Semut yang Berjejer di Layar Komputer
Oleh : Reza Agustin
Saya duduk di depan layar komputer, menyaksikan dokumen Word yang sejak setengah jam lalu dibiarkan kosong. Tentu saya berharap dokumen tersebut akan dipenuhi kalimat yang berderet cantik. Teknisnya harus bagus, diksinya pun manis kalau boleh—karena saya sedang menulis romansa fantasi—dan semoga saja nyawa yang sudah saya tanamkan di setiap hurufnya dapat hidup sehingga para pembaca dibuat tenggelam dalam ceritanya.
Namun, saya lebih banyak bermain dengan tuts backspace atau delete ketimbang tuts abjadnya. Tak heran jika dokumen tersebut menyisakan ruang putih yang lebar. Ada beberapa kata yang berderet bak semut yang berjejer. Walaupun pada akhirnya semut-semut itu tak lagi bertahan lama di sana. Saya tekan backspace hingga seluruh dokumen berubah warna menjadi seputih susu.
Omong-omong soal susu, cangkir di samping papan ketik telah ramai dikerubungi semut. Susu cokelat itu sebenarnya tak bersisa lagi. Telah tandas sebelum setengah jam. Yang berarti setengah jam percuma itu pun saya habiskan dengan menyesap susu. Semut-semut kecil itu masuk ke dalam cangkir, mungkin berusaha mengutip sisa-sisa gula dan bubuk cokelat yang mengendap di dasar sana.
Andai saja jika semut-semut itu mau berderet di dalam dokumen, mungkin akan sedikit mengobati kekecewaan atas ketidakberdayaan jari dan otak dalam mengolah kata. Di hadapan semut-semut kecil itu, saya merasa malu. Mereka mungkin beruntung karena tidak dianugerahi mood yang berubah-ubah seperti manusia, sehingga mereka akan tetap bekerja tanpa harus bergumul dengan perasaan murung. Saya beranjak dari kursi, lalu pergi ke dapur dan membuka stoples gula. Satu sendok teh saja, bisa habis kepala ini kalau Ibu tahu saya kasih makan gula untuk semut.
Butiran-butiran menyerupai kristal itu saya tuang ke dalam gelas. Pasti mereka bersorak kegirangan setelah mendapat makan malam cukup enak. Walaupun sebenarnya beberapa semut tenggelam dalam gundukan manis itu, mereka tak kunjung muncul. Ah, sudahlah. Semut-semut ramai berdatangan setelahnya. Mereka benar-benar tak membuang kesempatan makan enak. Saya mengamati koloni semut yang bermunculan setelahnya. Berderet, berjejer rapi bak huruf-huruf yang ditulis menggunakan Times New Roman berukuran dua belas dan berjarak spasi satu koma lima belas.
Aneh rasanya ketika membayangkan serangga-serangga kecil berwarna hitam itu tiba-tiba saja terbang. Seolah terangkat oleh pusaran angin yang kencang. Beberapa yang beruntung tertinggal di dasar gelas aman-aman saja. Bahkan beberapa menggali gula, lantas menyelamatkan diri dengan mengubur badan mereka. Semut-semut hitam yang melayang di udara berputar-putar, ada yang saling berbenturan, ada pula yang saling berpelukan. Mungkin mereka saling melekatkan diri agar tak terpisah.
Tahu-tahu mereka menjerit. Makin aneh saja, mungkin saya adalah beberapa orang beruntung yang bisa mendengar suara semut. Wajar jika mereka menjerit seperti akan mati. Seekor semut tersedot ke dalam layar komputer. Tubuhnya lantas melekat pada kertas putih virtual tersebut, lalu berubah menjadi sebuah huruf. Terlihat samar di mata karena minus saya bertambah dan saya belum ada biaya membeli kacamata. Kekaguman saya menurun sepuluh persen karena minus sialan itu.
Semut-semut yang tadinya masih melayang di udara, kini satu per satu pindah mengisi kertas seputih susu. Makin lama makin berderet, sesekali terjeda oleh spasi tak kasatmata, lalu kertas kosong itu makin penuh. Meninggalkan saya yang menatap penuh takjub. Tiga semut terakhir yang saling melekat masih diseret masuk ke dalam layar. Mereka menggenapi seluruh tulisan panjang itu dengan tiga huruf “E”, “N”, dan “D” yang nyaris menempel. Akhir dari seluruh pengorbanan para semut yang ditarik masuk layar.
Saya masih membatu, tak mampu berkata-kata. Beberapa kali mengedipkan mata lantas menguceknya hingga pandangan saya makin memburam. Namun, saya tak mendapati deretan huruf yang berderet cantik di atas kertas putih itu menghilang. Apakah ini berarti tulisan saya sudah selesai? Rasa bahagia itu meluap-luap memenuhi dada. Akhirnya saya dapat menyelesaikan tulisan tanpa banyak usaha. Satu hal yang harus saya lakukan sebelum mendaftarkan berkas ini untuk lomba. Baca dulu sebelum mengendapkannya. Saya berdeham, membenarkan posisi duduk, dan mempersiapkan pose terbaik. Kepala saya mendekati layar komputer, satu kata pertama terbaca.
“Bangun”. (*)
Reza Agustin, pecinta fiksi dan kucing. IG: @Reza_minnie | Wattpad: @reza_summ08 | Kwikku: Rezaagustin | Facebook: Reza Agustin.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata