Seperti Gelembung

Seperti Gelembung

Seperti Gelembung

Oleh: Ika Mulyani

Ridwan tersenyum ketika melihat gelembung-gelembung sabun yang memenuhi udara di taman kota pagi ini.

Tidak terlalu jauh dari tempat ia duduk, di ujung timur taman kebanggaan semua warga kota itu—Ridwan suka duduk di sana, karena bisa memunggungi matahari pagi yang bersinar hangat—tampak dua orang bocah kecil. Sepertinya anak laki-laki dan perempuan itu kakak beradik dengan usia tiga dan empat atau lima tahun. Mereka sedang bermain gelembung sabun sambil duduk di rumput yang masih basah oleh embun. Keduanya tertawa-tawa, dan bocah yang lebih kecil—yang perempuan—bertepuk tangan, setiap kali gelembung-gelembung itu terbang ke langit yang biru cerah tak berawan.

“Lihat! Aku bisa buat yang besar sekali!” seru bocah yang laki-laki dengan suara keras.

Seruannya bahkan terdengar oleh Ridwan yang lupa memakai alat bantu dengar, yang ia lepaskan setiap kali berangkat tidur. Laki-laki usia awal tujuh puluhan itu mendongak dan ikut memperhatikan ketika satu gelembung seukuran bola tenis tertiup angin, bergerak perlahan menuju ke arahnya.

Sama dengan kedua bocah, Ridwan terus memandang gelembung itu dengan napas tertahan. Laki-laki berkacamata itu tersenyum, saat si gelembung tiba-tiba berhenti tepat di hadapannya selama sepersekian detik, sebelum kemudian pecah dengan bunyi “pop” yang sangat lembut dan meninggalkan sepercik cairan sabun yang mengenai kulit punggung tangannya.

Ridwan menoleh ketika si bocah perempuan berseru: “Lagi! Lagi!” Gadis kecil itu kini berdiri dan melonjak-lonjak dengan wajah sangat riang. Namun, setelah berkali-kali si anak laki-laki meniup, ia tidak juga berhasil membuat gelembung sebesar yang tadi.

“Buat seperti yang tadi itu, Bang Adi! Buat yang besar!” Lagi-lagi si adik berseru.

“Susah, tahu!” Adi menyahut lalu kembali meniup dan lagi-lagi hanya berhasil membuat gelembung-gelembung kecil.

“Tadi, kok, bisa?”

“Mana kutahu?!” Bocah itu menyorongkan botol air sabun sambil berkata dengan nada sengit, “Nih, kamu coba sendiri!”

Si adik menerimanya dengan ragu-ragu.

“Mau saya bantu?”

Suara Ridwan yang serak membuat kedua bocah itu tersentak dan menoleh. Pertengkaran kecil yang terjadi membuat Adi dan adiknya tidak mendengar suara tongkat Ridwan saat laki-laki tua itu berjalan mendekat.

“Saya bisa membuat gelembung yang besar-besar dan tahan lama,” ucap Ridwan. Ia tersenyum hingga giginya yang sebagian sudah ompong terlihat. “Saya bisa ajari kalian kalau kalian mau.”

Adi memandang Ridwan dengan wajah sangsi. Setelah yakin tatapan laki-laki asing itu terlihat ramah dan tulus sehingga pasti tidak berbahaya, ia menyenggol bahu adiknya, meminta gadis kecil itu menyerahkan botol air sabun kepada si kakek.

Ridwan kembali tersenyum saat menerima botol plastik itu. “Saya sudah lama sekali tidak main gelembung sabun. Tapi saya yakin masih ingat caranya, seperti yang diajarkan oleh … istri saya.”

Adi diam saja, ia masih dongkol dengan kegagalannya tadi. Sementara itu, sang adik tersenyum menanggapi ucapan si kakek tua.

Ridwan menghela napas. “Kata …” Ia terdiam sejenak, seolah sedang mengumpulkan kekuatan untuk berbicara. “Elly, istri saya,” Laki-laki itu menarik napas panjang sebelum melanjutkan kata-katanya, “meniup gelembung sabun adalah salah satu cara mudah untuk melatih pernapasan bagi orang-orang yang sudah tua seperti kami.” Ia terkekeh dengan nada sumbang. “Entah dari mana dia dapat teori absurd itu. Saya tidak berani bertanya apalagi mendebat. Kamu tahu, jangan pernah mencoba berdebat dengan seorang perempuan, apalagi kalau dia adalah istrimu.” Lagi-lagi Ridwan terkekeh, tetapi kali ini, sebutir air mata jatuh menuruni pipinya yang keriput.

Adi dan adiknya saling berpandangan.

***

Elly terkekeh hingga terbatuk-batuk ketika melihat gelembung-gelembung sabun yang dibuat oleh Ridwan.

“Kenapa tertawa? Lihat! Banyak sekali bukan?” ucap laki-laki itu sambil mengacungkan tangan kanannya yang masih memegang alat pembuat gelembung—batang plastik dengan ujung berbentuk lingkaran.

“Ya, memang banyak.” Elly menyahut setelah berhasil menghentikan tawanya. “Tapi lihatlah ukurannya! Kecil-kecil sekali! Baru terbang sedetik, sudah pecah. Tidak ada indah-indahnya sama sekali.” Perempuan itu kembali terkekeh. “Sudah kubilang, caramu meniup sekuat tenaga seperti itu salah. Kamu harus tiup pelan-pelan. Persis seperti yang selalu kamu lakukan setiap malam di dekat telingaku.”

Sambil membetulkan letak kacamatanya yang melorot, Ridwan merengut, tetapi tak urung senyumnya terkembang saat ia membayangkan reaksi tubuh Elly setiap kali ia sengaja mengembuskan napas di dekat daun telinga perempuan itu.

Ridwan memasukkan batang plastik itu ke dalam botol hijau berisi air larutan sabun yang mereka beli dari seorang pedagang mainan anak-anak di taman bermain di depan rumah mereka, kemudian menyerahkan botol itu kepada Elly seraya berkata, “Jangan cuma bisa tertawa. Coba tunjukkan, bagaimana caranya membuat gelembung yang besar-besar, bagus, indah, dan tahan lama itu!”

Elly tersenyum. “Siapa takut?” ucapnya seraya mengulurkan tangannya yang sudah keriput seperti kulit jeruk purut, menerima pemberian sang suami.

Ridwan mencibir, tetapi memandang istrinya dengan penuh perhatian.

Elly menegakkan posisi duduknya, kemudian ia mengeluarkan batang plastik itu secara perlahan dan penuh dengan kehati-hatian, agar cairan sabun yang melapisi lingkaran di ujungnya tidak pecah. Ia tersenyum ketika melihat lapisan air sabun itu membiaskan cahaya matahari pagi yang cerah. Perempuan berusia akhir enam puluhan itu menarik napas dalam-dalam, mencoba memasukkan sebanyak mungkin udara ke dalam paru-paru tuanya, lantas meniup lapisan cairan sabun itu dengan lembut, penuh perasaan.

Ridwan menahan napas, saat lapisan cairan sabun itu terdorong dengan lembut. Dengan perlahan tapi pasti, lapisan itu membentuk gelembung yang makin lama makin besar. Beberapa saat kemudian, ia lepas sepenuhnya dari lingkaran plastik, lalu terbang melayang di udara. Elly terus meniup, membuat gelembung kedua, ketiga, dan selanjutnya terus terbentuk dan ikut melayang-layang. Cahaya mentari yang menimpa gelembung-gelembung itu kembali dibiaskan, menciptakan tujuh warna pelangi. Indah.

***

Ridwan tersentak meski adik Adi hanya menyentuh tangannya dengan sangat perlahan.

“Kakek kenapa?” tanya gadis kecil berambut ikal itu dengan hati-hati. Mata bulatnya menatap wajah Ridwan dengan lembut.

Ridwan bergegas mengusap pipinya yang basah. “Saya … tidak apa-apa.” Ia menghela napas panjang, lalu berusaha untuk tersenyum. “Sini, mari kuajari cara membuat gelembung yang besar!” Ia membuka tutup botol seraya berkata, “Caramu meniup sekuat tenaga seperti tadi itu salah. Kamu harus tiup pelan-pelan. Persis seperti …”

Ridwan menghentikan kata-katanya. Air matanya kembali berlinang.

Seketika, adik Adi mendekat dan memeluk lengan laki-laki itu. Ia ikut terisak, seperti kebiasaannya setiap kali melihat kakaknya atau ibunya menangis. []

 

Ciawi, 10 Desember 2023

 

Ika Mulyani. Emak-emak yang sedang berusaha mengumpulkan lagi semangatnya untuk tetap menulis, dengan membaca sebanyak yang ia bisa.

Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply