Senandung Jalanan

Senandung Jalanan

Senandung Jalanan
Oleh: Karna Jaya Tarigan

Jakarta pada sore hari mulai riuh dan sibuk kembali seperti pagi tadi. Tampak lalu lalang manusia yang berkejaran dengan waktu di setiap tempat. Semua orang berlomba-lomba pulang kembali ke rumah agar bisa mengumpulkan tenaga untuk esok hari. Ratusan ribu kendaraan mulai membanjiri jalanan. Kendaraan roda dua mendominasi sebagian badan jalan. Dan kaki-kaki pengemudi mobil  pun harus bersiap-siap menginjak pedal rem. Lalu lintas semakin padat dan tak beraturan pada jam-jam sibuk. Gegap gempita dalam kesemrawutan.

Gedung-gedung pencakar langit mulai menyalakan lampu-lampunya. Berdandan genit seperti gadis-gadis yang sedang mencari kekasih. Cahayanya laksana ribuan lampion yang berkilau memanjakan mata terlihat dari kejauhan. Petang menjelang gelap, justru adalah saat-saat terindah untuk menikmati Jakarta. Gemerlapnya penuh pesona yang bisa melenakan hati siapa saja.

Begitu banyak orang yang tergoda, mencoba meraih dan merajut impian. Menaklukkan megahnya Jakarta. Kota yang dipenuhi surga, katanya … tetapi hutan belantara penuh gedung-gedung beton tinggi ini adalah kota yang keras dan penuh persaingan. Tak cukup bermodalkan keinginan atau mimpi. Hidup adalah persaingan. Kerja keras tiada surut. Yang lemah pasti tersungkur dan tersingkir secara alamiah.

***

Dion lelaki muda berumur dua puluh empat tahun sedang menunggu di sana. Duduk di atas besi panjang pembatas jalan sambil menenteng sebuah gitar. Ia juga menunggu, sekilas terlihat sama seperti manusia urban lainnya. Berangkat pagi buta, pulang sore hari. Tetapi di sini, ia bukan untuk menunggu saat-saat pulang. Jika yang lainnya ingin segera menikmati aroma rumah yang tenang dan damai, justru ia malah bersiap untuk bekerja. Menjual suara.

Cara ia mendapatkan uang memang berbeda, yaitu menghibur orang-orang yang telah lelah dan penat dengan rutinitas sehari-hari yang menjemukan dan melelahkan.

Tak lama bus yang dinanti-nantinya datang. Patas 26 jurusan Bekasi-Grogol. Kecemasannya menghilang. Setelah dua mobil penuh penumpang berdiri terlewati. Kali ini bis yang datang sedikit kosong, tak ada penumpang yang berdiri, sehingga ia bisa dengan leluasa tampil beraksi. Ya! Ia selalu menganggap mobil ini adalah panggungnya. Dion selalu bermimpi. Tampil di depan puluhan ribu penonton sebagai seorang idola, bernyanyi dengan suara merdunya yang lantang. Dan mobil ini adalah panggung kehidupan yang sebenarnya. Hari kemarin dan hari ini, ia masih tetap mengamen untuk memenuhi kebutuhan hidup. Entah esok hari …. Apakah impiannya akan melesap seperti angin yang membawa debu-debu jalanan. Seperti biasa, ia menarik napas dalam-dalam untuk menepis semua keraguan.

***

Sebuah salam pembuka diucapkannya, diiringi senyuman nan ramah. Ia hampir mengenali wajah-wajah yang setiap hari ditemuinya. Tersenyum adalah sebuah keharusan, sebisa mungkin ia harus bisa mengambil hati semua orang.

“Selamat Sore … Bapak, Ibu, Om, Tante, Abang dan Kakak-Kakak semua!” Sambil sedikit menganggukan kepalanya, menunjukkan sikap kerendahan hati.

“Berjumpa kembali  dengan seorang musisi jalanan di hari ini. Izinkanlah saya untuk menghantarkan istirahat tenang Anda.”

“Terima kasih sebelumnya untuk Bapak supir yang telah memberikan kesempatan.”

“Sebuah tembang manis pembuka dari Ari Lasso, saya lantunkan buat Anda, silakan menikmati.”

Dion mulai bernyanyi. Bernyanyi dengan segenap perasaan. Tak ada sedikit pun kesan ia meremehkan penumpang. Tugasnya memang menghibur orang lain dan memberikan kepuasan. Terkadang sayup-sayup ia memejamkan mata. Menikmati sebait demi sebait isi dari syair lagu yang sedang disenandungkannya. Segenap kerinduan terhadap sang Kekasih juga ditumpahkan melalui penjiwaan yang mendalam. Suara tenor Dion menembus senyap bus berpendingin udara ini.

***

Satu per satu penumpang mulai lelap tertidur. Ia tahu suaranya yang lumayan merdu, pasti akan segera menina-bobokan penumpang yang telah letih beraktivitas seharian. Dan ia pun telah mengganti isi dari repertoarnya beberapa kali. Dari lagu cinta yang menghanyutkan rasa, sampai lagu cinta yang begitu mengiris dada. Kecuali beberapa orang yang sedang sibuk memainkan gawainya masih tetap terjaga. Sampai beberapa menit menjelang pintu tol Jatibening! Ia mengganti tembang terakhir dengan nada-nada yang sedikit riang. Satu karya dari Mbah Surip yang beriramakan reggae, membuat penumpang satu per satu mulai terbangun dari tidur lelap sesaat. Mereka telah mengerti, bahwa tempat tujuan telah menunggu di depan mata.

Lelaki ini berdiri di depan penumpang, lalu mengucapkan kata-kata penutup, tetap dengan senyumnya yang menawan.

“Baiklah, Bapak, Ibu, hadirin, penumpang semua. Hanya sampai di sini perjumpaan kita. Selamat jalan, selamat berjumpa kembali dengan orang-orang yang kita cintai. Terima kasih atas semua apresiasinya. Mohon maaf sebesar-besarnya jika ada ucapan atau kehadiran saya yang sekiranya mengganggu kenyamanan istirahat Anda.”

“Awas dengan barang-barang Anda, jangan sampai ketinggalan. Terima kasih sekali lagi, dan hati-hati di jalan! Akhir kata, Assalamualaikum aarahmatullahi aabarakatuh, Shaloom bagi yang beragama lain. God bless you.”

Dikeluarkannya selembar kantong kecil dari saku belakang, lalu ia menghampiri penumpang satu per satu sambil menyodorkan kantung tadi. Dion tetap tersenyum meskipun ada beberapa penumpang yang tidak memberikan uang recehan. Baginya itu tidak menjadi sebuah masalah, sebab sebagai seorang pengamen bus kota ia mengerti, bahwa ia datang tanpa pernah diundang dan pergi tanpa diusir! Lelaki tangguh ini adalah musisi sejati, bukan pengemis atau berandalan jalanan. Baginya, pemberian penumpang adalah sebuah bentuk apresiasi dari apa yang disajikannya barusan.

***

Meneduh sambil beristirahat sebentar di sebuah warung kecil, Dion menghitung berapa penghasilannya hari ini. Segelas kopi panas, diseruputnya tanpa menunggu dingin. Sebatang rokok yang telah mengeluarkan bara, ia hisap perlahan-lahan. Asapnya membubung tinggi terbawa angin malam, seperti juga mimpi-mimpinya yang menjulang ke awan. Tunai sudah tugas hari ini. Uang koin pecahan lima ratus dan seribu terhampar lebar di atas lantai keramik. Recehan tadi akan ditukarnya ke warung Bang Udin. Lima lembar uang sepuluh ribu dan dua lembar uang dua puluh ribu berada di tangannya. Cukuplah untuk memberi uang belanja ibunya esok hari. Ia tersenyum melihat hasil jerih payah hari ini.

Hmm … masih terlihat lagi selembar uang  berwarna biru di dalam kantung ajaibnya. Matanya mendadak berbinar-binar kembali. “Lima puluh ribu.” Buru-buru dirapikan dan dilipat menjadi kecil-kecil, kemudian disimpannya ke dalam dompet. Lelaki muda ini juga mesti menabung dan bekerja lebih giat. Riska kekasihnya sudah terlambat haid dua bulan, dan minta dinikahi segera.

Dihabiskan kopinya sebelum beranjak pulang, kali ini lidahnya terasa getir ….

 

Karna Jaya Tarigan. Seorang penulis pemula. Terdampar di laman Facebook: sebuah dunia baru untuk berkarya. Tinggal di Kota Bekasi.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply