Senarai Mimpi Diza
Oleh; Ety Wulandari
Cerahnya pagi ini jauh lebih cerah bagi Diza dibandingkan hari kemarin. Udara terasa lebih segar dan menyenangkan, capung yang beterbangan bagaikan hiasan alam yang indah tak terperi. Hamparan sawah bagaikan kilauan permata di mata gadis mungil itu. Apa yang sedang dinantikannya kini benar-benar nyata di depan mata. Biji jagung yang ditanam dengan tangannya sendiri telah tumbuh dengan sempurna, berbuah semua dan kini memasuki masa panen pertamanya. Hari ini dia telah siap memetiknya bersama Pak Udin, Pak Man serta Pak Jun dan mobil box untuk mengangkut ke kota.
Langkahnya begitu ringan mengangkat boks penuh jagung menuju ke mobil pengangkut. Terik matahari siang ini sama sekali tak terasa. Lihatlah wajah yang berseri-seri penuh senyum itu. Peluh muncul di sela anak-anak rambut di dahinya sama sekali tak membuatnya terganggu. Pipi putih seputih susu merona kemerahan tertimpa sinar matahari. Kulit tangan yang bersih terawat dibiarkan terbuka dengan kaos lengan pendek yang membungkus tubuh. Kemeja sebagai luaran dililitkan di pinggang karena gerah semakin terasa. Dia tak takut kulit tubuh akan berubah legam, karena hembusan angin sepoi-sepoi di ladang menyegarkan dirinya. Sepatu bot menggantikan sandal yang biasa ia pakai kemanapun karena hanya sepatu bot yang melindungi kaki indahnya dari lumpur dan rumput-rumput berduri. Walaupun sebenarnya dia tak peduli akan tergores karena hatinya penuh suka cita menanam dan merawat aneka macam tanaman dari dulu.
Dahulu, semasa masih kuliah di kampus terkenal di Bogor dengan jurusan agronomi dan hortikultura, dandanannya pun sama seperti sekarang, tidak pernah berubah. Celana jeans dengan kaos pendek dan luaran kemeja, dipadu dengan sepatu kets selalu menjadi ciri khasnya. Dia tidak seperti remaja-remaja kota besar lainnya. Teman-teman kuliahnya menjulukinya dengan sebutan si gadis kota yang melawan arus. Bibirnya tak pernah terpulas pewarna bibir, bahkan bedak untuk wajahnya jarang sekali terpakai. Dia lebih menyukai segala sesuatu yang simpel dan natural, apa adanya. Katanya semua riasan itu seperti topeng, tak menjadi dirinya sendiri.
Kakaknya memanggil Diza dengan sebutan udik karena penampilan yang berbeda dengan dirinya. Namun, gadis itu tak peduli, toh, kenyataannya papa berasal dari lereng gunung, pedesaan tempat tinggalnya sekarang, anak tunggal seorang petani. Darah yang mengalir dari papanya dan ia tak pernah malu. Bahkan dia selalu merindukan aroma tanah basah, hamparan warni-warni tanaman di seluruh mata memandang. Liburan sekolah adalah waktu terindah yang dinantikan, menghabiskan waktu bersama kakek dan neneknya dengan berkecimpung di pekatnya lumpur sawah atau berjibaku dengan burung pemakan padi.
Hingga di hari kelulusannya dia telah pamit kepada papanya dengan tegas, “Pak, boleh ataupun tidak, Diza tetap akan tinggal bersama Nenek.”
Papa hanya tersenyum dan memandang anaknya tanpa berkata apapun. Baginya, Diza telah cukup dewasa untuk menentukan pilihan.
“Apa yang kamu cari di sana? Kamu lihat sekitar, banyak orang desa mencari kerja di kota dan kamu kebalikannya, Diz.” Via mencoba mengingatkan sang adik.
Ibu memeluk putrinya erat, sungguh berat rasanya untuk tinggal berjauhan. Namun, dia sangat memahami putri keduanya itu, bagaimana desa dan segala kehidupannya sering dia ceritakan penuh kekaguman dan itu membuatnya tak mampu menahan. Udara yang bersih, aneka ragam tanaman, suara burung berkicau di pagi hari, dan satu yang tak dia dapati di kota, suara tonggeret menyambut kemarau di akhir musim hujan adalah nyanyian yabg sangat disukainya.
“Aku gak bisa pacaran jarak jauh lagi, Diz. Cukup empat tahun menunggumu, bagaimana sebuah pernikahan yang harus berjauhan?” Indra kekasih Diza memutuskan menyerah pada hubungan yang telah terajut semenjak kelas dua belas.
“Jangan menungguku lagi, mungkin kita tidak bisa bersama selamanya,” kata Diza dengan senyum yang terukir, walau pilu sesungguhnya dibalik bibir. Ada pilihan yang harus dijalani dengan konsekuensi. Ada mimpi dan harapan yang ingin diwujudkan.
Sekarang melihat hamparan tanaman jagung yang menguning dengan buah yang lebat membuatnya mampu tersenyum bangga. Ujian demi ujian hidup meraih mimpinya satu persatu telah tergenggam. Kegagalan yang pernah dialami terbayar lunas, meski dia paham, masih panjang perjalanan hidup kedepannya, setidaknya dia akan terus berusaha meraih semuanya, sisanya dia serahkan pada Tuhan.(*)
Editor: Lutfi Rosidah
Ety Wulandari, belajar walaupun usia tak lagi muda, sekuat tenaga mengejar ketertinggalan. Untuk hobby yang sangat menyenangkan maka, kelas ini untuk menimba ilmu dengan bahagia di Lokit.