Sepasang Sepatu Merah Muda
Oleh: Stroberi
Terbaik 2 Event Loker Kata Bulan September
Pagi itu, sepasang sepatu bayi merah muda tidak lagi terpajang di etalase toko. Toko sepatu itu masih ada, buka seperti biasanya. Hanya saja, entah kenapa nuansa yang terlihat terasa berbeda dari hari-hari sebelumnya.
Hane terdiam beberapa saat sambil mengamati sekeliling, termasuk para pengunjung yang sudah mulai berdatangan. Waktu masih pagi, tetapi orang-orang sudah bergerak ke sana-kemari: berjalan menyusuri trotoar, melintasi jalan beraspal yang belum lama ini selesai diperbaiki, meniti jembatan kayu di sisi sebelah selatan, memotret pohon tabebuya kuning sambil berpose, dan juga keluar masuk toko sepatu.
Meski sedikit bingung, perempuan itu tersenyum senang, seolah-olah ikut merasakan perubahan aura positif yang dipancarkan toko sepatu itu.
“Hane! Tunggu!”
Saat hendak kembali mengayuh sepeda menuju tempat kerjanya, sebuah suara panggilan membuat Hane berhenti lalu kembali menoleh ke belakang.
Dari pintu samping toko sepatu, seorang wanita tersenyum sambil melambaikan tangan ke arahnya, menyuruh Hane untuk menunggu.
“Sudah mau berangkat?” tanya wanita itu sambil tersenyum manis.
Hane mengangguk sambil membalas dengan senyuman lebih lebar. Wanita itu adalah Bibi Luhan, istri dari pemilik toko sepatu yang sejak tadi diamati oleh Hane.
“Nanti malam Sia akan pulang.”
Hane terkejut mendengar ucapan Bibi Luhan. Meski wanita paruh baya itu mengatakannya sambil tersenyum, Hane bisa merasakan kesedihan berlapis-lapis tersembunyi di balik matanya yang kini berkaca-kaca. Dada Hane berdebar-debar sangat cepat, jauh lebih cepat dibanding saat ia dan Sia dahulu begitu gugup ketika saling menceritakan laki-laki yang mereka sukai.
Bahkan saat ia telah berpisah dengan Bibi Luhan dan mengayuh sepedanya perlahan, debaran di dadanya justru semakin menjadi-jadi.
Ini tidak benar. Alih-alih bergegas menuju tempat kerjanya, Hane justru membelokkan sepedanya ke arah kanan, menyusuri jalanan yang kiri kanannya dipenuhi oleh deretan tabebuya yang warna kuning mencoloknya tiba-tiba terlihat pucat di matanya.
“Hane, apa yang ingin kamu lakukan saat sudah dewasa?”
“Aku akan melakukan apa pun yang aku inginkan saat itu. Tanpa memikirkan perkataan orang lain.”
“Itu pasti menyenangkan. Menjadi bebas.”
“Bagaimana denganmu?” tanya Hane sambil menoleh ke arah Sia yang memejamkan mata sambil bersandar di bahunya.
Mereka saat itu sedang menghabiskan waktu liburan sekolah sambil menikmati pemandangan taman kota yang baru selesai dibangun.
“Aku hanya ingin melihat orang-orang bahagia, terutama kamu dan kedua orang tuaku. Entah sekarang atau nanti, hanya itu yang aku inginkan.”
Hane menghentikan kayuhan sepedanya. Potongan ingatan masa lalu saat ia bersama Sia membuat tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir begitu saja, semula hanya satu dua, tetapi semakin lama semakin deras.
Dan Hane menangis sesenggukan untuk waktu yang lama. Seorang diri di tepi jalan yang entah mengarah ke mana.
Dahulu, Hane dan Sia bertemu saat perayaan tahun baru di alun-alun pusat kota. Hane yang saat itu baru saja pindah, terlihat murung karena merasa asing dengan sekelilingnya. Hane datang bersama Paman Sen dan Bibi Diwi, kerabat dari pihak ibunya yang menjadi pengganti orang tuanya yang meninggal dalam kecelakaan.
“Kamu tidak suka keramaian?”
Hane saat itu memilih duduk menyendiri di bagian tepi alun-alun, sementara Paman dan Bibinya mengajak anak semata wayang mereka berbaur ke tengah alun-alun yang semakin malam semakin bertambah ramai. Hane menoleh saat mendengar suara seorang perempuan yang sepertinya mengajaknya bicara.
“Y-ya.”
Hane menjawab terbata-bata saat melihat perempuan asing itu menatapnya sambil tersenyum. Bukan, bukan wajah pucat perempuan itu yang membuat Hane tiba-tiba kehilangan kata-kata, tetapi ada hal lain yang membuatnya terkesan.
Setelah itu, keduanya hanyut dalam perkenalan dan percakapan-percakapan acak yang beberapa kali harus terhenti karena suara petasan yang memenuhi udara. Setelah pertemuan pertama itu, keduanya semakin sering bertemu karena bersekolah di tempat yang sama.
Hane dan Sia menghabiskan masa anak-anak dan remaja dengan cara mereka yang unik. Perbedaan karakter keduanya tidak jarang menyebabkan perselisihan. Akan tetapi, meski begitu, pertemuannya dengan Sia adalah salah satu hal yang paling disyukuri oleh Hane sampai sekarang.
Setelah lelah menangis, Hane menghabiskan waktu dengan duduk sendirian di bawah pohon, menunggu langit berubah gelap. Ia harus menemui Sia yang mungkin sudah sampai rumah. Namun, ia belum siap. Tidak, lebih tepatnya ia tidak akan pernah siap.
Karena tumbuh bersama, Hane merasa sangat terpukul saat mengetahui Sia mengalami kecelakaan tiga tahun lalu. Dunia Hane seketika kehilangan warna. Saat Sia tidak berada di sampingnya, Hane kembali menarik tirai panjang dan gelap yang dahulu sekali pernah dipakainya. Tirai yang bisa menyamarkan keberadaan dirinya dari pandangan orang-orang.
Hari-hari Hane berjalan seperti biasanya. Hanya saja, ia perlahan-lahan melepas semua emosi yang bisa dirasakannya. Hane menyiksa diri dengan membunuh semua perasaan-perasaannya. Ia sungguh ingin menghilang dari dunia saat itu juga seandainya bisa.
Selama tiga tahun terakhir, Sia benar-benar tidak membuka mata, membuat Hane semakin merasa patah hati. Beruntung Bibi Luhan begitu baik kepadanya. Wanita penyayang itu kerap menyiapkan bekal dan menunggu Hane berangkat bekerja. Bekal itu, yang sering sekali berupa makanan-makanan kesukaan Sia, barangkali sebagai pengobat rindu bagi Bibi Luhan dan Hane tidak keberatan menghabiskannya.
Hane menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Tepat saat langit berubah gelap, ia bangkit dari tempat lamunan yang menenggelamkan dirinya dengan kenangan-kenangan masa lalu. Waktu akan terus bergerak, tidak peduli ia siap atau tidak menjalani kehidupannya.
Dengan semangat dan harapan yang coba ia kumpulkan, perlahan-lahan Hane mengayuh kembali sepedanya. Pelan saja, sebab ia tahu tidak mudah baginya memulai semuanya dari awal.
Tepat di depan toko sepatu yang tadi pagi dilihatnya, tubuh Hane bergetar hebat. Sepedanya ia jatuhkan begitu saja. Sepasang matanya hanya tertuju pada satu titik cahaya terang yang berasal dari rumah itu. Cahaya yang diyakini Hane sebagai jelmaan sosok Sia yang datang untuk berpamitan.
“Hane—“
Bibi Luhan langsung memeluknya begitu Hane masuk lewat pintu samping toko. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat Sia yang tersenyum, manis sekali.
***
Upacara pemakaman itu berjalan dengan haru. Hane tahu, bukan hal yang mudah bagi kedua orang tua Sia untuk merelakan kepergian anak semata wayang mereka yang koma lebih dari tiga tahun akibat kecelakaan.
Mereka bukannya menyerah, tetapi justru dengan berani menerima kenyataan, sebab dokter sejak awal sudah mengatakan bahwa Sia tidak memiliki harapan. Mereka sudah bersedih begitu lama dan kini memutuskan untuk membuka lembaran baru.
Ya, mengikhlaskan bukan perkara mudah. Namun, bisa jadi hal itu membuat orang yang harus kita ikhlaskan menjadi lebih bahagia. Hane yakin Sia juga merasa seperti itu.
Hane menatap pusara Sia sambil meletakkan sepasang sepatu bayi merah muda. Satu-satunya sepatu milik Sia yang tidak pernah dipakainya di dunia karena ia terlahir tanpa kaki.
Sepasang sepatu yang semoga saja, menjadikan Sia semakin cantik saat tiba di surga.
“Kami akan selalu bahagia. Jadi, tenang saja.”
Sawah Besar, 25 September 2023
Stroberi, seseorang yang suka membaca dan sedang berlatih menulis.
Event cerpen Loker Kata diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.