Seperti Senja yang Merebutmu Dariku
Senja?
Sepertinya terlalu banyak cerita hanya dengan mendengar kata senja, beragam kisah terukir bersama lapisan jingga di langit sebelah barat.
Terkadang senja terlihat begitu memesona, amat memikat, dan membuatku hanyut dalam keindahannya. Tapi, kadang kala senja menjadi begitu menyakitkan, terasa sangat perih saat aku memandangi setiap guratan kuning kemerahan tersebut. Seakan senja membawa cerita yang berbeda dari waktu ke waktu, tak terbilang berapa banyak waktu yang sudah terlewat.
Dulu, senja selalu tampil memukau, membuat sebaris senyum tersungging dari bibirku. Namun, sekarang sudah tidak lagi, senja kembali mengambil senyum itu, tenggelam bersama mega yang—seolah—mulai kehilangan warna.
***
“Cuit … cuit…,” suara burung itu terdengar dari salah satu rimbunan pohon, membuatku mencari, juga menemukan.
Ya … itu adalah saat pertama aku bertemu denganmu.
Kala itu cahaya keemasan dari matahari yang hampir tenggelam seakan sedang menyinarimu. Membuatmu terlihat sangat memesona, mampu menawan hatiku lebih cepat. Aku tergugu. Terlebih saat angin bertiup lembut meyapu rambut panjangmu yang terurai, membuatnya nampak menari-nari, indah sekali.
Waktu seakan berputar lambat, membuat nuansa senja terus terekam di pikiranku.
Aku enggan beranjak, diam mematung sambil memerhatikanmu dari kejauhan. Seperti itukah sosok bidadari impian? Aku menghela napas, masih terus memandang dari balik salah satu pohon besar. Terpukau oleh indahnya ciptaan Tuhan.
Aku rasa senja sedang mempersembahkan keindahannya yang tersembunyi, terlebih saat engkau menatap ke arahku. Membuatku sedikit terkejut.
Aku ingat saat ini. Aku hanya bisa mematung, diam seribu bahasa dan tetap dalam kebisuanku. Kupikir engkau akan pergi, lenyap dalam sekejap mata, menghilang begitu saja. Tapi aku salah. Dengan langkah yang terasa ringan, kau menginjak dedaunan kering, melompat di antara bebatuan anak sungai. Kau berjalan menghampiriku dengan senyum yang mengembang, mengulurkan tangan.
Gambaran itu terus terekam, bersama senja yang membuat segalanya terasa berkesan. Hingga aku berpikir segala keindahan itu akan berlangsung selamanya, menetapkan bahagia yang takkan pernah luntur diterpa usia.
Namun lagi-lagi aku salah. Senja merebutmu dariku. Membuatku kehilangan dan melepasmu pergi dengan sejuta penyesalan.
***
Air mata yang tertimpa cahaya senja, suara isak yang terdengar begitu mengiris jiwa. Aku tertelan amarah. Berteriak lantang padamu kalau semua ini adalah salahmu.
Kilahmu kala itu tak pernah kudengarkan. Aku tetap bersikukuh bahwa aku benar dan kau salah. Aku tahu bahwa kau memang tak salah. Hanya saja keegoisan membuat semuanya menjadi rumit.
“Aku melihatmu bersamanya kemarin,” bentakku.
Kau meremas sapu tangan yang biasa kau bawa, menahan air mata dengan mendongak. Berpura-pura menatap daun-daun kering yang melepaskan diri dari ranting.
“Baiklah,” ucapmu pelan, “jika memang itu yang kau pikirkan. Maka lebih baik kita sudahi saja.”
“A—apa maksudmu?”
“Kita tidak bisa melanjutkannya lagi.”
Kau melepas cincin yang pernah kuberikan dan pergi tanpa pernah menengok ke belakang. Melangkah dengan penuh kekecewaan yang mendalam.
***
“Dewi Hutan, adakah aku bisa membuat permohonan? Kembalikan senja yang teramat indah padaku. Kembalikan senja yang ikut serta dibawanya,” aku memelas. Menunggu senjaku kembali sambil terduduk di depan anak sungai.
Aku menitikkan air mata. Baru tersadar kalau segalanya benar-benar salahku.
Aku yang sebenarnya pergi bersama wanita lain. Menjamu waktu dengan berselingkuh. Hanya saja aku tidak ingin terlihat kalau itu semua salahku, sehingga melimpahkan semua kesalahan padamu. Memutarbalikkan fakta.
“Apa gunanya sebuah hubungan tanpa kepercayaan,” katamu sebelum melepas cincin pertunangan kita. “Sekarang kau hanya mengatakan ini. Dan besok, kau mungkin akan mengatakan sesuatu yang lain.”
Kau berdiri memunggungiku, kembali berkata, “Kita tidak akan pernah bisa mempertahankannya. Dan kau tidak akan pernah bisa mempercayainya setiap kali ada yang salah dengan kita.”
Dan setelah itu aku tak pernah lagi mendengar suara lembutmu.
Jika saja saat itu kau berteriak marah. Mencaciku atas semua kebodohan yang telah kulakukan, mungkin ini tidak akan terlalu menyakitkan. Tapi saat itu kau hanya tertunduk, berbicara seolah semuanya baik-baik saja untukmu. Bahkan kau sempat tersenyum sebelum pergi.
***
Dulu, aku selalu melihatmu yang berdiri di sini. Memerhatikan dari kejauhan, dan memandangimu sampai matahari tenggelam di barat.
Tapi kini, aku menatap kosong tempatmu biasa berdiri. Duduk di kursi tempat kita sering bercerita dengan jiwa yang hampa.
Kau … adalah segala senja yang membuat hidupku menjadi penuh warna, menjadi lebih bermakna, juga menjadi lebih dewasa.
Dan sekarang aku harus pergi, sama seperti senja yang telah habis dan berganti gelap. Untuk esok lusa aku akan kembali lagi, menunggumu di tempat biasa kita bertemu. (*)
Penulis: Lily Rosella
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita