Tantangan Loker Kata 21
Naskah Terbaik ke-13
Seorang Bayi dengan Penunjuk Waktu di Dahinya
Oleh : Aris’ky Maulana
Kehidupan Syamsuri yang membosankan berubah saat malam di mana dia menemukan seorang bayi di depan pintu rumahnya. Dia baru saja pulang dari pekerjaan menjaga toko kue, tepat beberapa menit setelah pukul 00:00, matanya memerah karena mengantuk dan bahunya terkulai karena lelah. Namun, ketika sebuah tangisan terdengar, dia segera mengerjap.
Bayi tersebut terbungkus dalam selimut—cukup untuk memberi kehangatan tetapi tidak menyesakkan. Sebotol susu tergeletak di sisi tubuh si bayi. Segala pertanyaan segera menghinggapi kepala Syamsuri dan menghapuskan rasa kantuknya.
Syamsuri menggendong bayi itu ke dalam rumah. Pikirnya, tidak mungkin ada orang yang sengaja meletakkan bayi di sembarang tempat tanpa tujuan. Dia mengayun-ayunkan si bayi dalam pelukannya agar berhenti menangis. Sambil melakukan itu, dia berpikir tentang siapa seseorang yang meninggalkan bayi itu di depan rumahnya. Tidak mungkin seorang mantan kekasih yang sakit hati karena diputuskan oleh Syamsuri, jelas, karena Syamsuri belum pernah memiliki kekasih. Syamsuri juga tidak memiliki musuh bebuyutan.
Kecuali, mungkin, paman dan bibinya yang sejak dulu bertekad untuk membuat hidup Syamsuri menderita. Mengingat kenangan tentang paman dan bibinya membuat sesuatu di dalam dada Syamsuri patah, kepatahan tersebut menyebabkan pelukannya pada si bayi semakin mengerat.
Syamsuri memperhatikan bayi itu lebih saksama. Mata abu-abu si bayi berkedip menatapnya. Tangisan itu telah berhenti. Kini si bayi sedang mengisap susu dari botol. Kemudian Syamsuri menyadari sesuatu. Sesuatu yang kecil sehingga perlu menyipitkan mata untuk bisa melihatnya. 150301–2000—sebuah angka-angka tertulis di dahi di atas alis kanan bayi itu, terletak tidak jauh dari angka-angka tersebut tertulis juga: 00:21.
Semakin banyak pertanyaan yang menghinggapi kepala Syamsuri. Tidak satu pun pertanyaan yang mendapatkan jawaban. Namun, kemudian 00:21 berubah menjadi 00:22. Kening Syamsuri berkerut, sesuatu yang mencurigakan seperti satu jawaban mendarat di kepalanya, dia menunggu untuk memastikan. Ketika angka-angka tersebut menjadi 00:23, kecurigaan Syamsuri terbukti benar.
Itu adalah waktu yang menunjukkan jam saat ini. Apakah itu berarti angka-angka lainnya menunjukkan tanggal? Mungkin. Tetapi jelas bukan tanggal saat ini: 27 Juli 2025. Syamsuri menyipitkan mata lagi demi mendapatkan jawaban atas angka-angka itu. 150301–2000. Kemudian air es seperti menyiram kepalanya. Entah bagaimana dia tidak menyadari hal itu sejak awal. 150301 adalah waktu yang menunjukkan di mana Syamsuri pertama kali menghirup udara kehidupan di dunia.
Tanggal kelahiran Syamsuri tertulis di dahi si bayi.
Seolah menyadari kesadaran Syamsuri, bibir bayi itu melebar, tersenyum bagaikan seseorang yang mengerti. Syamsuri mengusapkan jempolnya ke dahi si bayi, tepat ke tulisan tanggal, beberapa kali. Tiba-tiba terjadi perubahan. Angka 1 terakhir pada deretan enam angka itu menjadi 7. Syamsuri merasakan panas di perutnya—sesuatu di dalam sana terasa melilit. Ruangan tempatnya berdiri seperti berputar. Dia mengerjapkan mata, kaca-kaca menghalangi pandangannya, buram sebelum gelap total.
***
Syamsuri terbangun di sebuah pekarangan rumah yang baginya tak asing lagi. Dia melihat ayunan di bawah pohon mangga. Kenangan tentang tangan Syamsuri yang patah di ayunan itu karena dorongan kencang dari sang paman melintas di benaknya. Pekarangan tersebut dikelilingi oleh rumput-rumput yang tumbuh tanpa bunga. Sungguh, bahkan bertahun-tahun setelah Syamsuri meninggalkan rumah itu, dia masih tidak mengerti untuk apa rumput-rumput itu.
Bibi Rona tidak menyukai bunga. Katanya, bunga hanya untuk wanita murahan. Tetapi Syamsuri tahu alasan sebenarnya. Bibi Rona tidak menyukai bunga karena bunga-bunga tidak mau tumbuh mekar di sekitar rumahnya.
Suatu hari, Syamsuri melihat Bibi Rona menanam benih bunga lili. Setiap waktu—matahari terbit, matahari di atas kepala, matahari terbenam—dia menyiraminya dengan air. Benih tersebut bahkan tidak menjadi tunas setelah berminggu-minggu. Jauh sebelum hari itu, tumbuhan mawar yang dibelinya menjadi layu.
Syamsuri terhanyut dalam kenangan masa kecil. Sambil memeluk lutut, dia berpikir tentang betapa menyedihkan bagaimana cara dia tumbuh dewasa. Saat seharusnya anak kecil bermain tanpa kenal waktu, Syamsuri justru ketakutan akan kehabisan waktu antara membereskan pekerjaan rumah dan makan.
Kegiatan mengenang Syamsuri terhenti ketika dia mendengar suara tangisan. Tersadarlah Syamsuri dengan kehadiran bayi itu. Bayi itu tergeletak tidak jauh dari tempat Syamsuri duduk. Susu di botolnya habis. Syamsuri bergerak untuk menggendong bayi tersebut.
Tak lama setelah si bayi tenang, Syamsuri mendengar teriakan dari dalam rumah. Dia segera—dengan susah payah—berjongkok di balik rumput-rumput yang tumbuh tinggi. Pintu rumah terbanting terbuka. Paman Natar yang bertubuh gemuk menyeret tangan anak laki-laki kurus dan pendek.
“Pergi belikan aku rokok, Bocah!”
Anak laki-laki itu—Syamsuri mengenalinya sebagai Syamsuri-kecil—berjalan pergi dengan bahu terkulai. Syamsuri kemudian menyadari bahwa dia sedang berada di masa lalu. Pandangannya tidak bisa beralih dari bocah yang tampak seperti berusia empat—kenyataannya enam, jika 150307 berarti dia berada di tahun 2007—itu. Syamsuri yang berusia enam tahun adalah bocah yang menuruti apa saja demi menghindari pukulan. Bocah yang berusaha bersikap baik demi menyenangkan paman dan bibinya. Bocah itu belum mengerti bahwa kebaikan apa pun yang dia lakukan tidak akan menghasilkan kesenangan untuk orang-orang yang terpaksa mengasuhnya.
Pengasuhan yang terpaksa itu menjadikan Syamsuri seperti sekarang. Lelaki penyendiri yang tidak pernah merasakan cinta. Mulutnya mendadak kelu ketika berhadapan dengan perempuan. Kehidupannya pun berputar antara tidur dan pekerjaan yang membosankan.
Terkadang Syamsuri berkeinginan menjadi seseorang yang lain. Seseorang yang tumbuh dengan cinta dan kasih sayang. Namun, dia sadar itu adalah suatu ketidakmungkinan: kau tidak mungkin bisa mengubah kehidupan yang telah berlalu. Tetapi kesadaran tersebut tidak cukup untuk menghentikan suatu pemikiran di kepala Syamsuri. Syamsuri melihat angka-angka di dahi si bayi: 150301–2000 00:32. Enam angka pertama itu kembali seperti semula. Sementara jam menunjukkan tengah malam, matahari di atas kepala Syamsuri bersinar terik. Itu berarti ada perbedaan waktu antara masa lalu dan masa kini—masa di mana Syamsuri seharusnya berada.
Syamsuri berpikir tentang perbedaan. Mungkin inilah alasan bayi itu berada di depan rumahnya: untuk menyelamatkan kehidupan masa kecil Syamsuri. Sebuah rencana terbentuk, dengan tekad, Syamsuri pun berdiri. Dia mengetuk pintu rumah itu.
“Kami tidak menerima tamu!” seru suara Paman Natar yang tinggi. Syamsuri tidak menyerah. Dia mengetuk pintu tanpa jeda.
Seseorang dari dalam rumah menggeram. Terdengar langkah tergesa-gesa sebelum pintu berderit terbuka. Bibi Rona berdiri memelototi Syamsuri. Paman Natar berbaring di atas sofa seperti seorang raja yang menunggu pelayanan. Radio dan TV menyala bersamaan. Tidak ada debu yang terlihat atau tercium di lantai rumah kecil itu. Syamsuri mengingat saat-saat dia merangkak demi mengepel lantai tersebut.
“Seperti kata suamiku, kami tidak menerima tamu, apalagi tamu asing seperti kau. Jadi, silakan pergi dari sini.” Bibi Rona menyilangkan tangan di dada.
Syamsuri melebarkan bibir. “Aku bukan tamu asing, Bibi.”
Kerutan tercipta di kening Bibi Rona, matanya menyipit, seperti seseorang yang berusaha mengenali sesuatu, dan dalam hal ini: pemuda dengan gendongan bayi di depan rumahnya. Usaha tersebut ternyata sia-sia, karena kerutan di kening wanita itu semakin bertambah. Lalu terjadi percakapan lucu.
“Siapa di sana, Rona?” teriak Paman Natar.
“Hanya seorang pemalas yang meminta sumbangan, Sayang!”
Syamsuri tidak bisa menahan tawa. Dia tertawa terbahak-bahak hingga suaranya menggema ke dalam rumah. Raja di dalam rumah pun bangkit. Paman Natar memelototi Syamsuri yang tidak berhenti tertawa. Satu menit berlalu seperti itu.
Setelah mengendalikan diri, Syamsuri berkata dengan meremehkan: “Pemalas, ya?” Bibi Rona menggertakkan gigi dan Paman Natar menggeram. “Apakah kau tidak punya kaca, Bi? Atau kau sungguh tidak mengerti? Tidak ada pemalas yang bangun sebelum matahari menampakkan diri. Tidak ada pemalas yang menghabiskan waktunya dengan segala pekerjaan rumah. Oh, biar kuceritakan sebuah kisah, Bi! Suatu hari seorang anak laki-laki kabur dari rumah ini pada usia tujuh belas. Setelah kabur anak laki-laki tersebut untuk sementara tinggal di jalanan. Dia ketakutan dan berpikir untuk kembali. Tetapi tekadnya untuk menjauh dari kehidupannya yang menyedihkan sangat kuat, cukup kuat sehingga dia bisa bertahan sampai mendapatkan pekerjaan. Apakah sekarang kau mengerti? Astaga, raut wajahmu mengatakan tidak. Baiklah, bagaimana kalau aku bilang bahwa aku berasal dari masa depan?”
Keterkejutan menghiasi wajah Bibi Rona sebelum tergantikan oleh ketakutan. Inilah wanita yang menghabiskan harinya menonton film horor. Sementara Paman Natar menggertak, “Omong kosong!”
Syamsuri melangkah memasuki rumah. Bibi Rona dan Paman Natar tidak memiliki anak. Ada dua kamar di rumah itu. Satu untuk mereka tempati sendiri dan satu untuk penghuni tak kasatmata. Mereka membiarkan Syamsuri tidur di lantai ruang tamu. Syamsuri mengamati rumah itu. Matanya tidak berkedip sambil berkeliling. Itulah sebabnya dia tidak menyadari saat Paman Natar mengangkat kakinya untuk menendang.
Syamsuri merasakan sakit di punggung. Dia mengeratkan pelukan pada gendongan si bayi. Syamsuri mengingat tentang kaki yang sama menendang tubuh Syamsuri yang lebih kecil. Mata Syamsuri memburam. Dia merasakan pipinya basah.
Demi mengingat kenangan itu, satu tangan Syamsuri mengepal. Dia berbalik dan memukul wajah pamannya.
“Itu untuk segala tendangan serta pukulan yang telah kau berikan padaku.” Syamsuri memukul lagi, kali ini tepat ke hidung. “Itu untuk kasih sayang yang seharusnya kau berikan padaku!” Pukulan kemudian berubah menjadi cekikan. Mulut Paman Natar terbuka seperti kesulitan bernapas. Bibi Rona menjerit panik. Tetapi bukan jeritan tersebut yang menghentikan aksi Syamsuri, melainkan pemandangan bocah laki-laki yang berdiri ketakutan di ambang pintu.
Syamsuri mendekati bocah itu dan menyeret tangannya pergi. Si bocah menurut tanpa memberontak. Setelah jauh dari rumah, Syamsuri berhenti. Tubuh bocah itu gemetar.
“Hai, jangan takut, aku tidak akan menyakitimu.”
Syamsuri-kecil menunduk.
“Aku akan membawamu pergi dari rumah itu. Kau mau, bukan?”
Syamsuri-kecil menggeleng
“Kenapa?”
“Aku tidak kenal kau.”
Syamsuri kemudian mengangguk. Dia berpikir tentang penjelasan. Menjelaskan tentang masa depan hanya akan menimbulkan kebingungan, jadi Syamsuri berpikir satu-satunya cara untuk mengatasi situasi ini adalah dengan memberi Syamsuri-kecil harapan.
“Tatap mataku, Syam. Apakah kau melihat orang asing di mataku?”
Kedua pasang mata itu saling memandang. Sepasang mata Syamsuri-kecil membesar sebelum mulutnya mencicit.
“A-ayah ….”
Selama mereka berpandangan, jari Syamsuri mengusap angka-angka di dahi si bayi hingga angka-angka itu menjadi 270725–2000 dan kemudian menekannya. Syamsuri memegang tangan Syamsuri-kecil. Dia merasakan perutnya melilit dan dunia berputar. Dia telah bersiap akan datangnya kegelapan itu.
***
Syamsuri terbangun karena ketukan pintu. Dia mengerjap dan mengingat tentang perjalanan waktu ke masa lalu serta membawa masa lalu itu ke masa kini. Semua kejadian bagaikan mimpi. Namun, seorang bayi dan sesosok anak kecil yang terbaring di sofa di sampingnya membuktikan sebaliknya.
150301–2000 kembali tertulis di dahi si bayi dan diikuti angka 00:47. Suara ketukan pintu terdengar lagi. Namun, sebelum dia berdiri untuk melihat siapa, pintu terbuka. Seorang laki-laki melangkah masuk, janggut menumbuhi sisi-sisi wajahnya.
“Siapa kau?” tanya Syamsuri.
Si laki-laki asing memamerkan gigi. “Ayah dari bayi ini,” katanya sambil mengambil bayi itu ke pelukannya. “Dia adalah bayi spesial. Bayi yang lahir karena keajabain waktu. Lihat tanda lahir ini.” Dia menunjuk angka-angka yang Syamsuri pikir adalah tanggal. “Ini adalah tanggal lahir dari seseorang yang membantu mewujudkannya.”
“Siapa kau?” tanya Syamsuri lagi.
Laki-laki itu memandang Syamsuri-kecil yang sedang terlelap. Dia tersenyum semakin lebar. Setelah mengusapkan jarinya di angka-angka di dahi si bayi, dia melambaikan tangan dan menyampaikan salam perpisahan: “Selamat tinggal, Ayah!”[*]
Subang, 30 Juli 2025
Aris Rizki Maulana adalah nama lengkapnya. Laki-laki kelahiran 15 Maret 2001 ini senang menulis, terutama cerita tentang kehidupan. Kesenangannya tersebut tumbuh karena dongeng-dongeng yang dibacakan ayahnya sewaktu kecil.