Seorang Ibu di Mata Andini

Seorang Ibu di Mata Andini

Seorang Ibu di Mata Andini

Oleh Rainy Venesiia

 

Aku menatap mata Andini lekat. Kobar api menyala-nyala dari matanya yang hitam. Dia bersemangat sekali menerangkan padaku tentang keharusan seorang perempuan memikul tanggung jawab atas kehidupannya sendiri dan bukan di bawah bayangan ayahnya, kakek dari ayahnya, paman dari ayahnya atau saudara kandung yang lelaki. Sudah sepantasnya kaum perempuan melakukan sesuatu atas keinginannya dan bukan atas keharusan patuh pada ayahnya atau suaminya. Perempuan harus memiliki hak yang sama. Kemerdekaan bukan hanya milik kaum Adam saja. 

 

“Jangan mentang-mentang Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, lalu perempuan di tempatkan di kelas kedua.” Andini mengakhiri pidatonya.

 

Begitu berapi-api matanya membuat jantungku berdebar-debar tak beraturan. Dia tak menyadari jika matanya terlalu berkobar sehingga tak mampu melihat kesedihan yang sudah pasti kembali terpancar nyata dari mataku. Namun, kendati dia melihat pun, kuyakin dia tak akan mengerti. Dia tak paham kesedihan yang kurasa kini berbeda dari kesedihan-kesedihan yang sudah dia mafhum. Mungkin dia tak akan menerima jika tahu mulutku yang terkatup rapat sedang mengulum kalimat-kalimat penolakan atas pendapatnya itu, dan  aku kewalahan menelannya kembali.

 

Jika saja waktunya tepat, ingin kuteriakkan padanya;  semua kalimat retoris barusan sudah basi bagiku. Ibu tahu, Andin. Ibu tahu apa yang kau pikirkan saat ini. Ibu sudah hapal kalimat-kalimat retoris selanjutnya dan kemudian setelahnya. Bahkan, ibu hafal titik koma dari bab-bab yang baru kau baca.

 

“Ibu, kau tau, selama ini Ibu telah ditipu oleh ayah. Ayah hanya memanfaatkan Ibu untuk memudahkan urusannya. Dia mengambil alih urusan toko dan menyuruh Ibu di rumah mengurusku dan adik-adik. Dia telah menempatkan Ibu sebagai pembantu dan alat bagi kebutuhan biologisnya. Ah, Ibu, Ibu seorang sarjana sedang ayah hanya lulusan SMP. Mengapa Ibu bisa tertipu olehnya?”

 

Dia menatapku dan menghapus air mataku yang baru saja jatuh.

 

“Lihatlah, Ibu selalu saja seperti ini. Menangis karena laki-laki itu. Kapan Ibu mau berhenti disiksa olehnya? Ibu bisa tanpa dia. Ada aku, Bu. Sudah ya, Ibu jangan khawatir. Aku pasti mendukung Ibu. Aku berjanji akan mengusir tangisan dari wajah Ibu.”

 

Aku membelai rambutnya. Bagaimana kukatakan padanya, jika kali ini aku menangis bukan karena ayahnya yang sudah sebulan tinggal di rumah barunya bersama pendampingnya yang juga baru. Apakah putri sulungku ini akan menerima, jika kali ini air mata ibunya turun sebab perkataannya barusan. Lihatlah, dia berani memanggil ayahnya dengan sebutan laki-laki itu. Lalu, haruskah aku bahagia menyaksikan buah hatiku lancang pada ayahnya sendiri? Dia benar-benar tak menyadari lukaku kali ini sebab rasa hormat seorang anak kepada ayahnya telah pupus. Aku telah gagal. 

 

Andini merengkuhku. Aku menangis lebih keras di bahunya. 

 

“Sudahlah, Bu. Yakinkan bahwa Ibu bisa tanpa Ayah. Kita bukan makhluk lemah seperti yang mereka pikirkan. Kita harus buktikan bahwa perempuan juga bisa melakukan apa pun. Apa pun.” 

 

Aku bisa meraba dari nada suara Andini yang penuh tekanan pada kata apa pun, bahwa putriku itu sudah terlalu jauh untuk kembali.   Haruskah aku kini yang berorasi, membungkam mulutnya, mematahkan argumennya, meyakinkan dirinya bahwa apa yang ada di pikirannya sekarang soal kemerdekaan perempuan adalah salah.

 

Namun, aku tidak yakin dia akan menerima begitu saja. Sama sepertiku dulu yang meradang ketika kakakku menyalahkan pemahamanku. Aku tahu pasti argumen-argumen yang akan dilontarkan Andini untuk mematahkan pendapatku. Bahwa banyak aturan adat sengaja dibuat untuk menunjukkan otoritas kaum lelaki, agama tak ubahnya hukum yang bisa dipelintir untuk kepentingan kaum berjakun. Aku bergidik membayangkan kata-kata seperti itu keluar dari mulut buah hatiku. Apalagi jika sampai mengatakan bahwa dia sangat benci laki-laki.

 

Aku membelai kepalanya. Ingin rasanya kubeberkan tentang Tante Suastika yang dia kagumi, Tante Suastika yang telah mengajarkan kalimat-kalimat itu tak lebih dari seorang rentenir yang sesekali menghamburkan uangnya untuk bujang-bujang kurang kasih sayang dan butuh uang. Namun, bibirku bergetar, tak sanggup berbicara. Aku takut malah akan terjadi hal tak terduga. Aku takut jika putriku malah membela temanku itu dan aku benar-benar kehilangannya.

 

Aku memeluknya dan membisikkan kata-kata maaf. Aku menyesal telah membuka kembali hubungan pertemanan dengan Suastika. Kupikir dia sudah berubah ketika berterus terang telah keluar dari organisasi. Rupanya, meskipun tak lagi berkecimpung di dunia yang dulu kami geluti sejak kuliah, tapi pemikirannya tak berubah. Bodohnya aku membiarkan Andini dekat dengannya. 

 

Aku sangat menyesal telah sempat larut dalam luka yang dibuat suamiku. Aku terhuyung dan jatuh dalam rasa kecewa saat suamiku jujur telah menikahi seorang janda yang sangat memprihatinkan. Aku tak mau mendengar alasan apa pun. Aku hanya tahu rasa  sakit dan kecewa yang bertubi-bertubi. Lalu, aku menghabiskan hari-hari dalam keheningan, mengisi malam-malam dengan ratapan. Andin dan dua putriku yang lainnya terabaikan. Aku paham ketika Andin merasa nyaman mendapat tempat di pelukan Suastika. Andin yang polos dan masih muda, tentu saja merasa punya kawan berbagi lara. Hasutan Suastika membakar lukanya. Aku bisa memahami apa yang dirasakan Andini dan mengerti bagaimana kata-kata Suastika menjadi ayat pembenaran untuk apa yang dipikirkannya. Di matanya sekarang, aku adalah korban perbudakan laki-laki. Aku telah disakiti ayahnya. 

 

“Ibu, kita segerakan ya urusan perceraian dengan ayah?”

 

Aku tak tahan lagi. Batu sebesar kerbau seperti  menghantam dadaku. Aku menangis kembali. Untuk ke sekian kalinya dia memintaku bercerai dari ayahnya. Demi kebahagiaan aku sendiri, katanya. Dia pikir bercerai adalah jalan untuk mendapatkan kebebasan dan mengakhiri derita. Dia pikir setelah bercerai aku akan bahagia. Tidak, Sayang. Kau salah. Aku menangis kian keras ketika Andini menceritakan rencananya. Dia ingin membuang ayahnya jauh dari kehidupannya.

 

Hatiku kembali meracau; bagaimana caranya agar kau paham bahwa dengan bercerai justru neraka-neraka baru akan tercipta. Aku tak ingin kau dan adik-adikmu melupakan darah yang mengalir di tubuh kalian. Aku tak mau menjadi hamparan suluh yang akan membakar tubuhmu. Bagaimana membuatmu kembali yakin bahwa hanya Tuhan kebenaran yang nyata.

 

Aku menatap Andini. Dia balik menatapku. Tangannya lembut menghapus air mataku.

 

“Sudah, ya, Bu, jangan menangis lagi.”

 

Aku tersenyum. Lewat senyumku, aku ingin berkabar padanya bahwa aku baik-baik saja. 

 

“Ibu setuju, kan?”

 

Aku menggeleng dan meraih tangannya, menggenggam erat jemarinya sambil menatap matanya. Aku mengatur napas agar kata-kata yang hendak kusampaikan bisa dipahami dengan mudah tanpa harus beradu argumen. Aku sudah lelah. Ya, sangat lelah untuk terlibat dalam pembicaraan panjang yang belum tentu berakhir dengan baik sesuai harapan. Malam ini aku ingin tidur lebih cepat dan melupakan isi kepala Andini. Aku tidak tahu jika Andini tak ingin ayahnya lebih dulu mengabarkan perceraian.

 

Bandung, 21 April 2021

 

Rainy Venesiia menulis di sela-sela aktivitasnya sebagai seorang ibu. Beberapa tulisannya sudah terbit dalam bentuk antologi.

Editor: Lutfi R 

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply