Sepenggal Memori

Sepenggal Memori

Sepenggal Memori

Oleh: Triandira

“Ayo, tangkap bolanya!”

“Ah, Kakak. Jangan lempar terlalu keras! Tuh, kan, jadi menggelinding ke luar.”

“Ya sudah, cepat ambil sana! Kakak mau masuk.”

“Jangan pergi dulu…!”

Seorang bocah berambut cepak mendengus kesal setelah sang kakak meninggalkannya begitu saja. Padahal baru lima menit yang lalu mereka bermain bersama, saling menangkap dan melempar bola secara bergantian. Sedangkan aku, masih berdiri sambil terus memerhatikan keadaan mereka dari kejauhan.

Bocah itu masih terlihat kesal. Berulang kali ia memanggil-manggil nama kakaknya agar keluar dari rumah yang mereka tinggali saat ini. Sebuah bangunan dengan arsitektur megah, luas dan sangat terawat.

Di bagian depan terdapat sebuah taman dengan pohon palem yang besar. Beberapa pot bunga, juga kolam ikan berukuran kecil yang membuat suasana terlihat sejuk dan asri. Mungkin karena itulah taman tersebut menjadi pilihan yang tepat untuk bermain, bercanda, dan saling melepas tawa. Hal-hal menyenangkan yang tadinya mereka perlihatkan padaku.

“Baiklah, biar kuambil sendiri bolanya,” ucap bocah itu. Sejurus kemudian, jemarinya yang mungil berhasil meraih bola yang menggelinding tadi.

Aku tersenyum kecil. Wajah cemberut yang ditunjukkan oleh bocah itu benar-benar membuatku gemas. Pipinya yang tembam bahkan terlihat begitu menarik untuk dicubit. Bocah lelaki yang tampan. Aku rasa semua orang di rumah itu pasti menyayanginya.

“Sudah selesai mainnya?” ucap seorang gadis cantik yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. “Cepat masuk.”

“Kakak mau keluar?” tanya bocah itu. Wajah yang sebelumnya terlihat menggemaskan seketika berubah sedih.

“Ayo, tunggu apa lagi? Cepat masuk.” Bukannya menjawab pertanyaan sang adik, gadis berwajah oriental itu malah menunjukkan sikap yang menyebalkan. Menarik lengan adiknya agar masuk ke dalam rumah. Cepat, dan terlihat sedikit kasar.

“Bi… bibi…!” teriaknya keras. Tepat ketika bocah yang ia seret berontak. Memegang kuat-kuat lengan sang kakak sambil terus merajuk. Tak lama setelahnya, ia pun menangis. Memohon agar tak ditinggalkan sendirian di rumah.

Kasihan. Meski sebenarnya masih ada seorang pembantu yang menemaninya, entah mengapa ia tetap merasa takut. Mungkin juga merasa kesepian, sama seperti apa yang pernah kurasakan dulu. Terlahir dari keluarga yang kaya raya dan tinggal di rumah yang besar. Hanya saja tak ada kebahagiaan di sana.

Sejak kecil aku memang tak pernah menghabiskan banyak waktu bersama Papa dan Mama. Hal yang sebenarnya paling kuinginkan di dunia ini. Berkumpul dengan orang-orang tercinta dan mengukir keceriaan bersama mereka.

Papa adalah orang yang sibuk. Setiap hari ia hanya menghabiskan waktu untuk bekerja hingga melupakan aku sebagai anaknya. Bagaimana tidak jika meluangkan sedikit waktunya untukku saja begitu sulit ia lakukan. Selama enam belas tahun aku hidup bersama Papa, tak pernah sekali pun ia menanyakan tentangku. Seperti apa saja yang sudah kulakukan seharian, bagaimana nilaiku di sekolah, apakah aku ingin bermain dan berbincang dengannya, tidak sama sekali. Ia bahkan tak mengingat kapan ulang tahunku. Sedih? Pasti. Terlebih saat aku juga harus menerima kenyataan bahwa Mama telah meninggal, di hari yang sama ketika aku dilahirkan.

Miris. Sebagai anak piatu yang tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang Papa, membuatku lebih banyak menghabiskan waktu bersama Bibi. Ia adalah pengasuhku, seorang perempuan paruh baya yang sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri. Itu semua karena aku bisa merasakan ketulusan dari kasih sayang yang ia berikan padaku. Dan karena itulah aku sangat menyayanginya.

Bibi adalah orang yang baik, setia dan bertanggung jawab. Maka tak heran jika Papa merasa puas dengan hasil kerja Bibi di rumah. Andai saja musibah itu tak terjadi, mungkin Bibi masih bersama kami saat ini. Tapi, mungkin inilah yang dinamakan takdir. Di saat aku dan Papa kehilangan segalanya, di saat itu pula kami menemukan sesuatu yang lebih berharga.

Papa bangkrut. Semua aset penting miliknya telah disita oleh pihak yang berwenang. Waktu itu aku dan Papa merasa sangat terpuruk. Bahkan sesuatu yang mengerikan hampir saja terjadi. Papa pernah mencoba untuk bunuh diri. Beruntung, aku dan bibi berhasil mencegahnya. Sampai akhirnya, baik aku maupun Papa bisa menerima keadaan ini. Perlahan, kami mulai menata kembali masa depan.

Tin! Tin!

Aku berjingkat. Suara klakson dari mobil yang ditumpangi gadis itu telah membuyarkan lamunanku. Aku pun baru menyadari bahwa bocah yang menarik perhatianku tadi ternyata sudah pergi. Masuk ke dalam rumah yang kini terlihat sepi.

“Laura!” panggil seorang lelaki dari kejauhan. Berjalan ke arahku sambil menyunggingkan senyum.

“Kita pulang sekarang?” ucapku padanya setelah ia berada di dekatku. Ia mengangguk setelah melirik sekilas ke rumah bocah itu.

“Kau pasti merindukannya.” Aku menggeleng keras, “maafkan Papa, ya.”

Untuk kesekian kalinya Papa mengucapkan hal itu. Meminta maaf padaku atas sesuatu yang telah menimpa kami.

Aku menghela napas. Memegang erat lengan Papa lantas mengajaknya pergi. Menjauh dari rumah yang menyimpan begitu banyak kenangan bagi kami. Tempat yang membuatku teringat akan masa lalu, hingga membuatku tertarik untuk melihatnya.

Sebenarnya aku sedang mengantar Papa ke rumah koleganya dulu. Kebetulan berada tak jauh dari sini. Sementara menunggu Papa menyelesaikan urusannya, aku memutuskan untuk menengok rumah bocah itu. Entahlah, meski aku tak lagi menginginkannya tapi tetap saja aku penasaran. Dan sekarang aku malah menyesal karena sudah mengingatkan Papa pada kenyataan pahit itu.

“Tidak, Pa, aku sudah tidak menginginkannya lagi sekarang,” ucapku meyakinkan Papa.

“Benarkah?”

“Ya. Bukankah kita sudah bahagia?” Papa tersenyum. Mengelus lembut rambutku sambil terus berjalan. Begitu pun aku yang berada di sampingnya.

Keadaan kami yang sekarang memang tak seindah yang dulu. Tapi apalah arti kemewahan jika di dalamnya kita tidak menemukan kebahagiaan. Karena kebahagiaan yang sejati tidak terletak pada apa yang kita miliki, tapi pada rasa syukur yang ada di hati. Apa pun keadaan yang kita jalani.(*)

Tentang Penulis:

Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira       ( http://www.m.facebook.com/tri.w.utami.33/ ) Email: triwahyuu01@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita