Sepenggal Kisah di Balik Kemelut Sang Giri
Penulis: Alda
Kepulan asap hitam membubung tinggi menutupi langit. Suasana seketika menjadi gelap gulita. Debu-debu panas bertebaran menutupi apa pun yang dilaluinya, sementara suara gemuruh yang berasal dari gunung paling tinggi di pulau Jawa itu semakin sering terdengar.
Orang-orang yang tinggal di sekitar gunung bergegas berlari ke tempat yang lebih aman untuk menyelamatkan diri. Termasuk seorang anak perempuan berkerudung biru dan teman-temannya yang sedang mengaji di musala karena sang giri kali ini sedang menunjukkan kemarahannya.
Mataku membulat, jantung pun seolah-olah berhenti berdetak ketika melihat video yang ditunjukkan oleh salah satu kawanku sesama sopir sekaligus penambang pasir. Letusan kali ini sangat dahsyat dan jauh lebih besar daripada biasanya.
Seketika diri ini diserang rasa cemas karena teringat dengan anak istri yang ada di rumah. Tanpa menunggu waktu lama, aku pun menyambar kunci mobil yang tergeletak di meja, bergegas untuk pulang.
“Hati-hati, Dik. Tetap tenang, semoga anak istrimu baik-baik saja.”
Aku mengangguk sekilas untuk menanggapi ucapan Toni sebelum masuk ke mobil. Tidak lupa aku mengamini ucapannya dalam hati. Semoga Ambar dan Dimas baik-baik saja dan selalu berada di dalam lindungan-Nya. Jujur, aku merasa sangat cemas karena jarak rumah kami lumayan dekat dengan gunung tersebut.
Langit terlihat sangat gelap, padahal sekarang masih jam setengah empat sore. Aku pun menyalakan lampu mobil karena jalanan tidak terlihat. Wiper dan washer pun aku nyalakan agar bisa melihat jalan karena kaca depan mobil tertutup pasir.
Sesekali aku mengotak-atik ponsel yang ada di tangan untuk menelepon Ambar. Namun, teleponku tidak dapat tersambung karena jaringan telah terputus. Sepertinya letusan sang giri kali ini tidak bisa dianggap remeh.
Aku menghentikan mobil di dekat balai desa karena akses jalan yang sulit dan jarak pandang yang terbatas. Suasana sangat tidak kondusif karena orang-orang berlarian untuk menyelamatkan diri.
“Allah, Allah, cepat lari. Selamatkan diri!” teriak mereka terdengar panik.
Aku pun bergegas turun dari mobil untuk mencari Ambar dan Dimas, mengabaikan napas yang terasa sesak karena aroma belerang tercium di mana-mana.
“Ambar! Dimas!” teriakku sambil memperhatikan sekitar, tetapi hanya kegelapan yang terlihat. Aku bahkan sampai jatuh ke dalam selokan karena kondisi saat ini begitu gelap gulita.
“Bapak! Bapak!” Tubuhku menegang mendengar suara yang tidak asing di pendengaran. Seorang bocah laki-laki berumur tujuh tahun yang wajahnya tertutup pasir berlari menghampiriku lantas melemparkan diri ke dalam pelukanku.
“Bapak, Dimas takut,” gumamnya dengan suara gemetar.
Aku langsung menggendong Dimas, lantas memeluk tubuhnya yang gemetar hebat karena ketakutan.
“Bapak di sini, Mas. Jangan takut.” Kuelus punggung Dimas dengan lembut agar dia merasa lebih tenang. Namun, Dimas tidak mau berhenti menangis. Dia pasti ketakutan karena berada di dalam situasi yang sangat mencekam seperti sekarang.
“Di mana ibumu, Mas?”
Dimas menggeleng pelan. “Dimas ndak tahu, Pak. Dimas tadi sedang ngaji sama temen-temen di musala langsung lari keluar waktu lihat gunung itu meletus.”
“Dimas tunggu di sini sebentar, ya? Bapak mau nyari ibumu dulu.” Aku menitipkan Dimas pada adikku yang kebetulan ada di sana karena ingin mencari Ambar. Perasaanku tidak akan pernah tenang jika belum bertemu dengan perempuan yang sudah mendampingiku selama kurang lebih sembilan tahun itu.
Namun, orang-orang malah menghalangiku untuk pulang. Mereka mengatakan kalau Ambar sudah keluar dari rumah menuju tempat pengungsian dan memakai jilbab berwarna putih. Namun, aku tetap ingin memastikan sendiri ke rumah karena takut Ambar terjebak di sana.
“Tolong jangan halangi saya, Pak.” Aku seperti orang kehilangan akal karena nekat ingin pergi ke rumah padahal keadaan sedang bahaya. Kalau pun harus mati, aku ingin mati bersama Ambar.
“Jangan, Pak Dika! Bahaya.” Mereka terus berusaha menghalangi karena keadaannya sekarang benar-benar sudah gelap gulita.
Butiran bening itu jatuh begitu saja membasahi pipi karena aku amat sangat mengkhawatirkan Ambar. Semoga saja dia selalu dalam lindungan-Nya.
Aku pun memutuskan untuk kembali menghampiri Dimas. Kami berkumpul di tempat pengungsian karena hanya di situ tempat yang paling aman.
Orang-orang begitu riuh menceritakan betapa dahsyat letusan tadi. Asap pekat dalam sekejap membuat langit menjadi hitam dan jalanan tidak terlihat.
Aku malah teringat dengan Ambar dan tingkah anehnya kemarin malam. Biasanya kami selalu mengapit Dimas di tengah saat tidur, tapi semalam Ambar memilih tidur di sampingku sambil minta dielus kepalanya.
Dia terus memeluk dan menciumi pipiku saat aku ingin bekerja pagi tadi. Apa yang dia lakukan membuat perasaan ini mendadak tidak enak. Dia bahkan terus melambai-lambaikan tangan sampai aku betul-betul berangkat.
“Bapak ndak tidur?”
Aku sontak menunduk agar bisa menatap Dimas yang sedang berbaring sambil menggunakan kedua pahaku sebagai bantal.
“Bapak ndak ngantuk, Mas,” jawabku.
“Bapak mikirin ibu, ya?”
Aku terdiam, tanpa perlu menjawab pun Dimas pasti tahu kalau aku sedang memikirkan ibunya.
“Ibu pasti baik-baik saja kan, Pak?” tanya Dimas sambil menatapku dengan penuh harap. Ternyata bukan hanya aku yang menginginkan Ambar akan baik-baik saja, tapi juga Dimas. Namun, sampai sekarang kami belum tahu di mana keberadaan Ambar.
Keesokan harinya, aku bergegas mencari keberadaan Ambar. Kedua kakiku terasa lemas, seolah-olah tidak bertulang mendapati rumahku luluh lantak diterjang awan panas. Dalam hati aku terus berharap semoga Ambar tidak ada di sana dan berada di tempat yang aman.
Namun, harapanku seketika hancur saat menemukan Ambar sedang memeluk sang ibu yang sudah tua dan sakit-sakitan di kamar belakang, tertutup oleh debu tebal akibat letusan gunung.
Aku tidak pernah menyangka jika kemarin adalah pelukan Ambar untuk yang terakhir kalinya. Kini, aku telah kehilangan Ambar untuk selamanya.
~ Selesai ~
Kediri, 15 Desember 2021
Bionarasi:
Sebut saja, Alda. Dia seorang EXO-L. Bias Byun Baekhyun. Memiliki rasa percaya diri yang terlalu tinggi dan menjadikan Chanyeol EXO sebagai panutan. Cukup sekian salam we are one.
Editor: Erlyna
Sumber gambar: https://pin.it/6Ue30gM