Sendu

Sendu

Sendu

Oleh: Jemynarsyh

 

November berlalu dan hujan kian sering menyapa. Kadang pagi, siang, dan malam, sesukanya mencurahkan tetesan air yang tak terhitung jumlahnya. Jalanan menjadi becek dan licin. Beberapa genangan air nampak di tengah dan sisi kanan jalan, membuat siapa pun yang melaluinya harus hati-hati agar tidak terpeleset. Seperti Pak Fajar yang mengendarai motor dengan kecepatan pelan, sesekali kakinya menjejak tanah agar tidak jatuh.

 

Di sepanjang jalan pulang dan udara dingin yang kian menusuk tulang, sesekali Pak Fajar menghela napas panjang. Dahinya mengerut memikirkan banyak hal. Entah itu biaya sekolah, bahan pokok dapur yang kian menipis, sewa rumah, juga tabungan yang terkuras kian mengikis. Motor tua itu terus bergerak pelan melewati rumah-rumah juga persawahan. Di persimpangan jalan, ia belok ke kiri menuju gang sempit yang hanya bisa dilalui satu kendaraan.

 

Menjelang senja, motor yang dikendarai oleh Pak Fajar itu memasuki pekarangan rumah. Tempat yang sudah lima tahun ia tempati bersama sang istri dan seorang jagoan yang selalu menunggu kepulangannya sembari duduk di teras.

 

“Buk … Bapak datang!” teriak Alif dari luar, bersorak gembira kala sang ayah tersenyum menatapnya.

 

Maryam hanya menggelengkan kepala mendengar celoteh Alif. Dengan cekatan ia mengangkat goreng pisang dan meniriskannya, lalu mengambil dua gelas dan membuat teh. Wanita yang sudah tak muda lagi itu membawa nampan berisi kudapan pengganjal perut ke depan. Perasaannya senang kala melihat sang anak dan ayah saling bercerita dan bercanda. Menjadi suatu hiburan di tengah merosotnya perekonomian.

 

“Bagaimana Pak, sudah dibayar?” tanya Maryam seraya meletakkan segelas teh dan duduk di samping sang suami.

 

Pak Fajar menghela napas panjang, diusapnya pundak sang istri seraya menggelengkan kepala.

 

Maryam termenung, raut wajahnya kian sendu. “Terus gimana, Pak, tabungan sudah sedikit. Tidak akan cukup sampai akhir bulan.”

 

“Lusa, Bapak coba datangi lagi.”

 

Semenjak pandemi, Pak Fajar tak lagi bekerja sebab toko tempatnya mengais rezeki harus tutup sementara dan sebagian karyawan dirumahkan. Berhari-hari ia menganggur. Jika sore, sesekali berkunjung ke tetangga seraya mencari pekerjaan apa pun itu asalkan halal. Hingga pada suatu sore, ia kedatangan tamu yang tak lain Pak Sunar, tetangganya.

 

“Pak Fajar, tolong bantu perbaikan atap ya. Kalau hujan suka bocor. Nanti upahnya perharian.”

 

“Bisa, Pak. Besok saya perbaiki.” Lelaki berkaus hitam itu tersenyum lega. Setidaknya ia sudah ada penghasilan beberapa hari ke depan.

 

Keesokan harinya, saat mentari malu-malu muncul ke permukaan, Pak Fajar dengan semangatnya menuju rumah Pak Sunar. Ia berangkat pagi dan kembali pulang menjelang senja. Begitulah keseharian Pak Fajar beberapa hari menjadi kuli bangunan. Sebagai pekerja ia berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan pekerjaannya. Saat Pak Sunar meminta waktu menunda membayar upahnya, Pak Fajar memaklumi. Akan tetapi, sudah satu minggu ini upahnya belum juga dibayar. Sedang ia butuh uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

 

Setelah beberapa hari lalu gagal, sekarang Pak Fajar kembali mengetuk pintu bercat putih itu. Berharap sang empunya rumah menepati janji untuk membayar upahnya. Tiga kali sudah ia mengetuk pintu, tetap tak ada balasan. Hal itu membuat perasaan Pak Fajar kian was-was. Akankah hari ini tak berhasil juga?

 

Setelah beberapa menit masih hening, ia pun memutuskan pulang, tetapi urung kala terdengar suara motor memasuki pekarangan. Di sana, Pak Sunar dan beberapa orang membawa gerobak yang berisikan kulkas—dapat dilihat dari gambar pada kardusnya yang besar. Pak Sunar bergegas turun dan menghampiri Pak Fajar yang berdiri kaku di teras rumah.

 

“Maaf, Pak. Besok, ya, saya bayarnya. Uangnya sudah kepakai.” tutur Pak Sunar dengan seulas senyum yang dipaksakan dan menggaruk telinga yang tak gatal.

 

Pak Fajar mengangguk, lantas meninggalkan rumah bercat putih itu dengan perasaan kecewa. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dikendarainya motor dengan pelan. Berkali-kali ia menggenggam setir dengan erat hingga buku-buku jarinya memerah, menyalurkan amarah yang menggelora di dada. Alasan apa lagi yang harus ia beri? Akankah wanita itu masih bisa mengertinya? Andai saja tabungannya masih cukup, tentu tak akan segamang ini perasaannya. Sekelebat bayangan sendu wajah sang istri membuat perasaannya kian nyeri.

 

Palangka Raya, 1 Desember 2021.

 

Jemynarsih, yang sedang belajar menulis.

 

Editor: Inu Yana

Leave a Reply