Oleh: Sinta Dewi
“Sampai jumpa lagi Rhein … jangan lupain aku!” Teriak Bara kepada Rheina. Sontak membuat Gadis itu terbangun dari tidurnya. “Cuma mimpi …,” dengkus Rheina kecewa sembari menyeka keringat di tengkuknya. “Enggak terasa, udah 15 tahun berlalu sejak kepindahan lo ke Surabaya, Bar. Lo masih aja datang ke mimpi gue!”
Bara merupakan sahabat kecil Rheina. Keduanya berpisah ketika berusia 6 tahun. Namun, ternyata setelah 15 tahun berlalu, Bara masih sering datang ke dalam mimpinya. Terkadang, perasaan rindu datang begitu saja di hati Rheina.
Tok … tok … tok ….
Seseorang mengetuk pintu kamar Rheina.
“Rhein… sudah pagi. Kamu enggak kuliah?” tanya bundanya.
“Iya, Bun. Rheina udah bangun. Mau mandi dulu …,” jawab gadis itu.
Kemudian bunda pun beranjak dari kamar Rheina menuju ke ruang makan. Menyiapkan hidangan untuk keluarganya. Di sana juga sudah menunggu ayah dan adiknya, Meta.
15 menit kemudian, Rheina keluar kamar dan bergabung bersama keluarganya. Menikmati sarapan pagi sebelum memulai aktivitas.
***
Di kampus, Rayhan menemui Rheina ketika sedang bersantai di kantin bersama Nita.
“Hai, Sayang …,” sapa Rayhan pada Rheina sembari mencium kedua pipi kekasihnya tersebut. Rheina membalas ciuman lelaki itu, mesra.
“Heeemm … kacang, kacang. Ada orang woi di sini. Gue bukan patung kali. Enak aja lo berdua cuekin gue!” sergah Nita berlagak marah menyaksikan kemesraan kedua temannya. Sementara Rheina dan Rayhan hanya tersenyum melihat tingkah Nita yang memanyun-manyunkan bibir.
***
Pulang kuliah Rheina mencari Nita di sekitar kampus, dan ternyata Nita menemui anak-anak PA untuk mendaftarkan diri menjadi anggota.
“Nita!” teriak Rheina lalu mendekati sahabatnya yang sedang mengobrol dengan anggota PA.
“Hei, Rhein … kenapa? Sory, gue lagi daftarin diri jadi anggota PA. Lo mau juga, enggak?” tanya Nita.
“Hmm … PA, ya? Boleh-boleh …,” jawab Rheina antusias.
“Oke, kalau gitu! Minggu depan kita akan adakan pendakian di gunung Dieng. Kalau kalian berminat, silakan bersiap dan istirahat cukup!” perintah Kak Dhani.
***
Tiga hari menjelang perjalanan PA, Rheina mendapati Rayhan sedang bermesraan dengan Maya, mantan kekasihnya. Rheina murka dan melabrak keduanya. Mereka tidak bisa berkutik dan tak membela diri setelah tertangkap basah tengah berselingkuh.
Rheina menangis, dia tak percaya bahwa cowok yang sudah menjadi kekasihnya selama setahun ini, tega berkhianat. Gadis itu frustasi dan ingin membatalkan kepergiannya untuk mendaki. Namun, Nita membujuknya dan berkata bahwa mendaki akan membuat Rheina sembuh dari luka hatinya. Dia bisa menangis dan berteriak sepuasnya di hutan untuk meluapkan kemarahannya tanpa ada yang mengganggu. Akhirnya Rheina pun setuju untuk melanjutkan pendakian.
***
Pendakian di mulai, setiap anggota mempersiapkan diri, kemudian berangkat menuju lokasi dipandu oleh seorang instruktur pendaki. Banyak pelajaran di sana, tentang alam dan berbagai hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan di hutan saat pendakian berlangsung.
Rheina kagum dengan pemandangan yang demikian indah, hingga membuat kewaspadaannya menurun. Akibatnya, kaki kanan gadis itu terperosok. Beruntung seorang instruktur pendaki segera menahannya agar tak terjatuh. Rheina shock akibat kejadian itu, dia lemas dan akhirnya pendakian dijeda sejenak sebelum kembali dilanjutkan.
***
Sampai di tujuan, mereka mendirikan tenda dan memutuskan menginap selama 2 hari di puncak gunung Dieng.
“Oke teman-teman, perkenalkan saya Bara, saya cuma mau mengingatkan, setelah istirahat kita belajar tentang alam. Oke?” Ucap salah satu instruktur.
Sontak Rheina yang mendengar jelas nama itu disebut langsung fokus kepada sang empunya nama.
“Bara?” Rheina tersenyum getir, dia berpikir apakah benar dia Bara, sahabat kecilnya yang selalu dirindukannya? Namun, Rheina segera menepis pikirannya. “Nama Bara banyak bukan hanya sahabat gue doang.”
“Hei, sini kamu.” Instruktur bernama Bara tiba-tiba memanggilnya. Rheina kaget, dia hanya bisa melongo dan masih belum sadar sepenuhnya.
“I–iya kak!” jawabnya, gugup. Lalu berjalan pelan menghadap Bara. Gadis itu deg-degan, jantungnya berdegup tak keruan.
“Karena jadwal kegiatan besok sangat padat, kamu boleh istirahat lebih cepat. Jangan sampai cidera kakimu menghambat kegiatan,” ucap Bara.
Rheina mengangguk, mengerti.
***
Keesokannya, kegiatan dilakukan sesuai perintah instruktur. Setiap anggota diberi tugas masing-masing: memasak, mencari air, dan mencari ranting. Rheina bertugas mencari air bersama Vallen dan Rinho. Mereka mesti bergerak cepat menyusuri hutan, sebab harus kembali ke perkemahan sebelum petang. Sampai di bibir sungai, ketiganya bergegas mengambil air. Karena cidera di kakinya, Vallen dan Rinho membantu Rheina untuk mengangkat air.
Saat berjalan membuntuti Vallen dan Rinho, Rheina berhenti. Dia melihat ranting berserakan di pinggir lembah dan berniat mengambilnya sedikit untuk dibawa ke perkemahan. Vallen dan Rinho tak menyadari jika Rheina memisahkan diri dari mereka dan akhirnya hilang.
Semua anggota panik setelah mengetahui Rheina hilang. Mereka mencari gadis itu dengan cara menelusuri jalan yang tadi dilewati Rheina, Rhino, dan Vallen. Namun, hingga matahari beranjak turun dan langit menggelap, Rheina belum juga ditemukan.
Bara turut mencari, dan akhirnya dia menemukan Rheina duduk di tepi lembah. Meringkuk, seperti ketakutan. Pemuda itu menghampiri Rheina.
“Rhein ….” panggil Bara.
Rheina terkejut, matanya sembab. Dia bangun dan memeluk Bara.
“Kak Bara!” panggilnya, lalu memeluk pemuda itu. Bara pun membalas pelukan Rheina, lega.
“Kamu ke mana aja, Rhein? Semua orang bingung nyariin kamu!”
“Maaf, Kak … aku memang salah. tujuanku mengikuti pendakian karena aku sedang patah hati, aku ingin meluapkan kekecewaanku, Kak. Aku ingin menjauh dari orang-orang agar bisa menangis sepuasnya. Aku benci Rayhan!” Gadis itu tergugu dalam pelukannya .
Bara terdiam, mendengar cerita Rheina dengan seksama dan membiarkannya menangis dalam dekapannya.
“Ya udah, Rhein … ayo kita kembali ke perkemahan. Semua udah nunggu kamu.”
“Tunggu, Kak … aku masih ingin di sini. Menikmati sunset sembari menenggelamkan perasaanku yang hancur bersama matahari. esok, matahari itu akan terbit lagi, begitu pula denganku … aku akan bangkit kembali, menulis cerita baru dan meninggalkan kisah pahit yang sudah kualami.”
Bara memenuhi permintaan gadis itu. Dia membiarkan Rheina duduk di pinggir lembah sembari menikmati matahari terbenam. Pemuda itu duduk di sampingnya. Memandang jauh ke depan. Sesekali dia melihat ke samping, ke arah seorang gadis yang berlinang air mata. Rheina tampak tenang menyandarkan kepalanya di bahu Bara.
“Pemandangan indah ini enggak pernah aku nikmati sebelumnya, Kak. Makasih udah mau nemenin aku, Kak,” ucap Rheina. Bara tersenyum mendengar ungkapan polos Rheina.
Hari menggelap. Bara dan Rheina segera kembali ke perkemahan sebelum hari semakin larut.
***
Seminggu berlalu. Setelah acara pendakian itu, Rheina tidak pernah bertemu lagi dengan Bara. Sayangnya, mereka juga tidak saling bertukar nomor telepon.
Pulang kuliah, Rheina terkejut ketika mendapati Bara berada di rumahnya.
“Kak Bara?” ucap Rheina, kaget. “Dari mana, Kakak tahu rumahku?” tanyanya lagi.
“Dia Bara, Rhein …,” celetuk bunda tiba-tiba. “Dia Bara teman kecilmu.”
Sontak Rheina terkejut. Dia belum percaya jika instruktur pendaki yang minggu lalu menemaninya di lembah adalah Bara yang selama ini dia rindukan.
Rindu bercampur malu, sebenarnya. Hanya saja rasa rindunya lebih besar sehingga dia melupakan rasa malu itu dan berlari memeluk Bara.
“Weekend besok, aku mau ajak kamu ke puncak. Kamu mau?” tanya Bara.
Rheina mengangguk setuju.
***
Beberapa hari kemudian, Rheina dan Bara pergi ke puncak, menikmati weekend di puncak di villa keluarga Bara.
Sampai di puncak, hari sudah sore. Bara kembali mengajak Rheina duduk di sebuah lembah tidak jauh dari villa. Mereka kembali menikmati matahari terbenam, bersama.
“Kamu senang, Rhein?” tanya Bara.
“Senang …,” sahut Rheina, menggandeng lengan Bara, erat. Dia begitu menikmati momen kebersamaannya bersama sang sahabat.
“Rhein … gimana dengan perasaanmu sekarang? Udah lebih baik?”
“Baik … aku udah lupain semuanya, Bar. Aku bersyukur bisa ketemu dengan sahabatku lagi, kamu!” jawab Rheina.
“Sahabat? Apa selama ini kamu cuma menganggapku sebagai sahabat?”
“Maksudmu apa, Bar?”
“Aku ingin kita lebih dari sekadar sahabat, Rhein … aku menyayangimu. Sejak dulu, sejak perpisahan 15 tahun yang lalu, aku enggak bisa ngelupain kamu. Saat pendakian pun sebenarnya aku sudah tahu jika kamu adalah Rheinaku. Rheina yang selama ini kucari”
“Kenapa kamu enggak bilang kalau kamu sebenarnya Bara yang kucari?”
“Apa kamu bilang, kamu mencariku? Kamu sibuk meluapkan emosimu saat di hutan.”
Rheina terdiam.
“Sekarang bolehkah aku menjadi pengganti Rayhan di hatimu? Bukan sekedar menjadi pelampiasan sakit hatimu. Tapi menjadi penyempurna separuh hidupmu?” tanya Bara.
Hening. Untuk beberapa menit Rheina tidak mampu menjawab pertanyaan Bara.
Rheina teringat kejadian 15 tahun lalu, saat Bara harus pergi meninggalkannya. Begitu sakit. Sangat sedih. Karena dia ditinggal oleh sahabat satu-satunya.
Setelah sadar, dia memeluk Bara dengan erat. Dia tak ingin kembali kehilangan sosok Bara di dalam hidupnya.
“Aku mau, Bar. Bukan menjadikanmu pelampiasan sakit hatiku. Tapi pelampiasan rinduku padamu. Setelah sekian lama rindu ini kupendam, tak akan pernah lagi kuhidupkan dalam sebuah bayangan semu. Aku ingin kamu terus nyata dalam hidupku bukan dalam anganku,” jawab Rheina. Membuat Bara tersenyum senang.
Bara pun memeluk Rheina erat, di saksikan oleh matahari terbenam, kisah cinta mereka dimulai. Bersama petang yang datang dan matahari turun malu-malu, Bara mencium bibir Rheina. Ciuman pertama bagi kedua sejoli yang baru saja merajut kasih. Akhirnya mereka kembali bersama setelah 15 tahun berpisah dan mengubah kisah persahabatan menjadi sebuah cinta.(*)
Selasa, 16 Maret 2020
Sinta Dewi, seorang ibu rumah tangga yang sejak kecil bermimpi menjadi seorang penulis. Lahir di sebuah kota kecil di Jawa Timur, tepatnya di Probolinggo. Penyuka warna pink dan dance ini sejak kelas 5 SD sudah menyukai dunia menulis, meski bukan hobi. Namun, separuh waktunya dimanfaatkan untuk mengasah kejeliannya memainkan kata-kata.