Senyum di Wajah Nancy
Oleh: Triandira
Pagi itu adalah terakhir kalinya aku bertemu dengan Ayah. Setelah kepulangannya dari New Orleans untuk menyelesaikan urusan pekerjaan, ia belum muncul lagi di hadapanku hingga sekarang. Aku tidak tahu apakah yang Tuan Scot katakan soal Ayah beberapa saat yang lalu itu benar, tetapi aku yakin ada hal buruk yang telah terjadi padanya. Jika tidak, tentu sekarang ia sudah berada di rumah bersamaku.
“Ini sudah malam, Tuan Kevin. Ayo, kuantar kau ke kamar,” ajak Tuan Scot. Lelaki paruh baya yang sudah lama bekerja di rumahku. Ia adalah orang kepercayaan Ayah yang sudah kuanggap seperti kakekku sendiri.
“Tidak, aku masih ingin di sini. Mungkin sebentar lagi Ayah pulang.”
“Ya, baiklah. Tapi kau bisa menunggunya di kamar sambil membaca buku cerita. Sementara itu aku akan membuatkan segelas susu hangat untukmu. Bagaimana?”
“Ide bagus, Tuan Scot. Aku rasa Kevin tidak akan menolak,” sela seorang wanita dari balik pintu.
Aku menoleh, lalu melonjak girang begitu menyadari siapa yang datang. “Nancy!”
“Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu?”
“Aku …? Tidak begitu baik, tapi aku senang kau datang.”
Tuan Scot ikut menyambut hangat kedatangan Nancy, lalu pergi ke dapur untuk membuatkan minuman.
Seperti biasa, Nancy selalu terlihat cantik dengan senyum di wajahnya. Tidak hanya ramah, ia juga bersikap baik terhadap semua orang, dan karena itulah aku menyukainya. Bahkan semenjak pertama kali kami berjumpa.
Nancy adalah teman dekat Ayah. Mereka saling mengenal setelah aku tanpa sengaja menumpahkan minuman di baju wanita berambut pirang itu. Tepatnya ketika Ayah mengajakku berlibur ke taman hiburan tiga bulan yang lalu. Karena kurang berhati-hati saat berjalan, aku menabrak Nancy yang tengah berlari dengan wajah cemas. Untunglah ia tidak marah, dan memaafkan kesalahanku.
“Tidak, jangan marahi dia. Ini semua salahku,” ucap Nancy kala itu. “Tadi aku sedang terburu-buru, jadi kami bertabrakan.”
“Benarkah? Tapi sungguh aku minta maaf, karena Kevin bajumu jadi kotor.”
“Ah, ini. Tidak masalah, aku bisa membersihkannya nanti. O ya, aku harus pergi sekarang. Senang berjumpa denganmu, Kevin.”
Aku mengangguk pelan sambil melemparkan senyum ke arahnya, lalu tak lama kemudian ia menghilang dari hadapan kami. Sejak itulah aku berharap bisa bertemu lagi dengan Nancy. Wanita muda yang kini menjadi sosok terpenting di hati Ayah, tentu saja selain aku. Tapi sepertinya orang dewasa memang menyukai hal yang rumit. Aku benar-benar tidak mengerti kenapa butuh waktu yang lama bagi Ayah untuk menjadikan Nancy sebagai ibuku. Ah, seandainya itu terwujud pasti akan sangat menyenangkan. Setidaknya, aku bisa merasakan kembali kasih sayang seorang ibu.
“Jadi, apa ada yang ingin bermain denganku sekarang?” tanya Nancy menyadarkanku dari lamunan. Ia melepas pelukan, lantas mencubit gemas pipiku.
Aku yang sejak tadi sudah merasa bosan, langsung mengangguk cepat. “Bagaimana dengan ini? Aku sangat ingin mencobanya,” bujukku yang disambut tawa oleh Nancy. Ia meraih kacamata yang kusodorkan untuknya, juga kaca pembesar yang akan kami gunakan untuk bermain.
“Baiklah, Tuan Kevin. Kasus apa yang harus kita selidiki hari ini?”
Pertanyaan yang ia lontarkan barusan sungguh membuatku geli. Kami sudah mirip detektif sungguhan, seperti Ayah. Jika lelaki itu sedang berada di rumah, tepatnya di ruang kerja miliknya, aku sering mendapati Ayah tengah berkutat dengan dokumen-dokumen penting yang ia letakkan di atas meja. Terkadang ia juga menggunakan kaca pembesar untuk mengamati sesuatu, entah apa. Mengenai hal tersebut, aku jadi teringat satu hal. Tentang kemarahan yang kudapatkan dulu.
“Letakkan itu, Kevin!” geram Ayah ketika aku menyentuh sebuah kantung plastik bertuliskan “barang bukti”. Aku tidak mengerti apa itu, tapi yang jelas Ayah tidak menyukainya—sikapku yang begitu saja masuk ke ruangan bernuansa klasik tanpa seizinnya. Kala itu Ayah memang lupa tidak menutup pintu, jadi kupikir tidak masalah.
“Kita harus merancang strategi terlebih dahulu, dan aku tahu di mana kita bisa melakukannya,” saranku pada Nancy sebagai jawaban atas pertanyaannya tadi. “Setelah itu kita mulai penyelidikan. Bagaimana?”
“Ide yang bagus. Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo, kita masuk.”
“Tidak, Nancy. Bukan di situ,” selaku cepat, menghalangi langkahnya yang hendak masuk ke ruang kerja Ayah.
“Kenapa? Bukankah ruangan itu yang biasa ayahmu gunakan untuk bekerja? Dengar, semua yang kita perlukan untuk menyelesaikan permainan ini ada di dalam sana, jadi—”
“Aku rasa kita bisa bermain di kamarku saja. Lagi pula Tuan Scot yang memegang kunci ruangan itu, dan aku yakin dia tidak akan mengizinkanku untuk meminjamnya.”
Nancy memicingkan mata. Ia tampak berpikir sejenak, “Apa ayahmu selalu menguncinya?”
“Ya. Kata Ayah ada banyak hal penting di sana, jadi aku ataupun Tuan Scot tidak boleh sembarangan masuk.”
“Begitu, ya? Oke, kalau begitu kita bermain di kamarmu saja.”
***
“Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Tuan Kevin.”
“Jangan katakan apa pun terhadapnya, Tuan Scot. Kumohon, rahasiakan hal ini darinya. Paling tidak sampai kami kembali nanti.”
“Baik, Nona.”
“O ya, besok aku dan Kevin akan berangkat jam tujuh pagi.”
“Jangan khawatir. Akan saya siapkan semuanya.”
“Terima kasih.”
Nancy melangkah keluar tepat ketika aku sudah berhasil bersembunyi di balik jendela. Saat hendak mengambil bola yang menggelinding di halaman, aku melihat ia tengah berbincang dengan Tuan Scot di salah satu ruangan. Entah apa yang sebenarnya mereka bicarakan tadi, tapi yang jelas ada hal serius yang sedang terjadi.
Ini sudah hari kedua Nancy menginap di rumah. Tuan Scot bilang, wanita bertubuh tinggi itu sengaja datang untuk menjemputku atas perintah Ayah. Ini aneh, tapi untuk saat ini aku tidak punya pilihan selain memercayai mereka.
“Tuan Kevin,” tegur seseorang mengagetkanku. “Apa yang kau lakukan di situ?”
“A—aku sedang mengambil bola.”
“Baiklah, kau sudah mendapatkannya, bukan? Ayo, masuklah. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.”
Aku berdiri, lantas menatap lekat-lekat wajah lelaki itu. “Tuan Scot, bisakah aku bicara denganmu sekarang?”
***
Suasana yang cerah mengiringi perjalananku dengan Nancy. Kami duduk di dalam mobil bercat merah yang membelah jalanan kota New York.
“Itu adalah salah satu pusat perbelanjaan terbaik di kota ini,” ucap Nancy. Jarinya yang lentik langsung menunjuk ke arah bangunan bernama “Queens Center”.
“Apa kau pernah ke sana?”
“Ya.”
“Itu pasti menyenangkan.”
“Tentu saja. Kau bisa membeli apa pun yang kau mau.”
Mendengar ucapan Nancy, aku jadi teringat sesuatu. Tentang tujuannya untuk mengajakku bertemu dengan Ayah. Satu-satunya hal yang paling kuinginkan saat ini. Seperti yang Tuan Scot katakan kemarin, Ayah sedang mengalami masalah dengan pekerjaannya. Itulah kenapa ia meminta bantuan pada Nancy untuk menjagaku. Namun yang paling membuatku gembira adalah tak lama lagi aku akan segera bertemu dengannya.
Jalanan yang macet oleh kendaraan membuat Nancy mendengus kesal. Sudah berulang kali ia menekan tombol handphone untuk menghubungi seseorang, namun tak juga tersambung. Hingga beberapa saat kemudian, ia membisikkan sesuatu kepada sopir yang akan membawa kami ke tempat tujuan. Meminta agar lelaki berkumis tebal itu mencari jalan alternatif untuk dilalui.
Berbeda dengannya, keadaan seperti ini justru cukup menyenangkan bagiku. Saat mobil melaju pelan, aku bisa dengan leluasa menikmati pemandangan yang ada di luar. Gedung-gedung pencakar langit yang mengagumkan. Beberapa di antaranya bahkan memiliki bentuk yang unik.
“Apa ini masih lama?” tanyaku kemudian.
“Tidak. Setengah jam lagi kita sudah sampai di apartemenku.”
“Apartemenmu? Bukankah kita akan pergi—”
“Bisakah kau diam saja!” bentak Nancy tiba-tiba. Membuatku terkejut dan sedikit ketakutan. “Maaf, Kevin. Aku tidak bermaksud membentakmu. Tapi kumohon, berhentilah menanyaiku, oke?”
Tak ingin memperkeruh suasana, aku menuruti keinginan wanita itu. Sepertinya ia jengkel karena sejak tadi usahanya untuk menelepon seseorang masih saja gagal.
“Tolong antar Kevin ke dalam, dan pastikan ia merasa nyaman.” Nancy menyodorkan sebuah kunci pada seorang pria berjas hitam begitu kami turun dari mobil.
“Kau mau pergi?”
“Ya, ada hal yang harus kuurus.”
“Boleh aku ikut?”
“Tidak, Kevin. Sebaiknya kau di sini saja.”
“Tapi, Nancy. Aku takut sendirian.”
“Ini tidak akan lama, oke? Lagi pula ada James yang akan menjagamu.”
Aku tak membalas lagi ucapannya, dan langsung mengikuti langkah lelaki yang menarik cepat lenganku. Sebelum masuk ke lift, aku sempat menoleh ke belakang. Melihat Nancy yang tengah berpelukan dengan seseorang dari kejauhan.
Siapa dia? Mengapa mereka berpelukan? Ah, tidak. Nancy tidak mungkin seperti itu, tapi jika benar kuharap Ayah segera mengetahuinya.
***
“Nancy, apa kau …?”
Aku bergegas mundur, lalu berdiri di belakang tembok dengan mulut yang tertutup rapat. Untunglah Nancy tidak mendengarku tadi, dan mungkin ia mengira bahwa aku masih tertidur lelap di atas ranjang. Jadi ia tidak menyadari keberadaanku yang tengah menguping pembicaraanya bersama James.
Ini memang sudah menjadi kebiasaanku di rumah. Terbangun di tengah malam untuk pergi ke kamar mandi, atau menuju dapur untuk mengambil segelas air putih karena haus.
“Kau kira untuk apa aku membawanya kemari?” tanya Nancy pada seseorang yang ada di hadapannya. “Dengar, saat ini lelaki bodoh itu sudah berada di tempat yang kita inginkan. Bailey yang akan menanganinya nanti.”
“Mendesak Frank agar menyerahkan aset berharga miliknya?”
“Tentu saja. Kita butuh angka yang tepat untuk bisa membuka brankas di rumahnya yang mewah itu.”
James terkekeh. “Kita bisa melakukannya kemarin bukan, saat kau berada di rumahnya? Kenapa baru sekarang?”
“Benar sekali. Setelah itu kita akan masuk penjara dengan mudah,” sahut Nancy dengan nada menyindir. “Dasar bodoh! Itu terlalu berisiko, lagi pula aku butuh sesuatu yang bisa membuat Frank bertekuk lutut lalu menuruti keinginan kita.”
“Kevin?”
“Ya. Aku yakin Frank tidak akan berpikir dua kali untuk menyelamatkan anak kesayangannya ini. Ia juga tidak akan semudah itu bisa menghubungi polisi untuk melakukan pencarian—”
“Sebab kita telah menyembunyikan Kevin di sini, jauh dari rumahnya,” sela James disusul tawa keduanya.
“Akhirnya kau mengerti juga. Tapi ingat, James! Besok, lakukan semuanya dengan benar. Sekap Tuan Scot di kamarnya, jika perlu buat dia dalam keadaan tidak sadar. Setelah Bailey berhasil mendapatkan kode yang kita inginkan, barulah kau melanjutkan tindakan. Kau mengerti?”
“Jangan khawatir, Nancy. Kau bisa mengandalkanku.”
“Bagus. Kau memang saudaraku yang baik. Sementara itu biar aku yang mengurus bocah ini.”
Aku hanya bisa menelan ludah setelah mendengar apa yang mereka bicarakan. Nancy … ah, wanita itu ternyata benar-benar licik.
“Haha, ini menggelikan, bukan? Kukira kau tulus menyayangi Frank, apalagi setelah hubunganmu dengan Bailey memburuk.”
Nancy tersenyum miring. “Frank? Oh, ya ampun. Yang benar saja, aku tidak tertarik sama sekali dengan lelaki membosankan seperti itu.”
“Karena itulah kau berbaikan lagi dengan Bailey? Astaga, Nancy. Jika boleh jujur aku tidak menyukainya, apalagi setelah melihat kalian berpelukan kemarin. Aku yakin—”
“Ah, sudahlah. Aku sudah muak mendengarmu mengatakan hal itu, jadi jangan pernah membahas hal ini lagi.”
Melihat mereka yang masih sibuk berbincang, aku bergegas kembali. Menuju tempat tidur untuk mengambil sebuah ponsel yang tergeletak di dalam tasku. Benda pemberian Tuan Scot yang sengaja kuselipkan di antara tumpukan baju. Ya, aku sengaja memintanya untuk berjaga-jaga jika apa yang aku khawatirkan belakangan ini adalah benar. Awalnya Tuan Scot tidak percaya, tapi setelah aku menceritakan beberapa hal—tentang firasatku terhadap Nancy, lelaki tersebut akhirnya memberiku telepon genggam.
Tak ingin diketahui oleh siapa pun, aku masuk ke kamar mandi setelah mengunci rapat-rapat pintunya.
Aku tidak tahu, yang kuingat hanyalah gedung bernama ‘Queens Center’. Di sebelah utara—
Sambungan telepon terputus seiring terlepasnya ponsel yang kupegang, mungkin karena aku terlalu gugup hingga tangan gemetaran. Tak pelak, suara jatuhnya benda yang kini tergeletak di atas lantai itu pun menimbulkan kecurigaan di benak Nancy.
Ia berteriak. Memanggil namaku berulang kali sampai aku begitu ketakutan dan menangis. Ini buruk, tapi untunglah aku sudah menghubungi nomor darurat seperti yang Tuan Scot ajarkan kemarin. Aku juga sudah berbicara dengannya tadi, dan kuharap Tuan Scot mendengarnya dengan jelas. Satu-satunya petunjuk yang bisa menyelamatkanku dari kekejaman Nancy.(*)
Tentang Penulis:
Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira, email: triwahyuu01@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata