Seorang Ibu dan Anaknya

Seorang Ibu dan Anaknya

Seorang Ibu dan Anaknya
Oleh : Imas Hanifah

Seorang ibu dan anaknya berjalan lemah menuju suatu tempat yang gelap. Ia tidak punya apa pun. Hanya sedikit rasa pusing dan banyak rasa sakit. Ia yakin, anaknya merasakan hal yang sama.

Di tempat yang semakin gelap itu, ia berharap menemukan sebuah titik terang. Ya, setitik saja. Jika ada setitik, maka ia akan punya harapan yang lebih baik. Sebuah kota terang yang baru saja ia tinggalkan, menyisakan banyak kesedihan. Walaupun ia dibayar sepuluh juta pun, ia merasa tak akan pernah mau lagi kembali ke sana. Semuanya, terlalu menyedihkan.

“Ibu, aku tidak bisa melihat,” suara anaknya yang serak membuat hatinya semakin teriris.

“Tenang saja, Ibu akan selalu menuntunmu.”

“Ibu sakit?” tanya anaknya lagi.

“Tidak, Sayang. Ibu hanya sedikit pusing.”

Setelah kalimat itu, si anak tidak bertanya atau bicara lagi. Ia mengerti, ketika seseorang sedang pusing, itu berarti, tidak boleh ada pertanyaan atau pembicaraan lagi. Itu hanya akan membuat siapa pun menjadi lebih pusing.

Belum ada titik itu. Tidak ada secercah pun harapan. Sang Ibu hanya terus berjalan tanpa tahu ke mana tujuan. Asalkan tidak kembali ke kota itu, ia merasa lebih baik. Bahkan, jika harus pergi ke jurang, itu lebih baik.

“Sayang, kamu masih kuat? Mau Ibu gendong?”

Si anak menggeleng. Namun, sang Ibu langsung menggendongnya. Tentu saja, gelengan si anak sebenarnya tidak terlihat. Mereka sedang berjalan di dalam kegelapan. Menuju tempat yang lebih gelap lagi.

“Ibu, aku tidak apa-apa, aku tidak perlu digendong.”

“Ibu tahu, kamu lelah berjalan.”

“Tapi aku tahu, Ibu sedang pusing.”

“Ibu juga tahu, kamu lapar.”

“Aku juga tahu, Ibu juga lapar.”

Mereka sama-sama menangis. Bedanya, si anak menangis dengan keras, sedangkan sang Ibu hanya menangis dengan pelan.

Beberapa menit saja, mereka semakin kelelahan karena menangis. Namun, itu juga menimbulkan rasa lega bagi keduanya.

“Ibu, apa kita pernah merayakan ulang tahun?”

“Kenapa kamu bertanya?”

“Aku penasaran, kapan aku dilahirkan?”

“Ibu lupa.”

Si anak cemberut. “Kenapa Ibu lupa?”

Sang Ibu berpikir sebentar. “Ibu tidak tahu kenapa Ibu lupa.”

“Kalau begitu, kapan Ibu dilahirkan?”

“Itu juga, Ibu tidak ingat.”

Si anak semakin merasa kesal. Ia memilih untuk kembali diam.

Titik itu, belum terlihat. Belum sama sekali. Mereka masih berjalan dalam kegelapan. Mereka masih meraba-raba setiap langkah. Namun, sekali lagi, kedua kaki sang ibu, sudah mantap untuk terus berjalan ke dalam kegelapan. Berharap, akan ada titik terang itu. Semoga saja.

Ada banyak alasan kenapa sang Ibu ingin pergi dari kota yang terang dan penuh dengan cahaya gemerlap. Cahaya-cahaya di kota hanyalah tipuan. Sama seperti tipuan dari kilau gelang emas dan berlian orang-orang kaya. Sang Ibu merasa tertipu dengan semua hal di dunia. Ia merasa kehidupan juga telah menipunya.

Mereka terus berjalan. Namun, sebuah suara aneh terdengar. Suara yang mirip lolongan serigala. Setelah itu, banyak suara yang datang. Bukan hanya satu atau dua, tapi ratusan suara. Suara-suara mengerikan yang entah berasal dari mana. Membuat sakit telinga. Sang Ibu cemas.

“Sayang, apa kamu merasa takut?”

“Tidak, Ibu. Aku tidak takut.”

“Apa kamu mendengar suara-suara itu juga?”

“Iya, aku mendengarnya.”

“Kamu benar-benar, baik-baik saja?”

“Selama Ibu di sini, aku akan baik-baik saja. Aku yakin, Ibu tidak akan menyakitiku.”

“Memang, aku tidak akan pernah menyakitimu. Kita akan bebas, Nak. Kita akan bebas dan merasakan kebahagiaan.”

“Bebas?”

“Iya, kita akan bebas dan tidak akan merasakan kesakitan atau kelaparan lagi.”

“Benarkah? Akan ada hari seperti itu?”

“Tentu saja, akan ada hari seperti itu. Tunggu saja, kita akan segera sampai.”

Suara-suara mengerikan itu semakin jelas terdengar. Sang Ibu tertatih menyeret langkahnya. Ia sangat lelah.

“Ibu, aku akan turun. Aku tahu, Ibu sudah capek.”

Sang Ibu tidak mendengar itu. Suara-suara mengerikan telah membuat telinganya sulit mendengar suara anaknya.

“Ibu! Aku akan turun!” teriak sang anak.

“Tidak sayang! Kita akan sampai sebentar lagi!”

Sang anak merasa tidak tega. Ia tahu ibunya sudah sangat lelah. Bahkan, tanpa ia di gendongan, ibunya sudah susah payah berjalan.

“Ibu! Aku akan turun!” teriak sang anak lagi. Ibunya kesal. Namun, tak kunjung menurunkan anaknya. Tentu saja, ia lebih tidak tega lagi jika harus menurunkan anaknya dalam keadaan jalanan yang sangat gelap.

Akhirnya, suara-suara mengerikan itu lenyap. Berganti dengan hening. Hening yang amat mencekam. Semakin mencekam ketika sang Ibu menyadari sesuatu. Bahwa anaknya, sudah tidak lagi berada di punggungnya. Ia tidak sedang menggendong anaknya.

“Sayang! Di mana kamu!”

Sunyi. Tak ada jawaban.

Sang Ibu panik. Ia ketakutan. Ia tidak mungkin berjalan terus sendirian. Ia tidak akan pernah berjalan dalam kegelapan menuju kebahagiaan yang ia yakini. Tidak bisa, ia harus kembali.

Akan tetapi, jika ia kembali, ia akan kembali ke arah kota terang yang menyedihkan itu. Tidak, ia tidak ingin ….

“Sayang! Ibu akan menunggu di sini. Ibu tidak akan ke mana-mana. Ibu tidak akan berjalan ke mana-mana.”

Sang Ibu terduduk. Di dalam kegelapan, ia terisak. Ia kehilangan segalanya. Sekarang, satu-satunya yang ia miliki juga hilang. Ia putus asa dan menyesal.

Sang Ibu mengingat sesuatu. Tentang anaknya yang semula menolak untuk pergi dari kota terang itu. Sang anak berusaha keras membantah. Namun, sang Ibu terus meyakinkan. Bahwa, tak akan pernah ada kebahagiaan pada sebuah kota yang kejam. Satu-satunya kebahagiaan yang akan didapatkan adalah, mereka harus pergi. Pergi dari kota terang, pergi menuju gelap, pergi dari dunia ini dan berharap ada cahaya lain.

***

Sebuah dengungan di telinga dan rasa sakit di sekujur tubuh, ia rasakan ketika pertama kali membuka mata. Ruangan yang sangat terang. Kemudian, ia mengingat sesuatu.

“Sayang! Di mana kamu?”

Seorang dokter menghampiri. “Tenang, Bu. Anak ibu sudah sadar dari kemarin. Ia juga tidak hentinya menangis. Ia sedang tidur sekarang.”

Sang Ibu segera melepas selang infus dan mencari sang anak. Meskipun rasa pusing masih menguasai kepalanya.

Akhirnya, ia dapat melihat sang anak yang memang sedang tertidur. Tak ada yang bisa menahan air matanya yang terus jatuh. Hal itu, membuat si anak terbangun. Ketika matanya terbuka, sang Ibu melihat sebuah titik yang sangat terang. Ia menyadari sesuatu. Sesuatu yang membuat penyesalannya bertambah dua kali lipat. Tak ada yang lebih membahagiakan selain pancaran mata anaknya. Ia bahagia dan merasa terlahir kembali.

“Ibu?” Sang anak langsung menangis lagi.

Dan kalimat itu, adalah hadiah terindah yang pernah ia dapatkan seumur hidupnya.

***

Dalam suasana yang penuh haru itu, semua orang di rumah sakit membicarakan mereka berdua. Seorang ibu yang mengajak serta anaknya dalam sebuah percobaan bunuh diri. Beruntung, keduanya masih bisa terselamatkan.(*)

 

2019

Imas Hanifah N. 24 Desember adalah tanggal ia lahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Saat ini, ia memiliki kesibukan sebagai salah satu pelayan di sebuah toko. Ia bisa dihubungi lewat akun Facebook-nya: Imas Hanifah N, akun Ig: @hanifah_bidam atau lewat e-mail: hanifah24halimtuti@gmail.com.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply