peninggalan Bapak habis. Bahkan rupa bak Ratu sesungguhnya pun tak kumiliki. Aku mewarisi kulit sawo matang dari almarhum Bapak dan bentuk wajah lainnya kudapat dari Ibu. Bentuk mulut yang lebar, hidung bangir, mata bulat, serta rambut hitam legam yang menjuntai hingga ke pinggang. Hanya itu keindahan yang kupunya.

Aku mendengar, Ibu menjual mobil dan rumah yang pernah dibeli Bapak di kampung. Selain untuk memenuhi kebutuhan kami, uang itu juga diputarkan dengan cara dipinjamkan pada tetangga dengan bunga yang cukup tinggi. Ya, ibuku kini menjadi seorang rentenir. Apabila tak ada yang sanggup membayar ketika jatuh tempo, tak segan Ibu akan mencaci maki mereka. Terkadang saling hujat pun terjadi antara Ibu dengan para tetangga. Saat itulah aku baru tahu kalau Ibu adalah istri kedua Bapak dan hanya dinikahi siri. Karena itu, walaupun Bapak seorang Pegawai Negeri Sipil, Ibu tak pernah mendapatkan gaji pensiunan Bapak karena sedikit pun, tak ada hak Ibu di sana.

Bagai uang setan dimakan hantu, modal dari harta peninggalan Bapak yang dijalankan Ibu dengan sistem riba itu habis tak bersisa. Hingga saat Bang Raja tamat SMA, Ibu mengirimnya ke kampung halaman Bapak, berharap keluarga dari almarhum Bapak akan membantu Bang Raja mencarikan pekerjaan di kota.

Masa remaja yang kubayangkan indah, nyatanya tak sesuai impian. Bahkan untuk menegakkan kepala sambil berjalan pun aku tak mampu. Jika kebanyakan mereka mengenakan seragam putih abu dengan rasa bangga, hal itu tidak berlaku padaku. Bagaimana tidak, gosip bahwa aku anak pelakor cepat tersebar ke seluruh sekolah. Setiap hari dengan muka tembok aku harus masuk sekolah dengan tatapan hina serta cemoohan beberapa teman seangkatan serta kakak kelas. Bahkan sampai minggu lalu aku masih mendengar hinaan mereka.

“Aku yakin, seragam yang dipakainya itu dibeli dari hasil ibunya menjual diri,” ucap seseorang saat aku mengantre untuk membayar jajanan di kantin sekolah.

Saat menoleh kebelakang, kulihat Tika beserta teman-temannya.

“Pastilah. Ibunya pelakor, terkenal di kampung kami. Kemarin aja baru dilabrak karena ganggu suami orang. Kasian banget makanan yang masuk ke perutnya hasil uang haram,” tambah Tika.

“Mungkin ibunya pakai susuk, kalau gak mana mungkin banyak pria terjebak hingga rela memenuhi kehidupan mereka. Namanya aja Ratu, tapi gembel, jelek. Ibunya pasti gak jauh beda wajahnya sama dia.” Teman Tika yang satu lagi menimpali.

“Jangan-jangan dia juga punya bibit pelakor. Hati-hati, loh, Tika. Ntar bisa-bisa Agung gak ngapel ke rumahmu, melainkan nyasar ke rumah dia. Lagaknya aja lugu, rayuannya siapa yang tau.” Kali ini yang pendek berkacamata berbicara.

Mendengar ucapan mereka berempat tubuhku bergetar. Aku meletakkan kembali jajanan roti ke tempatnya dan segera berlari menuju toilet. Di dalam kamar mandi berukuran dua kali dua itu aku terisak-isak, memukul dada berkali-kali, mencoba mengeluarkan sesak. Selain julukan rentenir, kini Ibu menyandang gelar pelakor. Rasa malu, sakit, dan marah yang menjadi satu seakan menggerogoti jantungku. Bukan baru sekali seorang wanita melabrak Ibu ke rumah karena suaminya bermain gila dengan Ibu. Bukan juga baru sekali kulihat leher Ibu penuh dengan tanda bekas kemerahan yang mereka sebut dengan cupang.

Cemoohan yang meremas hati, tak hanya aku terima di sekolah. Tiap kali aku pulang-pergi melewati jalanan menuju sekolah, di warung saat aku membeli sesuatu, tak jarang mereka menelanjangiku dengan mata mereka yang bicara hal-hal yang sama kotornya dengan mulut mereka. Hal kotor yang memang nyata adanya. Ada yang dengan lantang mengeluarkan kata-kata itu, ada pula yang hanya berani saling berbisik-bisik.

“Sekali pelakor tetap aja pelakor.”

“Buah jatuh gak jauh dari pohonnya. Gimana ibunya, kelak begitu juga anaknya. Kudengar keluarga ibunya juga pelakor.”

“Pasti kepala desa ada main juga sama ibunya, kalau gak udah lama mereka diusir dari sini.”

Kata-kata kotor, cemoohan, telah turun bagai gerimis, lalu menghujani diriku, hingga kadang aku seperti tenggelam dalam keruhnya kata-kata itu. Aku bagai bernapas dalam lumpur kehidupan. Gelap, sesak, pengap, dan aku ingin keluar. Aku ingin lepas dari segala kekotoran itu, aku ingin menghirup udara segar, aku ingin bebas, aku ingin dihargai, aku ingin tidak disalahkan.

Minggu lalu, aku meminta Ibu untuk berhenti melakukan semua kebiasaannya. Ya, mengganggu suami orang setahun ini menjadi kebiasaan Ibu. Dari pejabat desa, bahkan sampai aparatur negara. Tentu mereka yang memiliki penghasilan tetap atau memiliki kekayaan lainnya.

Aku tak habis pikir dari mana Ibu menemukan pria-pria hidung belang itu.

“Bu, tolong berhentilah. Berhenti mengganggu kehidupan rumah tangga orang lain,” ucapku saat melihat Ibu merias dirinya di depan cermin.

Pakaian ketat membungkus tubuhnya, disertai polesan lisptik berwarna merah merona. Kuakui, Ibu sangat pandai menjaga bentuk tubuhnya. Ibu tak seperti wanita pada umumnya yang melar setelah melahirkan. Atau, Ibu memang sengaja menjaga penampilannya untuk memikat banyak lelaki?

“Kamu anak kecil jangan ikut campur!” bentak Ibu marah.

Aku tertunduk menahan perih di hati.

“Semua ini demi kalian biar bisa makan dan sekolah,” ucap Ibu sambil berlalu meninggalkan rumah dengan membanting pintu.

Kupandangi bingkai foto yang berada di meja belajarku. Foto Bapak sedang memangku diriku yang menggunakan topi kerucut beserta kue yang bertuliskan angka lima di sana. Kami terlihat begitu bahagia dengan senyum terkembang.

Sekali lagi, andai aku bisa memilih, aku ingin kembali menjadi anak kecil yang tidak mengerti apa pun tentang kejamnya hidup ini.

“Pak, kenapa Bapak begitu cepat pergi meninggalkan kami di sini?” sesalku di sela isakan tangis sambil memeluk erat pigura yang menjadi kenangan terakhirku bersama Bapak.

Cici Ramadhani, menyukai literasi sejak SMP. Namun,sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca.

Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply