Separuh yang Separuh

Separuh yang Separuh

Separuh yang Separuh
Oleh : Alin Muzakky

Aku melihatnya lagi, si bidadari yang suka tertawa dan lompat-lompat bagai anak kecil. Kusunggingkan senyum geli. Kurasa … hatiku telah tertawan tingkah malu-malunya.

Hahaha. Jujur saja, selama hampir seperempat abad umurku, tak pernah hatiku jumpalitan begini aktifnya. Melihat dia memasang wajah serius sembari memilih satu di antara berjejer produk sampo saset seperti ini membuatku berpikir, perempuan ini memanglah jelmaan bidadari yang diturunkan ke bumi!

“Dam!” Mataku mengerjap cepat. Aku meringis pada Ustadzah Siti yang memanggilku sedari tadi, tapi terabaikan. 

“Ngapain di situ?” tanya beliau dengan tawa yang mengikuti. Bisa kulihat perempuan itu melirik kepadaku sekilas, sebelum kembali fokus pada pilihan-pilihannya. Ah, bisa kamu memilih aku saja? 

Kujawab tanya beliau dengan turut tertawa. Kemudian menuruni sepeda yang masih setia kunaiki dengan dua kakiku yang menjadi penyangga. Aku berjalan pelan memasuki toko. Lalu bersandar di etalase sembari (masih saja) memperhatikan perempuan itu, yang kini sudah beranjak mengambil barang-barang lain yang ingin dibelinya. 

“Nduk, Alina, Ustadzah titip toko sebentar. Mau ke kamar mandi dulu.” Bisa kulihat kilatan geli di mata beliau sebelum meninggalkan kami dalam kebisuan. Tidak. Tidak hanya kami berdua di dalam toko ini. Ada Angga yang sedang memilih jajanan dan juga Zukhruf yang memainkan ponsel umi-nya.

“Mbak, mau ini, ya?” Kulihat Angga yang menunjuk salah satu jajanan yang tergantung.

Alina menoleh kepadanya dengan senyum. “Ambil aja, Dek.”

Aku tergerak membantu bocah kelas dua SD itu mengambil jajanan yang diinginkannya. “Kakak yang beliin,” ucapku cepat tanpa berpikir panjang. 

Angga mengerjapkan matanya sebelum menengok ke arah Alina (yang sudah beranjak ke sisi dekat etalase) dan menjawab, “Nggak usah, Kak. Angga dibayarin Mbak Alina.” Bocah yang tinggal seasrama denganku itu menolak cepat dengan wajah sedikit mengejek.

Oke. Oke. Di sini aku terlihat seperti tak memilki perhatian sama sekali kepadanya yang notabene adalah adik asuhku, hingga dia santai saja menerima tawaran dari Alina yang merupakan “orang lain”. Meski sudah dianggapnya seperti kakak sendiri saking dekatnya mereka berdua.

“Kakak aja yang bayar,” kataku ngotot. Angga menunjukkan wajah serius-lo-bang yang sepenuhnya memancarkan keraguan. Aku mengangguk yakin. Matanya sedikit memincing menatapku. Mungkin merasa aneh dengan perlakuanku yang mana sebenarnya sama sekali tak pernah dekat dengannya. Hohoho. Jangan sampai niatku mencari muka pada Alina ketahuan!

“Tapi jajannya tambah, ya,” tawarnya. Aku mengangguk.

Angga menoleh. “Mbak Lin, nggak jadi. Angga mau ditraktir Kak Saddam,” katanya sambil mengangkat jajan-jajan yang telah dipilihnya. 

“Loh, nggak jadi, Dek?”

Angga menggeleng dengan ringisan senang. Jelas saja. Dia tidak akan sungkan lagi mengambil jajan sebanyak yang dia mau.

“Jadi, totalnya berapa?” kataku sembari menaruh beberapa barang yang kuambil acak, yang sebenarnya hanya menjadi alasan karena aku tadinya tak berniat membeli apa pun, hanya ingin melihatnya di meja kasir. Alina menyimpan belanjaannya di sisi meja kasir yang kosong. Sisi lainnya sudah penuh dengan jajanan yang diambil Angga dan juga barang belanjaanku.

“Abang yakin? Aku nggak masalah, loh, Bang, bayarin jajannya Angga. Aku yang nawarin tadi soalnya.”

Aku mengangguk dengan senyum. Dunia, dia memanggilku “Abang”!

Nggak papa, A ….”

“Alina, Bang.”

Senyumku semakin cerah. Raut khawatirnya benar-benar lucu.

“Nggak papa, Alina. Mumpung baru gajian juga.”

Dia mengangguk dengan senyum. “Boleh minta tolong digeser ke sini belanjaannya, Bang?”

Aku mengangguk. Menggeser satu per satu barang belanjaanku dan Angga kepadanya, kemudian juga barang-barang belanjaannya, agar mudah didata oleh detektor. Aku tersenyum mengetahui dia tak menyadari hal itu. Di sisi lain, Angga telah memasukkan barang belanjaan kami ke dalam dua kantong keresek yang berbeda. Tentu saja aku sudah memberinya kode tadi.

“Ini, ya, Bang. totalnya seratus tiga puluh tujuh ribu.”

Dahinya mengernyit sembari melihat lagi angka-angka yang tertera di layar komputer. “Jajannya Angga banyak ba–” Badannya berbalik dan terkejut seketika. “Belanjaan aku di sini ma–” Matanya kemudian memelotot melihat barang-barangnya sudah rapi terbungkus keresek. 

“Loh, Bang, kok?” dahinya mengerut. Kemudian seketika mengecek kembali daftar barang yang tertera di resi. Aku buru-buru mengeluarkan uang dan meletakkannya di meja sebelum menarik pelan resi di tangannya. Mata Alina masih mengikuti gerakan resi yang perlahan menjauh.

“Loh, Bang, loh ….” 

“Iya, anggap aja salam perkenalan dari saya.” Kusunggingkan senyum terbaik. “Ayo, Angga. Pulang,”

Angga ikut menyengir kepada perempuan itu sebelum mengikutiku keluar toko. Sementara tatapan mata Alina masih terlihat bingung.

“Bang!”

Aku menoleh. Menatapnya dengan tatapan bertanya dan senyum yang tak kunjung luntur. “Jazakallah ahsanal jaza,” katanya dengan senyum dan tangan yang menangkup di depan wajah. Aku mengangguk sebelum mengayuh pedal sepeda. 

Semoga Allah membalasmu dengan sebaik-baik balasan. 

Ah, bolehkah aku memilih sendiri balasan untuk hal kecil ini? Aku ingin meminta agar Allah menakdirkan kita menjadi satu, suatu hari nanti.

***

Kututup mushaf unguku setelah berkali-kali gagal fokus. Selain karena suara-suara di luar mushola semakin ramai, ingatan bahwa sandalku berada di sisi mushola yang menghadap lapanga–yang mana suara-suara laki-laki ramai terdengar dari sana–membuatku berpikir keras. Bagaimana aku mengambilnya tanpa harus berinteraksi dengan mereka?

Ah, aku juga tadi tak sempat membawa kaus kaki yang selalu kupakai ke mana pun. Selain itu juga, aku hanya memakai celana panjang kaus tanpa rok panjang di balik mukena ini. Aku tak bisa menyingsingkannya tinggi-tinggi karena harus melindungi area punggung kakiku juga. 

Aku mendesah pelan. Jarum jam sudah menunjuk angka tiga. Seharusnya saat ini aku sudah membuka kelas mengaji anak-anak sore ini. Tapi bagaimana caraku pulang ke asrama?

Aku akan nekat!

Dengan langkah hati-hati dan ujung bagian bawah mukena yang hampir menyentuh tanah–aku berjanji untuk ganti mukena setelah ini–aku berjalan cepat keluar dari mushola dengan kaki telanjang. Aku sadar ada yang mengikuti langkahku dengan pandangannya sedari tadi. Tapi aku bisa apa?

Berlari semakin kencang.

Sebelum berbelok menuju asrama, ekor mataku menangkap tatapan mata itu. Yang tak lepas dariku meski dirinya juga sedang mengobrol dengan laki-laki lain. Kak Saddam!

“Kenapa ko lari-lari e?” Kak Erin menatapku aneh.

Aku menjawab dengan sengiran. “Ditunggu anak-anak aku, Kak.”

Setelah berganti pakaian dan memakai kaus kaki kesayanganku, aku berjalan pelan ke aula untuk memulai kelas mengaji. Selama menyimak bacaan Al-Qur’an anak-anak, kusadari ada seseorang yang mengamatiku dari teras toko Ustadzah Siti yang berhadapan langsung dengan aula. Hanya terpisah jalan selebar tiga meter untuk jalan. 

Aku tersenyum kecil. Mulai terbiasa dengan tatapan memuja itu. “Memuja”? Ah, bolehkah aku mendeskripsikannya dengan kata itu? Atau dengan kata “sayang” saja? Menjadi tatapan “sayang”?

Hahaha. Aku tak akan merasa se-pede ini jika Ustadzah Siti tak mengatakan langsung kepadaku mengenai laki-laki itu. Kak Saddam. 

Dia menyukaiku.

Hatiku perlahan menghangat. Bagaimana tidak, dia adalah pria yang baik. Baik banget. Beberapa kali mengirimiku makanan ataupun barang-barang–terutama buku-buku–melalui Angga. Aku sudah berkali-kali menolak barang pemberiannya. Tapi dasar keras kepala, malah dititipkan langsung kepada Ustadzah Siti. 

Astaghfirullah. Cukup. Hati, tolong jangan begitu banyak berharap. “Sesuatu” itu belum pastiii. Jangan sampai mengusik kediaman hatimu. Tolong!

Tapi aku benar-benar tak bisa menghapus bayangnya yang acap kali berkelebat di mana pun aku berada. Ketika aku mengajar seperti ini, ketika aku piket halaman ataupun mushola, ketika aku pulang dari mushola setelah shalat Ashar, ketika aku berlatih pidato di teras asrama, ketika aku pergi ke toko di ujung desa, bahkan ketika aku hanya duduk bersantai di kursi bawah pohon mlinjo di depan asrama. 

Bagaimana hatiku tak kebat-kebit tak karuan dengan senyum dan hadirnya itu?

Tapi aku sadar diri. Harus bisa menjaga kehormatanku sendiri. Tak kutanggapi berlebihan semua perlakuannya kepadaku. Apalagi menunjukkan kesenanganku kepada segala macam perhatiannya. Meski tak dapat dimungkiri adanya kekosongan di hari-hari yang berlalu tanpa hadirnya. 

“Jangan coba-coba menggantungkan hati kepada seseorang yang tak pasti, Nduk! Hatimu itu terlalu berharga untuk merasakan patah hati yang tak perlu.”

Aku menunduk dalam. Bagaimanapun aku menyembunyikan gelisah, seorang ibu tak akan terlewat untuk menyadarinya. 

“Masa pengabdianmu sudah selesai, kan?”

“Sudah.”

“Ibu minta kamu pulang.” Ini bukan permintaan, aku tahu. Ini sebuah perintah.

Mataku memandang ke sekeliling area sambang dengan hati bergemuruh. Tidak. Aku tidak marah. Bukankah perintah ibu serupa titah yang harus dilaksanakan, aku tak akan menolak. Pun tak akan menyangkal dengan berbagai alasan, termasuk menanti hadirnya lagi di tempat ini seperti halnya beberapa bulan yang lalu.

“Alina berkemas dulu, ya, Bu.” 

Ibu mengangguk. Mata teduhnya menyorotkan kasih sayang yang tak habis-habisnya. Aku beranjak untuk kembali ke kamar, sedang Ibu dan Ayah mengurus perizinan boyongku di kantor pengurus.

Semua sontak histeris, tentu saja. Tak menyangka aku akan diminta pulang secepat ini. Semua mendoakan yang terbaik untukku.

Kuusap air mata di pipi sebelum kembali ke area sambang. Di sana sudah berdiri Ayah, Ibu, Ustadzah Siti, beserta beberapa dewan pengurus yang ikut mengantar. Kupeluk mereka satu per satu. Sungguh, bahkan perpisahan dengan pamit seperti ini saja membuatku begitu sedih. Bagaimana dengan dia yang tetiba saja menghilang?

Maukah kau, Alina, menggenapkan yang separuh dari separuh jiwaku?

Jahatnya! Dia hanya mengirimku pesan tanpa sapa. Tanpa kabar dirinya. Apa itu, menggenapkan yang separuh dari separuh? Tentu saja aku ma–

Kususut air mata yang menderas. Aku terlupa. Bahwa alasan Ibu memintaku pulang adalah untuk menemui suamiku. Iya. Ayah sudah mengijabkanku dengan lelaki pilihannya beberapa hari lalu. Hei, aku tak bisa protes, tentu saja. Beliau berhak untuk melakukan itu.

Kak Saddam, kenapa kau terlambat datang?(*)

 

Alin Muzakky. Lahir di Magetan. Bisa disapa melalui surel: dzakkyalin@gmail.com.

Editor : Lily

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply