Sensasi Setengah Tujuh Pagi
Oleh: Ika Mulyani
Ani terus menatap cemas pada jam beker di hadapannya. Sudah sepuluh menit lewat dari pukul setengah tujuh pagi, tetapi belum juga terdengar panggilan, “Teh Ani, telepon!” dari ruang keluarga di lantai bawah. Padahal, lima belas menit yang lalu, ia sudah menyelesaikan semua rutinitas paginya; hari ini jadwal ia mencuci pakaian.
Gadis itu tidak bisa berkonsentrasi pada bacaannya–bahan kuliah hari ini. Biasanya dosen senior yang satu itu akan mengadakan kuis sebelum memulai kuliahnya. Dan biasanya, materi kuis ini akan jadi bahan percakapan Jumat pagi, bersama seseorang yang selalu menyambangi lewat telepon, setiap pukul setengah tujuh pagi.
Semalam, Ani tidak sempat membaca bab yang akan dibahas hari ini dari diktat setebal tiga ratusan halaman itu. Kehujanan dalam perjalanan pulang dari rental komputer semalam, membuat kepalanya berat dan ia memutuskan untuk tidur cepat.
Pukul 06.15 tadi, saat gadis itu tengah menjemur cuciannya, terdengar dering telepon. Jantungnya berdetak cepat, dan kembali normal setelah ternyata panggilan telepon itu bukan untuknya.
Jam dinding di ruang keluarga berdentang tujuh kali. Ani menghela napas panjang. Mungkin memang seseorang itu tidak akan menelepon pagi ini.
Jangan-jangan dia sakit, batin gadis itu penuh khawatir.
Tidak pernah seseorang itu absen menghubunginya setiap pukul setengah tujuh pagi, sejak enam puluh hari yang lalu.
Ani bergegas mandi dan memutuskan untuk menyantap nasi goreng sarapannya di kantin kampus saja, selepas kuliah jam pertama nanti.
Benar saja, seseorang itu tidak muncul di kelas dan di laboratorium hingga semua kegiatan perkuliahan dan praktikum hari ini usai. Ani tidak berani untuk bertanya pada Ranu, yang ia tahu tinggal dalam rumah kos yang sama dengan seseorang itu.
Tidak ada satu pun di kampus yang mengetahui bahwa Ani dan seseorang itu selalu berbincang lewat telepon di setiap pagi. Bila bertemu muka, ia hanya berbicara seperlunya saja pada Ani. Padahal beberapa jam sebelumnya, mereka tertawa pada setiap banyolan yang dilontarkan, atau anekdot yang ia ceritakan. Ada saja cerita lucu yang bisa membuat Ani tertawa geli, bahkan pernah hingga mencucurkan air mata dan perutnya terasa kaku.
Ya, tidak seorang pun yang tahu. Tidak juga Lina teman dekat Ani sejak semester satu. Sikap seseorang itu selama di kampus, membuat Ani enggan menceritakan keseruan paginya pada sang sahabat sekali pun. Apalagi, seseorang itu tampaknya justru lebih nyaman bila berbincang dengan Lina setiap mereka berkumpul di kelas, di laboratorium, atau di kantin kampus saat jam makan siang.
Bisa jadi, justru Lina lebih sering dihubungi lewat telepon oleh seseorang itu, menilik nada berbicaranya yang riang bila mereka berbincang. Begitu dugaan yang ada di benak Ani, membuat gadis itu lebih banyak memilih untuk diam. Sesekali saja ia menyeletuk bila memang diperlukan.
Tiga pagi berlalu tanpa ada panggilan “Teh Ani, telepon!” dari ruang keluarga di rumah tempat gadis itu tinggal selama menjalani masa perkuliahan. Tiga hari yang terasa amat panjang dan lamban berlalu bagi Ani.
Sakitkah ia? Pulang kampungkah ia? Ani tidak berani bertanya pada siapa pun. Dan pula, tidak ada satu pun teman yang mempermasalahkan ketidakhadirannya.
Hari keempat, Senin yang membuat kebanyakan orang berkata, “I hate Monday!”, Ani merebahkan diri seusai salat Subuh, enggan bergerak. Biasanya, ia akan mengaji, lalu segera menyapu dan mengepel, atau mencuci pakaian, hingga bisa menyelesaikannya pada beberapa menit menjelang pukul setengah tujuh.
Ani baru keluar dari kamar saat jam dinding di ruang keluarga berdentang enam kali.
“Teh Ani sakit? Kok pucat?” Sepupu yang biasa memanggil bila ada telepon untuknya, bertanya saat mereka berpapasan di depan pintu dapur.
Ani berkata ia sedikit pusing. Gadis itu tidak berbohong, terlelap dengan masih menggunakan mukenah selepas Subuh tadi, membuat kepalanya terasa berat.
“Ah … pasti gara-gara enggak ada telepon dari si Aa itu, ya?”
“Ih, apa, sih? Beneran pusing, ini. Tadi habis salat ketiduran.” Ani menyergah dengan wajah terasa panas. Pipi putihnya yang merona membuat si Sepupu malah semakin gencar meledek, hingga Ani memutuskan untuk melarikan diri ke kamar mandi.
Baru saja gadis itu mengunci pintu kamar mandi, terdengar dering telepon, membuat ia terdiam sejenak.
Ah, masih jam enam. Enggak mungkin dia, batinnya sambil meraih sikat dan pasta gigi.
“Teh Ani … telepon!”
Pasta gigi terjatuh dari genggaman Ani.
“Teh Ani, cepetan!”
Gugup, Ani keluar dari kamar mandi–dengan sikat gigi masih tergenggam di tangan kanannya–lalu berjalan perlahan melintasi dapur dan ruang makan.
“Cepetan, ih! Koinnya cuma ada satu katanya,” ucap si Sepupu sambil menarik tangan Ani.
Ani meraih gagang telepon dan suaranya bergetar saat menyapa, “Halo?”
“Hai. Maaf kepagian, ya. Baru turun nih, dari bis.”
“Bis? Dari mana?”
“Pulang, dari Kamis malam kemarin. Kangen Ibu, sekalian perpanjang KTP,” jawabnya sambil terkekeh. “Cuma ada satu koinnya, nih. Padahal lagi sepi ini, enggak ada yang antri.”
Ani tersenyum.
“Untung Pak Warno enggak kasih kuis,” ujar gadis itu sambil berusaha mengendalikan detak jantungnya.
“Oh, iya. Kan, aku yang minta. ‘Minggu ini jangan ada kuis, ya, Pak. Saya mau mudik.’ Gitu.”
“Boong banget.”
Ia terbahak, lalu lanjut bercerita hingga terdengar tanda waktu hampir habis.
“Yah, habis. Kalau aku dapet koin lagi, nanti setengah tujuh aku telep ….”
Tut-tut-tut.
Ani tersenyum.
“Aciee … pusingnya langsung hilang, tuh!”
Sikat gigi di genggaman Ani melayang, si Sepupu berhasil menghindar sambil terkekeh dan menjulurkan lidahnya.
***
Bel jam beker yang diset setiap pukul 06.25 berdering nyaring. Budi pun segera bersiap untuk melakukan ritual yang tidak pernah gagal memacu adrenalin dan semangatnya setiap hari.
Ia berhasil mengumpulkan tujuh keping uang pecahan seratus rupiah. Kepingan koin bergemerincing saat Budi berjalan keluar, menyusuri gang sempit di antara deretan rumah kos, menuju bilik telepon umum di seberang mulut gang. Tujuh keping koin itu dapat digunakan untuk menelepon selama dua puluh satu menit, meskipun biasanya hanya lima saja yang bisa ia habiskan. Terkadang, saat koin ketiga atau keempat baru saja terdengar masuk, datang seseorang menanti giliran menelepon, membuat percakapan tidak lagi nyaman untuk diteruskan. Terpaksa Budi menutup telepon dan merelakan tambahan waktu tiga menitnya hilang, lalu mengambil koin sisa yang keluar dari dalam kotak.
Seandainya boleh menelepon lebih pagi, di saat kebanyakan mahasiswa penghuni semua rumah kos itu masih enggan beranjak, tentu akan sangat menyenangkan.
“Kalau mau nelpon, jangan kepagian, ya. Jam setengah tujuh, deh.” Ia berucap dengan pipi merona, ketika mereka berjumpa di kampus, setelah kali ketiga Budi menelepon pukul enam pagi.
“Kenapa?”
“Sepagi itu masih banyak pekerjaan di rumah yang harus diselesaikan,” katanya.
Setiap hari, kecuali hari libur, mereka selalu bertemu di kampus, menjalani kelas yang sama, dan tentu saja dapat berbincang sepuasnya. Namun, Budi selalu hanya bisa berbicara seperlunya saja. Mungkin ia seorang pengecut. Hatinya, dan juga suaranya, selalu bergetar kala memandang gadis itu setiap mereka bercakap.
Suara koin memasuki kotak penampung di dalam pesawat telepon–tanda bahwa telepon telah tersambung–selalu membuat laju detak jantung Budi meningkat. Ia juga senantiasa gagal meredakan getar suaranya saat membuka percakapan, “Halo, assalamu’alaikum. Bisa bicara dengan Ani?”
Beberapa detik kemudian, karena Budi hanya perlu memandang kotak telepon berwarna biru itu–bukan wajah Ani–getar suaranya menghilang, dan perbincangan pun akan mengalir hangat.
Sensasi ini membuat Budi selalu ingin mengulangnya, setiap pagi.[]
Ciawi, 17 Januari 2021
Ika Mulyani, emak-emak generasi jadul, yang menjadi salah satu saksi hidup telepon umum koin di era 90-an.
Editor : Uzwah Anna
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata