Senja di Wajah Ibu

Senja di Wajah Ibu

Oleh : Erien

 

Aku benci saat matahari mulai bersiap istirahat. Jejak sisa cahaya di langit melukiskan bentangan awan berwarna jingga. Menarik. Cantik. Semburatnya bagai rona pipi seorang perawan yang mendengar pujian dari kekasih tersayang.  Namun, aku benci.

Semburat warna seperti itu sering terlukis juga di wajah lbu. Hasil karya telapak tangan kasar milik Bapak. Aku yang menyaksikan. Suara tangan yang mendarat keras, membuatku tergagu. Episode berikutnya kuintip dari sela pintu. Jantung serasa berhenti berdetak tiap kali tangan itu mendarat di wajah dan tubuh wanita ayu kesayanganku.

Senja itu … menyulap lelaki yang darahnya mengalir di tubuh ini, menjadi iblis penuh amarah. Aku menggigil. Antara takut dan marah. Membuat tubuh kaku hingga akhirnya luruh ke lantai, seiring senja yang menghilang seperti Bapak yang pergi begitu saja.

Warna senja di wajah Ibu perlahan berubah membiru. Selayaknya hari, wajah merah wanita hebat itu berubah menggelap. Auranya kelam seperti malam. Banyak lebam di sana. Kemudian, kernyitnya membuatku sadar bahwa biru lebam itu sakit. Bahkan, ketika aku menempelkan kain yang kubasahi air es, ibu mendesis, seiring geletuk gigi yang kukatupkan tanda kesal.

Jadi, jangan salahkan rasa benci ini. Karena bagiku, senja membuat jantung berpacu, menunggu lelaki itu datang. Entah penuh kemarahan, atau hanya diam dengan lemparan semua barang. Bagiku, senja sering kali membiru. Seperti hatiku. Seperti wajah ibu.

***

Sial!

Aku mengumpat berkali-kali sambil setengah berlari. Kenapa ekskul yang kuambil harus selesai menjelang Magrib seperti ini.

Sial!

Aku mempercepat lari. Bagai kesetanan, tak kuhiraukan lampu kuning di perempatan jalan. Teriakan dan klakson mengiringi langkahku. Bodo amat!

Senja sudah mewarnai langit. Hari ini sudah genap seminggu Bapak tidak pulang. Namun, aku tak bisa menjamin hari ini ia tak pulang juga. Ah! Aku menggeleng, menepis bayangan mengerikan yang sering kali menjadi mimpi buruk. Ya Tuhan, semoga laki-laki itu tidak pulang lagi.

Pintu pagar rumah sudah terlihat. Aku berhenti sejenak. Jantung berdegup kencang. Keringat bercucuran, karena lelah dan cemas. Suasana sepi seperti biasa. Ibu pasti sudah berhenti mengayuh mesin jahitnya. Senja sudah mulai menghilang.

Aku membuka pintu pagar perlahan, lalu melangkah sepelan mungkin. Di depan pintu rumah, aku berhenti. Tak ada sepatu atau sandal yang biasa dipakai Bapak. Apa Bapak tidak pulang lagi? Telinga menajam, mencari suara yang menghilang seminggu ini.

Sepi.

Kuputar kenop dan mendorong pintu. Sepertinya memang Bapak tak pulang. Kuucap salam untuk mencari tahu Ibu. Lega hati ini ketika suara merdunya membalas salamku dari dalam kamar.

“Kok baru pulang, Den? Sore banget?” Ibu menepuk bahuku.

“Iya, Bu. Tadi ada eskulnya ada ujian kenaikan tingkat. Jadi lama.” Aku mencium tangannya, lalu berpamitan hendak masuk kamar dan mandi.

Ah, kasur ini terlihat seperti surga. Mungkin sejenak berbaring akan melenyapkan lelahku.

***

Aku terbangun dengan kaget. Ah, mimpi buruk. Telinga ini tadi seakan mendengar teriakan Bapak dan tangisan Ibu. Kuusap wajah dengan kasar. Baru tersadar bahwa aku belum berganti baju, apalagi mandi. Jam di dinding menunjukkan hanya sepuluh menit aku tertidur.

“Dasar gak berguna! Mana uangnya?!”

Hah? Itu suara Bapak! Sial! Aku kecolongan!

Aku yang masih berseragam bergegas bangun saat mendengar Ibu menangis. Setengah berlari menuju kamar di ujung rumah ini. Kamar Ibu dan Bapak. Dari sana suara bentakan dan tangis berasal.

Dari pintu yang terbuka terlihat Bapak berdiri dengan pongah. Ia menendang-nendang tubuh ibu yang duduk di sajadah dengan beringas. Sementara ibu hanya menutupi wajah sambil menangis memohon agar lelaki itu berhenti. Bahkan wanita itu belum melepas mukenanya. Rambut Ibu terlihat mencuat di sana sini karena mukena yang sudah tak rapi lagi. Mungkinkah itu perbuatan Bapak juga?

“Berhenti!!!”

Aku tak bisa lagi hanya diam. Teriakanku membuat lelaki itu menoleh sejenak. Ia tak peduli, dan kembali menendangi Ibu. Segera aku meluruh di hadapan Ibu lalu menepis satu tendangan dengan tangan. Kurangkul tubuh wanita itu.

“Berani juga kamu, sekarang, hah?! Oke. Makan, nih! Dasaar kalian ga guna!”

Lelaki itu kembali melayangkan tendangan. Aku berbalik, melindungi Ibu dengan tubuh ini. Biarlah Bapak menendang punggungku sepuasnya.

Tubuhku mengambul berulang kali ketika kaki itu mendarat. Kepala ini tetap tegak. Aku mengungkung Ibu yang menangis. Ia berteriak minta Bapak berhenti. Kutatap matanya sambil menggeleng.

Sebenarnya jika saja Ibu sadar, air matanya bagaikan bahan bakar kemarahan Bapak. Semakin kencang ia menangis, semakin keras pula tendangan Bapak. Kedua tanganku terkepal di dinding menahan sentakan. Gigi gemeletuk menahan marah. Mungkin wajah ini juga semerah senja tadi.

Mataku tajam menatap ibu, bertanya tanpa suara, ‘Bolehkah kuhabisi lelaki ini?’

Ibu menangis sambil menggeleng seakan-akan menjawab pertanyaan yang kuajukan lewat tatapan mata.

Oke. Aku tahan. Aku kuat.

Lelaki itu akhirnya berhenti. Ia membentak kami, menyuruh keluar kamar. Aku sedikit terhuyung ketika melangkah keluar bersama Ibu. Ia menutup pintu dengan kasar.

Huh!

Di kamar mandi aku meringis. Tendangan lelaki itu lumayan juga. Tadi sama sekali tidak terasa apa-apa. Kini tubuhku berjengket kala pertama air menyentuh punggung. Semoga tidak ada tulang yang patah.

Aku menggapai punggung dengan sabun di tangan. Perih. Sakit. Bapak memakai sepatu tadi sewaktu menendangku. Ah, seharusnya aku balas tadi. Percuma ekskul silat yang kuambil dengan alasan melindungi Ibu. Ibu malah tak mengijinkanku menyentuh lelaki itu.

Kesal, kupukul air dalam bak hingga berkecipak. Tetesnya muncrat mengenai wajahku. Bercampur dengan air mata kesal yang turun tanpa bisa kutahan.

Tamat.

Kotabaru, 27032021

 

Erien. Melihat, mengamati, mengambil hikmah, dan menyebarkannya melalui tulisan. FB Maurien Razsya. Mari berkenalan.

 

Editor : Freky Mudjiono

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply