Seperti Rindu, Seperti Rumah

Seperti Rindu, Seperti Rumah

Seperti Rindu, seperti Rumah
Oleh : Ning Kurniati


Aku tidak habis pikir, kenapa Mira meninggalkanku setelah semua yang terjadi di antara kami. Bahkan, demi membahagiakannya kakiku tidak lagi menapak di desa setelah lima belas tahun yang silam. Rindu yang bersarang untuk pulang ke rumah bagaikan pil pahit yang setiap waktu mau tidak mau tertelan juga. Kabar orangtua pun hanya kudapatkan melalui kabar angin. Kabar dari warga desa yang kebetulan bertemu denganku di tanah rantau.

“Bapakmu telah meninggal sebulan yang lalu,” ucap Burhan yang saat itu menemukanku membeli pembalut untuk Mira di warung.

Mendengar hal tersebut rasanya seperti ada gemuruh guntur yang menghantam hati. Perlahan aku duduk pada bangku panjang, diam—tidak bisa berkata apa-apa. Pikiranku melayang ke hari-hari di mana aku dan Bapak menghabiskan waktu bersama: pergi ke ladang, berjalan kaki ke pasar, dan bergelendot di lengannya ketika pulang ke rumah. Rasa sesal menyeruak di dalam dada, betapa aku sebagai anak tidak berguna. Berbakti pun tidak, sekadar di sisinya, memegang tangannya ketika malaikat maut datang menjemput ajal. 

Burhan berdiri menatapku seolah menanti kata apa yang akan kuucapkan. Namun, aku tidak bisa mengatakan apa pun. Lidah kelu hanya untuk sekadar mengucap satu kata. Cukup lama kami berada pada posisi yang kaku. Aku menunduk, sedangkan dia berdiri di hadapanku.

Alih-alih menanyakan kabar Emak, aku justru berterima kasih. Seketika Burhan mendengkus seperti kerbau dan berlalu meninggalkanku. Alih pandang matanya begitu tajam, tidak enak untuk dilihat seolah meyiratkan memiliki segunung kebencian terhadapku. Memangnya di saat seperti ini kata apa yang mesti keluar dari mulutku. Dia mungkin tidak pernah meyangka, aku hanya akan mengucap kalimat tersebut. Jadi, pun bila dia marah, dan ketika kembali ke desa membeberkan hasil pertemuan kami, kemudian membumbuinya dengan cerita tambahan, aku tidak mempermasalahkannya. Wajar saja dia berpikiran buruk tentangku. Aku memang buruk, bukan?

Aku bangkit dari tempatku duduk dan buru-buru kembali ke rumah menemui perempuan yang mengisbatkan dirinya sebagai wanitaku, istriku tanpa kami pernah melakukan sebuah upacara pernikahan secara sah di mata pegawai kantor urusan agama. Bahkan, aku sudah lupa kapan terakhir beribadah dan melibatkan Tuhan dalam urusan hidupku. Satu yang kutahu, aku harus bahagia. Dan bersama dengan Mira aku bisa merasakan kebahagiaan itu.

Aku bertemu dengan dia pada suatu malam di bawah naungan cahaya bulan purnama. Wajahnya putih, seputih tepung yang sering digunakan Emak membalut pisang goreng, seolah bercahaya. Dengan wajah itu pula aku seakan tersedot ke dalam dirinya. Terlebih ketika bibir merahnya yang merona menyunggingkan senyum. Kupikir dia adalah bidadari yang sering dikatakan para pemuda di desaku. Tetapi, hujan tidak turun malam ini. Lalu, dari mana bidadari ini berasal? Setengah meracau aku menangkap pergelangan tangannya, mencengkeram, tidak ingin dia pergi, dan berlalu begitu saja sehingga kehadirannya bagai mimpi. Tidak, tidak akan kubiarkan itu terjadi. 

“Hei!” Setengah berteriak dia berusaha melepaskan cengkeramanku. “Kamu tahu, apa yang kamu lakukan ini salah?”

“Aku tahu,” jawabku membungkuk melihat wajahnya. Rasanya aku tidak bisa berhenti untuk sekadar mengedipkan mata. Jangan pikir aku berpikiran cabul dan dengan itu aku melihat bagian tubuhnya yang lain, tidak. 

“Kamu itu sedang mabuk! Jangan berlaku tidak sopan denganku!”

“Ushhh, kamu itu bidadari yang dikirim Tuhan untukku.”

“Tahu apa kamu tentang Tuhan. Dasar sinting!”

Mulutnya terus berkomat-kamit mengucap sesuatu, tetapi aku tidak mengerti. Mataku tidak bisa berpindah sama sekali dari wajahnya itu, hingga sesuatu menghantam kepalaku, sangat keras, sakit. Aku limbung. Terjatuh. Cengkeramanku terlepas begitu saja, lalu semuanya gelap.

*

Sesuatu yang dingin menempel pada kulit wajahku, terus berpindah-pindah di sana, sebentar ada sebentar menghilang. Aku membuka mata dan lagi wajah perempuan itu kembali hadir di hadapanku, meski tidak secerah semalam. Aku kira wajah itu hanyalah mimpi yang hadir dalam tidurku, ternyata tidak, dia nyata.

“Baguslah, kalau kamu sadar.”

“Memangnya, sebelumnya aku tidak sadar?”

Dia berdiri, mendengkus dan berlalu meninggalkanku. Mata kuedarkan mengamati ruangan. Aku berada di sebuah ruang yang sangatlah sempit. Barang-barang terletak ditumpuk di mana-mana: pakaian, kasur, bantal, perabotan makan, dan segala peretelan yang layaknya ada dalam sebuah rumah. Perlahan aku bangkit dan bersandar. Tunggu, apa perempuan bidadari itu yang membawaku ke sini? Apa dia juga yang menghantam kepalaku? Aku tidak bisa mengingat selain wajahnya yang kutatap dan tidak lagi bisa merasakan apa-apa.

“Teman-temanku membawamu kemari semalam. Kami takut kamu mati. Jadi, mau tidak mau kami menolongmu,” ucapnya sembari meletakkan nasi bungkus dan air gelas di samping kasur yang sedang kududuki.

“Kenapa menolongku?”

“Bukankah sudah kukatakan bahwa kami takut kamu mati.”

“Iya, aku tahu. Lalu, kenapa kalau aku mati? Kita juga tidak saling mengenal, bukan? Kamu bisa bilang kepada orang-orang bahwa tidak sengaja melihatku di trotoar. Masalah selesai! Bukan begitu?”

“Kedengarannya mudah sekali.”

“Yah, memang mudah. Jadi, kenapa?”

“Aku tidak mau menambah dosa.”

Seketika tawaku meledak. Takut dosa? 

“Apa kamu meremehkan apa yang kulakukan? Sama sekali tidak ada ucapan terima kasih? Sepertinya kamu tidak punya hati.” Tunjuknya pada dadaku.

“Mungkin.” 

Dia mengubrak-abrik tumpukan kain lalu mengambil pakaian, sarung, dan peralatan mandi, kemudian keluar. Jadilah, aku sendiri di kamarnya. Demi urusan sopan santun, aku merapikan seprai yang kutempati, memastikannya tidak ada kerutan dan menyusun bantal seperti yang dilakukan Emak ketika membereskan kamar anak lelakinya. Nasi bungkus yang dibawanya tadi kubiarkan tetap di sana. Biarlah untuknya saja, aku tidak terlalu butuh mengisi perut meski ingin.

Aku berpikir untuk cepat-cepat meninggalkan tempatnya ini dan kembali pada rutinitas harianku, menjadi kuli angkut di pasar, menjual koran di jalanan atau pekerjaan-pekerjaan lainnya yang penting menghasilkan uang. Tentunya, pekerjaan seperti mencopet pernah kulakukan demi menyambung hidup.

Ketika semuanya sudah kuanggap beres, aku pun berbalik, berjalan mendekat ke pintu dan memutar kenop. Sinar matahari yang terang begitu hangat menyilaukan mata. Entah jam berapa. Tangan kuangkat sejajar dahi demi menghalang silau yang kemudian membuatku sadar bahwa aku berada di sebuah bangunan yang cukup tinggi dan kumuh. Rumah susun.

“Kamu mau ke mana?” ucapnya yang baru kembali dari kamar mandi.

“Mau ke mana saja. Terima kasih sudah membawaku ke sini.”

Dia mengangguk. Karena tidak tahu lagi harus berucap apa-apa dan ini memang adalah akhir pertemuan kami, aku pun berjalan melewatinya. 

“Tunggu!”

Aku berhenti lalu berbalik.

“Apa?”

“Sebaiknya kalau minum, jangan berlebihan! Semalam kamu berkhayal sangat tinggi. Kamu terus-terus meracau bidadari, bidadari,” ejeknya sembari berbalik masuk ke kamarnya.

Aku terpaku sebentar, lalu berpikir sebaiknya meninggalkan perempuan itu cepat-cepat. Akan menjadi masalah bila dia menjadi tinggi hati dan betul-betul menganggap aku menyukainya. Di sisi lain, aku merutuki diri, kenapa juga semalam bisa menganggapnya bidadari? Wajah bocah kumal yang menawariku minuman tidak jelas terbayang. Ini semua karena ulahnya, meski aku sudah berkali-kali menolak, dia tetap kukuh menyodorkan minuman memabukkan itu. Wajah perempuan yang biasa-biasa saja, jadi terlihat memukau di mata. 

Aku berjalan menuruni tangga. Sepanjang undakan yang kulewati tak sedikit pun dinding terbebas dari coretan abstrak. Mulai dari gambar-gambar tengkorak, tulisan protes, dan sebagiannya lagi tidak cukup jelas terbaca di mataku. Ini pertama kalinya aku berada di lingkungan seperti ini. Meski memiliki pekerjaan yang tidak jelas, bersyukur aku masih bisa menyewa tempat yang dikategorikan layak. Padahal di desa dahulu, aku berpikir kota adalah sebuah tempat yang sangat menyenangkan, dipenuhi kebahagiaan karena banyaknya kemudahan, tentunya sangat bersih seperti yang terlihat di sinetron-sinetron televisi tetangga.

*

Mencari jati diri, adalah sebuah alasan yang kugunakan pada Bapak dan Emak agar mereka mengizinkanku hijrah ke kota. Sudah cukup kami memakan hinaan orang-orang selama ini, kemiskinan yang mendera dan garis keturunan keluarga yang bukan kaum bangsawan harus dihentikan dan dipotong garis penghubungnya. Hanya satu untuk mewujudkan hal itu adalah dengan memiliki uang, menjadi kaya, dan memiliki jabatan. Aku mafhum bahwa manusia pada umumnya akan takjub pada hal-hal seperti itu. Tidak mudah meyakinkan mereka, kedua orangtuaku, terlebih Emak dengan linangan air mata terus-terusan mencoba untuk mengubah sudut pandangku.

“Tidak apa kita hidup begini, yang penting kita berkumpul,” ucapnya di suatu sore yang tentu saja tidak mampu memengaruhiku.

Tak lantas berhenti di situ, Emak mencoba merobohkan keinginanku dengan kata rindu.

“Apa yang akan kamu lakukan ketika merindui kami, Nak? Selama ini kita tidak pernah terpisah.”

Aku hanya bisa tersenyum kecut mengingat apa yang pernah dikatakannya. Seharusnya dari dulu sudah kusiapkan jawaban untuk pertanyaan emak. Jadi, bila rasa untuk kembali bertemu mereka, datang dan menghantam hati, meletakkan pilu di sana, aku punya penawarnya. Yah, penawar agar sesaat rasa itu tidak menyiksaku.

*

“Apa kamu memiliki keluarga?”

“Tidak.”

“Ke mana orangtuamu?”

“Entahlah, aku tidak mengenalnya. Aku besar di jalanan dan sama sekali tidak pernah berniat untuk mengetahui siapa mereka.”

“Jadi, kamu tidak pernah merinduinya?”

“Tentu tidak, bagaimana mungkin aku merinduinya, sedangkan aku sama sekali tidak memiliki ingatan apa-apa tentangnya.”

“Benar juga.”

Setelah pertemuan pada malam itu, pertemuan-pertemuan selanjutnya selalu ada baik disengaja maupun tidak, sehingga aku dan Mira menjadi dua orang yang cukup dekat dan lama-lama menjadi sangat dekat. Hingga pada suatu hari sebuah ide konyolnya muncul. Dia mengajakku menikah seperti dua orang lain di luaran sana. Layaknya sebuah pernikahan, akhirnya kami menikah juga, hanya saja penghulunya dari teman-teman kami yang sama tidak mengertinya tentang agama. Hal yang paling penting, kami menikah dan bisa hidup bersama. Entah hal itu layak di hadapan Tuhan atau tidak. 

Menggelikan bila mengingatnya betapa aku tertipu pada kenikmatan sesaat yang diberikannya, pada lakunya yang terlihat baik, sehingga aku mau-mau saja melakukan hal-hal yang tidak lazim. Lalu, pada suatu hari aku pulang ke kamar yang kami sewa dan tidak lagi mendapatinya. Dia pergi tanpa meninggalkan apa pun, secarik kertas pun tidak. Banyak cerita simpang siur yang sampai pada telingaku. Ada yang mengatakan dia kabur bersama salah satu teman kami, ditangkap polisi, menjadi simpanan para perut buncit dan kabar-kabar miring lainnya. Walaupun begitu atas semua yang dilakukannya, aku merasa seperti … rindu, karena bagaimanapun pernah ada kebiasaan di antara kami. Pernah aku mengaggapnya sebagai rumah, tempat berpulangku.

Emak, baru aku tahu: jati diri itu tidak dicari, tetapi terbentuk dengan sendirinya. 

Jumlah orang-orang yang melintas di hadapanku mulai bertambah banyak seiring matahari merangkak naik. Pakaian-pakaiannya pun berwarna-warni, walau lebih dominan warna putih, bersih, tampak baru, dan tentu saja berbau harum dari jarak jauh. Semua tampak semringah bersama keluarga dan sanak saudaranya. Pada pundaknya tersampir sajadah dan peci di kepala, bagi kaum laki-laki. Aku bergabung dengan rombongan itu, berjalan di belakang seolah aku adalah bagian dari mereka. Ikut tertawa bila anak-anak berlaku lucu, dan juga memancarkan senyum bahagia bila bersapaan dengan yang lain.

Seperti rindu, seperti rumah. (*)


Bulukumba, 27 Juli 2019

Ning Kurniati, Perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah setiap harinya. Dapat dihubungi melalui http.bit.ly/AkunNing

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply