Sepasang Sepatu

Sepasang Sepatu

Sepasang Sepatu

Oleh: Loopies

Editor: Vianda Alshafaq

 

Menyusuri area pertokoan selepas pulang kerja cukup menyenangkan bagiku, hiburan tersendiri. Setelah lelah dengan aktivitas harian, tidak ada salahnya sedikit memanjakan mata. Apalagi tadi, gaji baru saja dicairkan. Dompet penuh. Siapa tahu ada yang bisa dibawa pulang.

Pecinan merupakan surga bagi penggila fashion. Di sini, berderet toko-toko yang  bisa membuat kantong jebol, dan untuk mereka yang tidak kuat iman, kusarankan jangan mendekat, apalagi masuk ke salah satunya, dijamin akan menyesal.

Terkecuali aku. Karena aku bertekad sekadar lewat, jalan-jalan—menyegarkan mata—dan lagi, aku sedang tidak ada acara di bulan ini. Anak rumahan yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan setumpuk buku.

Sore yang cukup ramai di akhir pekan. Dan mungkin orang-orang itu sama sepertiku yang hanya sekadar lewat. Memadati trotoar, melihat-lihat barang yang dipajang di etalase toko, lantas berjalan kembali setelah puas tanpa memasukinya.

Tunggu!

Kurasa tidak dengan bapak-bapak yang menggendong karung besar penuh dengan rongsokan. Melihat kakinya tidak mengenakan alas, tampak kotor dan lusuh. Aku jadi ingat Ayah. Dulu, mungkin seperti ini beliau.

Aku memperhatikannya dari jarak  lumayan dekat, tampak beliau tengah melihat ke jajaran rak yang memajang sepatu anak perempuan.

Sepatu anak perempuan? Apa tidak salah? Tapi terlihat jelas arah pandangannya. Sepatu mungil berwarna merah marun dengan pita berbentuk kupu-kupu. Aku membayangkan, pasti menggemaskan jika dipakai balita, kemudian dipadukan rok berenda warna senada.

Aku diam memperhatikan hingga lelaki dengan punggung lusuh itu meletakkan karung yang dibawanya di sisi trotoar yang sekiranya tidak menghalangi para pejalan, kemudian merogoh saku, mengeluarkan isinya—beberapa lembar uang yang kucel dan pecahan, entah lima ratusan atau seribuan angklung—penglihatanku tak cukup baik meski sudah terbantu oleh kaca mata berminus enam. Sialan. Sepertinya aku perlu konsultasi ke optik langganan setelah ini.

Beliau menghitung uangnya, lalu tatapan beralih ke sepatu yang dipajang, menunduk lesu. Mungkinkah kurang? Begitu jika diterjemahkan oleh mata awamku.

Rasa penasaran membuat kakiku mendekat, berdiri di sebelahnya. “Jenengan kenapa, Pak?”

Sedikit tersentak, beliau menjawab agak gugup. “Ndak kenapa-napa, Nduk.”

“Itu uangnya, Pak.” Aku menunjuk uang yang jatuh di lantai, takut terbawa angin. Sayang, kan, ngumpulinnya susah.

Bapak itu segera memungutnya, lantas memasukkan kembali ke kantong, hendak pergi.

“Sepatu yang cantik. Pasti anak yang dibelikan akan merasa senang.” Aku berusaha memancing hal yang ingin kuketahui. Bukan apa-apa, hanya ingin memastikan.

“Ya, tapi mahal, Nduk.”

Bukankah umpanku mulai ditarik? Aku tersenyum. “Ndak nggeh ta?”

“Bagi Bapak itu mahal, Nduk. Sudah ngumpulin lama tapi ndak cukup-cukup.”

Senyumku kian melebar. “Emang kalo bisa beli mau dikasih ke siapa?” pungkasku.

“Anak ragil. Sudah lama mintanya, tapi Bapak belum ada uang buat beli. Maklum, hasil kerja tiap hari cuma cukup buat makan.”

Pandanganku tak lepas dari sepatu itu. Teringat dulu bagaimana Ayah rela diomelin Ibu karena mengurangi sedikit uang belanja agar bisa membelikan sepatu baru untukku.

Lamunanku terputus saat mendengar suara yang familier. Pemilik toko.

“Kenapa di luar? Ayo masuk!” ajaknya seraya menggandengku. Kami cukup dekat, sudah mengenal lama.

Kulihat bapak itu akan pergi, mungkin takut diomelin pemilik toko, padahal temanku itu baik. Ia sama sepertiku yang merintis usaha dari awal, mengunyah pahit-asamnya kehidupan. Kujamin seratus persen tidak akan sama seperti adegan yang ada di televisi, di mana seseorang pengusaha mengusir pemulung karena mengotori tokonya. Buktinya dari tadi dibiarkan saja.

“Tunggu, Pak!” cegahku sebelum beliau jauh.

“Amel, bisa bantu Bapak ini membungkus sepatu itu buat anaknya?” Aku mengedip, memberi isyarat lewat mata yang jika diartikan “biar aku yang bayar”.

Amelia mengangguk, menangkap jelas isyaratku, “Okay!”

“Mari, Pak. Biar kubantu.” Amelia membimbing masuk, tetapi bapak tersebut berusaha menolak, mengatakan tidak memiliki uang, Namun, beliau salah orang. Amel sama keras kepalanya sepertiku.

Terjadilah adegan tarik-menarik, tetapi pada akhirnya kubu kami yang menang. Tentu saja, dua lawan satu. Bapak itu tak berhenti mengucap terima kasih hingga telinga kami terasa bosan mendengarnya.

.

“Cantik sekali, Yah!” Aku tersenyum bahagia, memamerkan gigi kelinci. Ayah lantas mencubit gemas hidungku, tetapi tidak sakit.

Aku memandangi lama sepatu yang baru saja dibelikan Ayah. Pas.

Tak jauh kulihat Ibu tersenyum bahagia karena dibelikan sandal baru juga.(*)

 

Kamis, 15 Juli 2021.

Loopies adalah penyuka Oreo dan origami. Hobinya membaca, tetapi baru sedikit yang dimengerti. Memiliki dua novel solo berjudul First Love dan Not Cinderella.

Leave a Reply