Sepasang Pohon Kelapa di Seberang Jalan

Sepasang Pohon Kelapa di Seberang Jalan

Sepasang Pohon Kelapa di Seberang Jalan

Kepada sepasang pohon kelapa di seberang jalan rumahnya itu, ia sering mengalamatkan hal-hal yang tidak pernah mampu ia kirimkan kepada orang-orang yang membuatnya memikirkan hal-hal tertentu atau menggali perasaan-perasaan terdalam yang dimilikinya. Seperti di setiap sore, saat itu ia tengah duduk di teras rumahnya lagi, memandangi sepasang pohon kelapa itu untuk kesekian kali.

Dari kursi plastik merah yang ia duduki, sepasang pohon kelapa itu entah bagaimana selalu berhasil membersitkan sisi-sisi melankolis yang biasanya ingin disembunyikannya saja dari orang-orang. Mulanya ia juga bertanya-tanya kepada dirinya sendiri perihal mengapa hal demikian terjadi dan tentu saja tidak lupa kepada sepasang pohon kelapa itu. Tetapi seperti kebanyakan pertanyaan di dunia yang lupa menyertai jawabannya, itu pun hanya berakhir dengan tanda tanya yang menggantung di kepalanya sendiri.Sementara sepasang pohon kelapa itu tentu saja hanya diam tetapi baginya diamnya mereka adalah semacam jawaban yang cukup memuaskan—penegasan bahwa pertanyaan itu tidak ada (dan tidak perlu) jawaban. Entahlah.

Diamnya sepasang pohon kelapa itu bila ia ingat-ingat lagi memanglah sejak dari dulu kala. Sejak sesuatu yang disebut sebagai pohon kelapa itu ada, semua orang mengenalnya sebagai pohon yang pendiam dan begitulah setiap pohon kelapa di dunia ditakdirkan sejak lahir seperti halnya pohon-pohon lainnya. Diam-diam benihnya merantau mengikuti alir air, diam-diam ia sampai ke suatu tempat kemudian diam-diam menumbuhkan tunas dan akhirnya pohon kelapa di seberang jalan itu sudah sepasang. Sementara itu, diam-diam mereka juga telah menyaksikan banyak hal dari seberang jalan tempat mereka berdiri berdua. Orang-orang yang lalu lalang. Kendaraan yang hilir mudik. Malam dan siang saling bertukar tempat. Udara saling mengisi kekosongan satu dan yang lainnya. Yang datang, yang meninggalkan ataupun yang hanya sekedar lewat silih berganti. Hanya ia yang setia sejak jamannya surat hingga pesan singkat, dari yang tingginya hanya semeter dua puluh hingga semeter tujuh puluh. Demi debu-debu dan hujan yang menghapusnya, ia ada di sana. Selalu.

Kepada sepasang pohon kelapa itu ia lagi-lagi hendak menitipkan rindunya kepada orang-orang yang entah berada di mana. Sepasang pohon kelapa yang pendiam itu tidak pernah bertanya mengapa ia merindukan orang-orang itu. Tidak pernah juga bertanya perihal kejelasan status dikarenakan perasaan rindu yang demikian. Dan diamnya sepasang pohon kelapa itu lalu ia artikan sebagai sesuatu yang lain—yang tak bernama—yang membuatnya betah berlama-lama di hadapan sepasang pohon kelapa itu tanpa perlu merisaukan apapun. Sensasi yang mirip denganyang diberikan angin yang melaluinya barusan—menggoyangkan ujung-ujung rambutnya yang hanya sebahu—lalu membawa pergi uap panas dari tengkuknya dan memberikan sedikit segar. Ia tidak bertanya mengapa angin itu ada dan dari mana hendak ke mana, angin pun tidak bertanya mengapa rambutnya hanya sebahu sore itu, dan uap panas dari tengkuknya juga tidak bertanya mengapa ia dibawa angin mengembara. Begitulah.

Jadi kemungkinan besar karena itu, ia sering sekali membicarakan perihal-perihal yang tidak ingin ditanyakan orang lain mengenai perasaannya itu kepada sepasang pohon kelapa yang pendiam di seberang jalan. Ia pun sesungguhnya hanya ingin menerimanya saja. Dan sepasang pohon kelapa itulah yang menurutnya mengajari hal yang demikian dan itu yang diam-diam ia cari pula dan menurutnya lagi sangat ia butuhkan.

Barangkali jika ada yang menanyakannya mengapa ia demikian, ia akan merumuskan jawabannya sederhana saja—baginya. Untuk tetap menjaga perasaannya agar selalu dirasa istimewa.Namun, hal yang tampaknya sederhana itu sering gagal sederhana pada kebanyakan orang yang terlanjur menanyakannya. Ia tidak mengerti mengapa orang-orang itu menanyakan sesuatu yang jawabannya tidak bisa mereka terima. Bukankah orang bertanya karena ingin tahu? Dan karena itu mereka seharusnya menyiapkan diri perihal apapun jawaban yang kira-kira muncul dari orang yang ditanyakan. Bukankah ia yang lebih tahu perihal dirinya sendiri. Tetapi, lagi-lagi orang yang lebih mempercayai asumsi-asumsinya sendiri itu tidak sanggup mempercayai yang telah didengarnya dari orang lain meskipun itulah yang tidak dan ingin mereka ketahui tadi.

Andai perasaan manusia itu hanya tersusun dari rindu saja. Atau bencisaja misalkan. Barangkali tidaklah sedemikian rumit. Tetapi perasaan manusia adalah rumah dari segala macam hal. Salah satunya hanya mendominasi saja untuk beberapa waktu. Dan karena itulah rindu tidak pernah berdiri sendiri. Begitu pula dengan benci.

Bukan tidak sering dia mempertimbangkan untuk memberi kabar lebih dulu. tetapi ia tidak bisa menahan pikirannya untuk memikirkan bagaimana jika orang yang dirindukan ternyata tidak merindukannya. Ah, peduli amat. Apa salahnya memberi tahukan bahwa ia rindu. Tetapi bagaimana jika orang-orang itu sedang dalam kondisi tidak sanggup menerima rindunya yang sudah sedemikian berat karena sesuatu dan lain hal—bisa jadi muatan hati orang-orang itu sudah terlampau penuh. Sedangkan seluruh hatinya hanya untuk rindu itu saja. Ah, sungguh ironis. Tetapi bukankah ada yang bilang, cukup dengan merindukan saja seseorang mungkin akan bahagia? Lalu bagaimana jika ia tidak bahagia setelah mengatakannya? Karena sebagian lagi juga mengatakan bahwa ketika merindukan orang lain tanpa ia sadari ia akan bertanya-tanya perihal apakah orang-orang itujuga sedang merindukannya. Rindu yang ironisnya selalu disertai ego untuk dirindukan pula.

Waiting_Thomas S._Flickr

Karena itulah ia memilih untuk tidak mendengarkan apa yang dikatakan orang lain.

Sambil terus memandangi sepasang pohon kelapa itu. Mulanya pikirannya dipenuhi dengan lambaian ujung-ujung daunnya yang gemulai naik dan turun karena angin, butir-butir kelapa yang menggantung di tandan muda, lalu imajinasinya bergeser pelan pada bayangan jemari yang mengelus kepala seorang anak kecil dan payudara ibu dengan susu yang berlimpah dan kaya, seorang anak kecil bermain kuda-kuda dengan ayahnya lalu dibelikannya es potong.

Rupanya, ia hendak mencari-cari di setiap sudut kepalanya barangkali masih ada sedikit kenangan serupa yang masih menyisa. Bukan tentang laki-laki dan perempuan yang meninggalkannya di pintu tanpa mengucapkan salam, tanpa mengecup dahi, tanpa janji untuk kembali, tanpa menoleh untuk yang terakhir kali, dan kemudian salah satunya pergi ke selatan dan yang lainnya ke utara.

Ia tidak pernah sempat menanyakan perihal dirinya dan sejumlah pertanyaan lain yang tidak sanggup dikatakannya. Seolah semua pertanyaan itu tidak pernah tepat ditanyakan bahkan mungkin semua yang berkaitan dengannya tidak pernah tepat sejak lahir atau malah jauh sebelum itu—sejak laki-laki dan perempuan itu bertemu entah di mana dan entah bagaimana sel telur dalam rahim perempuan itu bertemu dengan sel sperma laki-laki itu. Demikianlah jika semua pertanyaan, jawabannya harus dipikirkannya sendiri. Bisa jadi tidak pernah tepat.

Oleh karena itu ia menunggu, masih di sana—di tempat yang sama, di kursi merah itu. Di seberang jalan ada sepasang pohon kelapa yang terpisah sejauh lima meter. Yang satu—yang lebih muda—kurang lebih dua meter lebih pendek dibandingkan yang lain. Dulu seingatnya, bersisian dengan pohon kelapa yang memang sudah ada dalam ingatannya sejak dulu—yang lebih tinggi, ada semak bambu. Dua meter dari tempat semak bambu dalam ingatannya itulah pohon kelapa lain melengkapi pemandangan pohon kelapa di seberang jalan rumahnya itu menjadi sepasang. Seperti halnya pohon kelapa yang tiba-tiba menjadi sepasang, semak bambu yang tiba-tiba menghilang dari tempat itu juga menjadi salah satu topik pembicaraan lain di kepalanya. Tetapi kedua-duanya tidak lebih seperti iklan baris televisi.

Pada celah lima meter itu di setiap sore, ia melihatnya sebagai sebuah gerbang yang terbuka, menyeberangkan setiap yang dipikirkan dan segenap perasaan yang menyertainya ke suatu tempat yang bisa jadi lebih tepat daripada hati manusia lainnya. (*)

Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan