Senja yang Indah

Senja yang Indah

Senja yang Indah

Oleh: Jemynarsyh

Editor: Vianda Alshafaq

 

Seorang gadis terlelap di atas ranjang, meringkuk seperti bayi. Napasnya tampak teratur, membuat tidurnya terlihat pulas. Nenek Nem yang hendak ke dapur berhenti sejenak di depan kamar Naren, hanya menatap sekilas dan kembali melangkah, hendak melanjutkan pekerjaan membuat kue pesanan tetangga. Nenek Nem tahu, Naren pasti kelelahan setelah menjajakan dagangannya.

Bara api menyala-nyala memakan kayu bakar dengan lahap, asap membumbung tinggi keluar melalui celah dinding. Nenek Nem mendekati tungku dan membuka periuk dengan hati-hati, setelah penutup periuk itu terangkat terlihat kue apam dengan berbagai warna cantik, menggoda selera. Setelah mengeluarkan beberapa batang kayu bakar dari perapian agar nyala api berkurang, Nenek  Nem hendak mengangkat periuk. Namun urung kala sang cucu memanggilnya.

“Nek, stop. Biar aku saja,” ucap Naren seraya mengambil serbet yang biasa digunakan untuk mengangkat panci, lalu dengan hati-hati ia mengangkat periuk dan menyimpannya di tempat yang telah disediakan Nenek Nem.

“Naren, kok, sudah bangun? Nenek berisik, ya?” tanya Nenek Nem sembari berjalan tertatih karena kram di kakinya mulai kambuh.

Gadis dengan rambut sebahu itu hanya menggeleng menanggapi Nenek Nem, ia sedang sibuk menata apam-apam ke dalam wadah untuk segera diantar sebelum mentari pulang ke peraduan. “Nek, Naren itu kebangun karena alarm. O, iya, ini mau diantar ke mana Nek?”

Nenek Nem menatap Naren lekat, diusapnya kepala sang cucu dengan pelan. “Naren, maafkan Nenek. Karena keputusan Nenek, Naren harus menjalani kehidupan yang keras ini.”

Naren menggeleng, digenggamnya tangan Nenek Nem yang mengeriput dan telapak tangan yang terasa kasar kala bersentuhan. “Nek, jangan bahas ini ya, Naren enggak mau Nenek sedih lagi.”

Nenek Nem mengangguk, dipeluknya sang cucu erat, berharap bisa mengurangi kesedihan yang akhir-akhir ini begitu sering menyapa.

Naren mengayuh sepeda dengan pelan kala memasuki pekarangan rumah Bu Rona. Dengan hati-hati ia turun dari sepeda dan segera mengambil kantong berisi kue. Rumah Bu Rona terlihat ramai, banyak anak kecil berlarian di teras, sedangkan di sisi kiri teras ada sekelompok ibu-ibu sedang berbincang seraya mengiris wortel. Saat langkah Naren kian mendekat, Bu Rona yang baru saja keluar dari pintu samping segera menghampiri Naren.

“Wah, Naren antar kue, ya,” tanya Bu Rona, tangannya menyambut beberapa kantong yang berisi kue.

Naren  mengangguk seraya tersenyum, beberapa ibu-ibu yang sedang berkumpul itu  menatapnya dengan lekat, membuat perasaan Naren tak nyaman.

“Oh, itu anaknya Marni, ‘kan, cucunya Nenek Nem yang terlahir tanpa ayah.”

“Lah, kok, bisa gitu? Kalau kataku, sih, bukan tanpa ayah tapi  hamil di luar nikah.”

“Jadi dia anak haram? Ya, ampun, kasihan sekali nasibnya.”

Sayup-sayup terdengar perbincangan para ibu-ibu itu, membuat hati Naren kian nyeri dan segera pamit.

*

Naren menghela napas panjang, tinggal di desa memang membuat perasaannya damai tapi beberapa warga di sini yang entah kenapa suka sekali membicarakannya, membuat kedamaiannya terusik. Seperti tadi, sebagian orang masih saja membicarakannya, membuat perasaan Naren bercampur aduk, sedih juga marah.

Sejak pulang dari rumah Bu Rona, Naren banyak diam, seperti sekarang ia duduk di teras sembari menatap jalanan yang lengang. Berkali-kali ia menghirup napas dan mengembuskannya perlahan, begitu terus hingga perasaannya sedikit membaik. Nenek Nem yang melihat Naren tampak berbeda segera menghampiri sang cucu. Kaki tuanya melangkah  dengan pelan, hingga jarak antara keduanya kian dekat.

“Naren kenapa, ada masalah?”

Naren hanya menggeleng, ia ragu jika harus berbagi kisah dengan sang nenek. Naren takut orang satu-satunya yang peduli padanya menjadi sedih dan terluka.

“Naren, saat pertama kali ibumu datang membawamu ke rumah, Nenek kaget, apalagi setelah mendengar ibumu bercerita. Nenek marah. Tapi, kemarahan itu sirna saat kamu  dengan polosnya tertawa tanpa ada gigi satu pun. Kamu tahu Naren, senyum kamu membuat Nenek tersadar. Sejak hari itu Nenek mulai menerimamu, tidak seharusnya Nenek membencimu. Maafkan Nenek, Naren.”

Naren menggeleng, kedua matanya mulai berembun, napasnya memberat seakan-akan ada batu yang menghimpit paru-parunya hingga membuat dadanya sesak. “Nenek jangan minta maaf. Maafkan Naren, Nek, tidak seharusnya Naren menambah beban Nenek.”

Di senja yang mulai hadir, tampak satu bintang berkelip menghiasi langit, di rumah yang sederhana seorang nenek dan cucu saling berpelukan dan memaafkan lantas tertawa kala melihat mata mereka masing-masing membengkak dan memerah.

Kota Cantik, 15 Juli 2021.

 

Jemynarsyh. Gadis  kelahiran Kalimantan yang suka membaca dan sedang belajar menulis.

 

Leave a Reply