Semua Karena Pesan Bunda
Penulis: Zuyaa
Aku tahu bahwa Tuhan pasti marah atas sikapku. Namun, apa yang kulakukan juga memiliki sebab. Andai … andai Dia tidak menarik setiap orang yang aku sayang, aku tentu tidak akan seberani ini dengan Dia.
Apa salahku, Ya Allah? Aku selalu salat. Ayat suci-Mu setiap malam aku lantunkan. Akan tetapi, Kau malah memberiku balasan seperti ini. Tidak adil.
Enam bulan sudah berlalu dan suara seorang perawat waktu itu masih menggema di telinga ini. “Maaf, nyawa ibu Anda tidak dapat diselamatkan.”
Jangan tanyakan bagaimana kondisiku saat itu. Tentu aku sangat sedih. Rasanya, duniaku sudah berhenti berputar.
Pada siapa lagi aku akan bermanja selepas pulang kuliah? Siapa lagi yang akan menemaniku mengobrol di rumah?
Sudah cukup Ayah pergi meninggalkanku dan Bunda saat umurku tujuh tahun. Dan kini, Dia dengan sangat tega membawa Bunda pergi jauh dariku. Sekali lagi, Dia memang jahat padaku.
Saat hari kematian Bunda, Ayah tidak ada sedikit pun menampilkan batang hidungnya. Padahal aku sudah memberi kabar padanya. Bagiku, dengan dia tidak datang dan tidak ada niat untuk mengajakku tinggal dengannya, sudah cukup menjadi isyarat bahwa dia memang tak ingin menjagaku. Kehidupannya dengan keluarga barunya pasti sudah sangat bahagia.
Sudahlah, aku malas untuk berpikir seputar dia. Sosok Ayah sudah tak ada lagi di hidupku sejak dulu, hari ini, dan besok.
Aku bisa hidup sendiri. Uang pensiunan Bunda memang tak seberapa, tapi aku sudah merasa cukup. Biarlah, tak ada riuh bioskop, tak ada ramainya perbincangan di kafe dengan para sahabat, dan tak ada baju baru agar bisa lebih bergaya di kampus. Lebih baik hemat, agar bisa kuliah sampai tamat.
Mengenai kemarahanku dengan-Nya, sebenarnya masih dalam tahap wajar menurutku. Aku masih salat. Aku masih tahu bahwa itu kewajiban yang tidak mungkin dihindari, tapi untuk selebihnya … maaf, aku masih enggan.
Setiap selesai salat Maghrib, mataku akan memandang pada sebuah rak buku kayu dengan pintu yang terbuat dari kaca bening, sehingga apa yang ada di dalamnya dapat terlihat jelas dari luar. Ada kitab suci di sana dengan ukuran cukup besar dan memiliki sampul berwarna emas. Terkadang hati nurani menyuruhku untuk mengambil dan membacanya, tapi selalu urung kulakukan. Bukan karena kemampuan mengajiku yang payah. Tidak. Aku adalah remaja yang aktif ikut dan menjuarai MTQ. Hal itu dapat dilihat dari beberapa piala yang berjajar rapi di rak–samping buku dan kitab agama.
“Zulfa, ada tawaran untuk ikut MTQ cabang Syarhil Quran. Kamu ikut di grupku, ya!” ajak Ana saat aku baru keluar dari kelas.
“Sepertinya aku tidak bisa ikut. Aku absen dulu untuk MTQ kali ini. Lebih baik kamu cari yang lain saja,” balasku tanpa perlu berpikir panjang.
Biasanya aku memang bersemangat jika berurusan dengan lomba itu, tapi sekarang rasa-rasanya jangankan semangat, harapan tentang hari esok saja seakan sudah pupus. Asa dalam hidupku hilang, bersamaan dengan kepergian Bunda.
**
Ijazah kelulusan sudah di tangan selama tiga bulan ini, tapi aku masih belum mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan ijazahku, yaitu S1 PGSD.
Aku sudah letih mencari info seputar lowongan pekerjaan, tapi tak juga mendapatkan yang sesuai. Di surat kabar dan media sering menampilkan seputar lowongan kerja, tapi kebanyakan yang dicari adalah S1 Administrasi, Manajemen, atau Akutansi. Terkadang aku berpikir, apakah aku salah memilih jurusan?
“Zulfa, apakah kamu bisa mengajar di TPA Al-Karomah?” tanya Ustadzah Saidah, yang tidak lain adalah guru mengaji saat aku kecil. “Kami sekarang sedang kekurangan satu ustadzah, dan aku juga sudah bingung harus mencari ke mana lagi?”
Aku sejenak berpikir, apakah harus menerimanya atau tidak? Guru mengaji? Apakah lebih baik aku … ingin aku menolak, tapi tiba-tiba kalimat Bunda kembali terngiang.
Dulu saat aku masih berumur delapan tahun, Bunda selalu semangat mengantarku ke TPA menggunakan sepeda yang sebenarnya sudah sangat butut. Sepeda itu adalah bekas Paman yang dibeli Bunda setelah menabung beberapa bulan. Bunda mungkin bisa saja membeli motor dengan mengambil pinjaman di Bank, tapi ia enggan melakukannya. Lebih baik hidup sederhana tanpa hasil utang, itu adalah prinsip Bunda.
“Walau tak bisa naik motor seperti yang lain, setidaknya kita tak perlu susah ke sekolahmu dengan jalan kaki,” ucap Bunda mengingatkan saat aku mulai menggerutu.
“Bun, kenapa Zulfa tidak bisa seperti anak yang lain? Teman-temanku setiap pulang sekolah, langsung main. Sementara aku malah langsung disuruh siap-siap untuk ke TPA,” keluhku.
Bunda tidak menjawab kalimatku. Dia masih sibuk mengayuh sepeda. Kini kecepatannya sedikit meningkat. Mungkin, Bunda ingin segera sampai di TPA.
Sesampainya di depan gerbang TPA, Bunda turun lalu membantu badanku agar bisa turun juga dari sepeda yang menurutku sangat besar ini.
“Belajar yang baik ya, Sayang,” ucap Bunda setelah aku menyalimi tangannya. Dia mulai berjongkok hingga wajah kami kini sejajar. Dapat kulihat jelas butir peluh yang membasahi wajahnya. Tentu saja perjalanan tadi sangat melelahkan. Bunda harus mengayuh sepeda selama sepuluh menit dengan ditemani matahari yang berada tepat di puncak singgasanya.
“Bunda cuma punya Zulfa. Pokoknya, Zulfa harus jadi anak pintar, sholehah, dan pandai ngaji. Nanti kalau Bunda tidak ada, kan ada Zulfa yang selalu mengaji dan mengirimkan bacaan itu untuk Bunda. Dan ….” Kalimat Bunda tertahan.
“Dan apa, Bun?” tanyaku cepat karena penasaran.
“Kalau nanti Zulfa sudah besar, Bunda mau lihat Zulfa jadi guru ngaji di sini,” jawab Bunda sembari mengalihkan pandangan pada bangunan TPA yang terletak berdampingan dengan sebuah masjid, “belajarlah untuk mengabdi dan berguna untuk orang banyak,” tambahnya.
Setiap keberangkatanku ke TPA, Bunda memang tak pernah berhenti melakukannya–memberi nasihat agar rajin belajar dan memberi pesan agar selalu siap untuk mengajarkan Al-Quran seperti ustadz dan ustadzah di TPA–sampai aku bosan mendengarnya.
“Jadi bagaimaba, Nak?” tanya Ustadzah Saidah untuk kedua kalinya.
“I-i-iya, Ustadzah. Zulfa mau,” jawabku terbata-bata.
**
Sudah sebulan lamanya aku mengajar di sini. Sejauh ini semuanya baik. Para ustadz dan ustadzah juga sangat ramah. Mengenai para santri? Kalian tahu, kalau anak-anak pasti tidak lepas dari sikap nakal dan jail. Tak jarang aku menaikkan suara di hadapan anak-anak jika mereka sudah sangat ribut. Terlebih yang aku ajar ini adalah kelompok Tahjiziyah, yang merupakan kelas paling awal. Para santri di kelompokku berkisar dari usia 4 sampai 5 tahun.
Suatu sore kulihat beberapa santri di kelompokku sedang begitu asyik berbincang. Mereka membahas seputar pekerjaan orang tua dan kebiasaan mereka ketika berada di rumah. Tak jarang ada suara tawa dari pembicaraan mereka. Aku sekilas ikut menarik kedua ujung bibir ke atas, membentuk cekungan sabit indah di wajah.
Anak-anak itu memang menggemaskan.
Kulihat sejauh ini Aisyah tampak diam saja. Aku mengambil inisiatif untuk duduk di dekatnya, lalu bertanya, “Aisyah di rumah sama siapa?”
“Nenek dan Kakek,” jawabnya polos sembari memberi warna pada kertas bergambar yang baru saja aku bagi.
Aku sontak keheranan dengan jawaban yang Aisyah beri. “Mama dan ayah Aisyah memangnya di mana?” tanyaku lagi.
Dia menghentikan aktivitas, lalu menengadah, melihat wajahku dengan tatapan yang lekat. “Sudah di surga.” Setelah mengatakannya, anak kecil bertubuh tambun itu kembali sibuk dengan pensil warna dan kertasnya.
Aku langsung terdiam. Mataku tiba-tiba menghangat, lantas pelupuk sudah tergenang denggan linangan yang mungkin akan segera jatuh jika aku berkedip sekali saja.
*
“Pak Saleh, ada apa ya?” tanyaku usai membuka pintu rumah. Tidak biasanya lelaki paruh baya dengan tubuh kurus itu kemari.
Pak Saleh ternyata datang ke rumahku dengan niat untuk meminta agar anaknya bisa aku ajari mengaji. Aku tentu sulit untuk menolaknya karena kalimat Bunda beberapa tahun yang lalu kembali hadir di memori.
“Baiklah, bawa aja nanti Rika ke rumah saya selepas Maghrib,” ucapku pada Pak Saleh.
“Terima kasih ya, Nak. Tapi ….” Pak Saleh tertunduk lesu, lantas mengusap wajahnya yang penuh dengan peluh dengan handuk kecil yang selalu ada di bahunya. “Aku gak bisa kasih uang buat Nak Zulfa.”
“Gak apa-apa. Zulfa paham, kok.”
Pak Saleh menengadah, lalu tersenyum. Belum sempat aku persilakan masuk, dia malah izin pamit pulang dengan mengayuh becak yang selama ini menjadi temannya untuk mencari nafkah demi keluarga.
Hari demi hari berlalu, dan sudah dua bulan ini Rika–anak Pak Saleh–belajar mengaji denganku. Awalnya memang hanya dia yang aku ajar, tapi sekarang sudah bertambah. Mereka ada sepuluh anak dari beragam macam usia. Ada yang masih kisaran TK dan yang paling besar adalah Farah, si gadis cantik yang sudah sekolah SMA, tapi bacaannya saat mengaji masih terbata-bata. Dia pernah bercerita bahwa saat kecil begitu sibuk membantu orang tuanya bekerja, sehingga tidak ada waktu untuk belajar membaca Al-Quran.
Mereka selalu datang setiap malam ke rumahku dengan semangat yang menggelora. Karena mereka, rumahku ini tak pernah sepi setiap malamnya.
Mereka berbeda dengan para santriku di TPA. Kalau santriku di sana, selalu datang dengan pakaian yang rapi dan wangi, sedangkan anak-anak yang datang ke rumahku ini hadir dengan pakaian yang lusuh dan ada beberapa lubang. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak dari keluarga yang kurang beruntung.
Biaya masuk TPA di kota ini memang cukup mahal bagi orang tua yang berpenghasilan rendah. Bisa makan sehari-hari dengan lauk yang lengkap saja sudah syukur. Itulah sebab aku tak pernah memasang tarif untuk mereka.
“Kak, ini ada titipan dari Bapak,” ucap Rika sembari menyodorkan sebuah kantong kresek berwarna hitam.
Kulihat di dalamnya ada dua kilogram gula dan satu kotak teh. “Bilang sama bapakmu, terima kasih ya.” (*)
Keterangan :
MTQ : Musabaqah Tilawatil Quran
Syarhil Qur’an : metode retorika atau tablig yang mendeskripsikan pesan-pesan dan kandungan Al-Qur’an secara tematik (maudhu’i)
TPA : Taman Pendidikan Al-Qur’an
Barabai, 15 Februari 2022
Zuyaa, wanita kelahiran Banjarmasin penggemar bintang dan kopi.
Editor: Lutfi Rosidah