Senja Tanpa Warna

Senja Tanpa Warna

Penulis: Ririn Octarina

Tak ada yang tahu apa yang terbentang di masa depan

Namun satu hal yang pasti, bagaimanapun, kita akan dikenang oleh orang-orang yang meyayangi kita…

Tiiiin, tiiin, tiiin!

Suara klakson motornya tedengar dari depan rumahku. Aku yang sudah hapal betul dengan suara itu, segera meraih tas di atas meja belajarku dan berlari kecil menuju muka pintu. Kali ini pemuda itu mengenakan kemeja biru bermotif garis-garis, dan dibalut sweater hitam di luarnya. Kak Didit masih duduk di atas motor kesayangannya sembari tersenyum.

Enrique Pellejer Larrauri_Flickr

Nggak telat kan, Kak Didit?” sapaku sambil memakai sepatu dengan terburu-buru.

Nggak. Tenang aja, Dek. Masih dua puluh menit lagi,” jawabnya santai.

Radit, biasanya kupanggil Kak Didit, adalah teman sekaligus kakak kelasku saat aku masih duduk di bangku SMA. Namun karena ia pernah menunda masa kuliahnya selama satu tahun, kami pun bertemu lagi di salah satu kampus di Lubuklinggau—STKIP PGRI, kali ini sebagai teman satu kelas.

Setiap pagi, semenjak aku pindah rumah dan menjadi tetangganya, Kak Didit selalu menjemputku untuk berangkat kuliah bersama. Sejak saat itu kami bersahabat. Kami sering berbagi banyak hal, pengetahuan, pengalaman, atau bahkan sekadar lelucon. Ya, Kak Didit memang teman yang menyenangkan. Setidaknya untuk seseorang yang moody sepertiku, ia menjadi pendengar yang sangat baik. Tak masalah baginya untuk mendengarkan ocehan dan gerutuanku tentang masalah-masalah yang sering kuhadapi.

Seperti pada sore itu, matahari yang sedang terik-teriknya semakin membuat amarahku meninggi. Betapa tidak, sudah yang ketiga kalinya judul skripsi yang kuajukan pada ketua prodiku ditolak, begitupun kali ini. Aku dengan segenap rasa kesalku menghampiri Kak Didit sambil menggerutu.

“Apalagi sih yang salah? Masa dari sekian banyak judul yang aku kasih nggak ada yang diterima? Alasannya udah ada yang ngajuinlah, nggak up to date-lah, nggak cocoklah! Arrrrghh!”

“Yang benar, Dek? Wah, kok sampai segitunya ya? Sabar, Dek … Nanti cari yang lain lagi aja,” respon Kak Didit tenang.

“Ya, tapi aku kan jadi malas, Kak,” keluhku. Jujur saja aku sudah mengumpulkan banyak referensi untuk setiap judul yang kuajukan, tapi semua malah sia-sia. Keinginanku untuk menyelesaikan studi di tahun depan membuatku harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin agar selesai tepat pada waktunya. Namun dengan keadaan yang seperti ini, bagaimana bisa? Sudah satu bulan ini perkembangan skripsiku hanya berkutat pada pengajuan judul.

“Apa sih kamu, Nek? Ngomel mulu kerjaannya. Ditolak lagi?” ujar Kiki dengan gaya sok gaulnya. Zaki, biasa kupanggil Kiki, sahabatku yang satu ini memang sedikit nyentrik, ceriwis, dan mempunyai kepercayaan diri berlebih. Tak peduli dengan kenyataan bahwa tubuhnya gembrot, ia tampak santai saja seolah menebar karisma di mana-mana. Aku cukup sabar menahan kelakuannya yang kadang mengundang kekesalan, salah satunya adalah kebiasaanya memanggilku dengan sebutan “Nenek”.

Udah sabar aja, Ta. Namanya perjalanan itu pasti nggak ada yang mudah. Maka dari itu kita harus lebih giat berusaha, jangan menyerah,” lagi-lagi Kak Didit menasehati. Namun rasa kesalku tak begitu saja menghilang.

“Ya, Kak Didit kan enak, judul sudah diterima, sekarang tinggal mengurus proposal,” timpalku.

“Iya, pokoknya Kakak yakin kamu pasti bisa. Kamu kan pintar. Walaupun awalnya tidak mudah tapi skripsi kamu pasti bakal selesai cepat,” kali ini Kak Didit melontarkan senyumannya. Ya, Kak Didit memang tahu betul kemampuanku sejak aku duduk di bangku SMA. Dan semestinya aku juga meyakini kemampuanku sendiri.

Pertanyaanku tentang masalah itu terjawab beberapa hari setelahnya, saat judul skripsiku mendapatkan persetujuan. Benar yang dikatakan Kak Didit bahwa tidak ada yang sia-sia jika seseorang berusaha. Sedikit demi sedikit aku mulai belajar tentang nilai sebuah kehidupan dari pribadi seorang Radit. Bahkan aku masih ingat jelas, bagaimana hatiku tergugah oleh ketulusan yang dimilikinya.

Pernah suatu hari, Kiki dan Kak Didit mengerjakan tugas kuliah di rumahku. Saat itu kami sibuk berkutat dengan resume kelompok yang harus kami selesaikan hari itu juga. Namun di tengah keadaan itu, Kak Didit tiba-tiba saja menghilang. Aku yang tadinya sibuk dengan buku-buku yang kubaca pun tak menyadari kepergiannya. Ada sedikit kekesalan yang tumbuh di benakku saat ia meninggalkan pekerjaan kelompok begitu saja. Namun rasa kesalku seketika berubah menjadi rasa bersalah ketika suara lantang terdengar menggema dari masjid di belakang rumah. Sejak saat itu barulah aku mengetahui bahwa suara azan yang sering kudengar hampir di setiap waktunya adalah suara Kak Didit.

Aku kemudian mengenal Kak Didit bukan hanya sebagai orang yang ramah dan bersahaja, namun juga aktif di berbagai kegiatan keagamaan. Rasanya baru kali ini kutemui seorang teman yang nyaris sempurna sepertinya. Sangatlah beruntung aku memiliki teman baik yang dapat mengajarkan hal yang belum tentu kudapat dari banyak orang yang kukenal.

Itulah kenapa aku merasa kecewa ketika pada kegiatan KKN kali ini, kami—aku, Kak Didit, dan Kiki—tidak berada dalam satu kelompok yang sama. Rasanya ada yang kurang jika aku menjalani kegiatan kuliah selama hampir dua bulan di daerah yang belum pernah kukunjungi sebelumnya itu tanpa sahabatku. Entah kenapa aku merasa sedih sekali ketika tidak bisa bersama-sama mereka pada saat itu.

Tiba-tiba saja terlintas saat-saat bercanda bersama sahabat-sahabat baikku. Saat Kiki melahap rakus jatah makan siangku, saat Kak Didit menggoda perut Kiki yang membuncit, dan saat aku duduk nyaman di jok belakang motor keluaran lama Kak Didit. Sungguh, semua itu adalah warna-warna paling indah yang pernah dilukiskan ke hidupku.

Saat menjalani KKN, sangat sulit bagiku untuk bertukar kabar dengan Kak Didit maupun Kiki. Mereka hanya bilang bahwa agak susah mendapatkan sinyal di daerah mereka. Ah, rasanya aku tak sabar berkumpul lagi bersama mereka dan cepat-cepat menyelesaikan studi ini.

Namun seperti yang pernah dikatakan Kak Didit, setiap perjalanan dalam hidup itu tak selamanya mudah. Suatu hari di masa-masa KKN itu, Sungai Musi yang mengalir di daerah Binjai menenggelamkan tubuhnya.

***

Senja sore ini terasa berbeda. Hanya sisa gerimis dan jalan basah yang tersisa, tak ada kilau oranye di ufuk barat atau pun sekadar kesunyian yang dibawanya. Aku duduk di muka pintu sembari menggoreskan mata pena ke buku harianku. Sesekali aku menghirup dalam-dalam udara dingin itu, yang segera meresap memenuhi dadaku. Senyumku membusur saat aku mengingat kembali kenangan lama bersama sahabat-sahabatku..

Tiiiin, tiiin, tiiin!

Aku melonjak kaget saat sebuah sepeda motor tiba-tiba berhenti di depan rumahku. Ah, setelah setengah jam bersabar, akhirnya yang ditunggu pun datang juga. Aku melempar senyum padanya.

Buruan, Nek! Nanti hujan lagi, nih. Lihat tuh mendung banget,” omel Kiki saat membuka kaca helmnya.

“Iya, sabar, galak amat jadi orang. Nanti tambah gendut loh,” godaku diiringi tawa terbahak. Dengan terburu-buru kukenakan helm saat mata Kiki melotot karena candaanku. Tak perlu lebih lama lagi, kami pun melesat di jalan yang lengang sore itu.

Langkah kami terhenti setelah beberapa menit menempuh jalan setapak dengan berjalan kaki. Aku mengucapkan salam terlebih dahulu dan diikuti oleh Kiki.

“Assalamualaikum, Kak Didit. Aku dan Kiki datang, nih. Kita mau bilang kalau bulan depan kita sudah mau diwisuda. Alhamdulillah sesuai dengan yang kita harapkan,” sapaku dengan lembut. Mataku menatap Kiki sekilas, kemudian kembali menatap ke arahnya.

“Iya, Dit. Kami harap kamu senang mendengarnya. Aku yakin, kamu pasti bahagia juga kan, Dit?” suara Kiki terdengar berat dan serak. Aku menengadahkan kedua tanganku dan membatinkan doa. Kemudian kuletakkan di dekat pusaranya, selembar tulisan yang sempat kubuat tadi, ketika senja seolah tak berwarna.

Pada senja tanpa warna, waktu terus saja melangkah

Kau tentu menyadari bahwa cerita kita tak lagi sama

Di sini masih terselip duka, namun harus apa teman?

Dengan ikhlas, semua akan lebih bermakna

Akan terus kukenang hari-hari indah itu, ketika kita masih bersama-sama

Sesaat kemudian suasana pun menjadi hening. Rerumputan basah di sekitar kami pun seolah berhenti bergerak, mungkin mereka juga merasakan duka yang kami rasakan. (*)

(Special for our bestfriend in heaven; Alm. Rahmat Supriyatno)

Cerpen ini terdapat dalam buku Tuhan Tahu dan Tidak Menunggu (bennyinstitute: 2016)

Ririn Octarina, anak keempat dari 5 bersaudara yang hobi membaca, menulis, dan menggambar. Penggila bakso, mi ayam, dan film animasi. Saat ini mengabdikan diri menjadi tenaga pengajar di salah satu sekolah dasar swasta di Lubuklinggau. Bercita-cita menjadi penulis bisa menginspirasi banyak orang. FB: Rien Octarina

Pegurus dan Kontributor

Cara menulis di Loker Kita