Semestinya Semesta Tidak Perlu Bercanda
Oleh: Eni Erna
Cerpen Terpilih ke-13 pada #Tantangan_Lokit_6
Tangan kirinya merangkulku di bawah panorama senja. Sementara tangan kanannya menjulur ke depan sambil menggenggam ponsel yang dihadapkannya kepada kami berdua. Aku masih tidak percaya dia akan melakukannya padaku. Pasalnya itu kali pertama kami jalan berdua setelah sekian lama saling mengenal.
Rasanya pemandangan di pantai sore itu membuat aku dan Devon lupa segalanya. Terutama lupa waktu hingga jingga di ufuk barat telah digantikan gelap. Sebelum berswafoto, dia mengajakku bermain kano. Angin kencang dan ombak yang besar membuatku sedikit kesulitan untuk mengarahkan perahu karet ke sisi yang aku inginkan. Tidak lama dayung yang sedari tadi kugenggam lepas dari tanganku. Bukan karena terbawa arus. Hanya saja aku sengaja melepaskannya agar Devon turun untuk mengambilnnya. Enak saja dia sedari tadi hanya diam sambil memandangiku yang bersusah payah menjalankan kano.
Seminggu sebelum aku berkunjung bersama Devon aku sudah lebih dulu menginjakkan kaki di pantai Seifana bersama temanku. Namun saat itu aku tak menemukan keindahan sama sekali di pantai tersebut. Tak ada poin plus untuk kujadikan rekomendasi kepada teman-teman yang lain. Dengan Devon, pantai pasir putih itu sangat menakjubkan, udaranya pun lebih sejuk. Sebelum akhirnya dapat kusimpulkan, indah atau tidaknya suatu tempat adalah tergantung dengan siapa kita mengunjunginya.
“Hari yang menyenangkan, ya,” kata Devon sambil menatapku.
Aku tersenyum sembari meneguk es kelapa. “Sangat,” jawabku dalam hati. Aku pikir Devon tidak akan jujur padaku jika dia senang telah berlibur denganku. Tahu begitu aku tidak perlu menyangkal pikiranku sendiri.
“Ren, udah siap-siap belum?” Suara Mama membuyarkan lamunanku.
“Iya,” jawabku lirih. Namun badanku masih mendiami ranjang.
“Ke mana aja?” tanya Devon dari seberang sana.
“Maaf, tadi aku sedang belajar.”
Hampir setiap hari aku mempunyai rutinitas menelepon dengannya. Tidur larut malam sudah menjadi kebiasaanku semenjak aku dan Devon menjadi dekat. Hanya bertukar kabar yang bisa kami lakukan, sebab Dia memilih mengadu nasibnya di kota orang. Bisa dibilang aku dan Devon bertemu hanya saat lebaran saja. Akan tetapi hati kami selalu bertemu setiap waktu.
Menurutku Devon adalah pria yang dewasa. Sifatnya itulah yang membuatku nyaman. Berbeda dengan teman sebayaku; yang dipikirkan hanya pacar dan pacar. Dalam hal ini, mungkin karena rentan usia yang berbeda. Iya, usia Devon lima tahun di atasku.
“Kamu masih ingat, bukan?”
“Iya, serasa kincir angin milik kita berdua, ya,” jawabku tak kalah semangatnya.
Begitulah aku dengan Devon, mengingat-ingat kenangan saat telepon tidak pernah terlewat. Kami memang tidak punya banyak kenangan. Namun, beberapa pertemuan itu tidak pernah tidak berkesan. Seperti malam itu, sebelum esok pagi dia balik ke perantauan. Aku dengannya pergi ke pasar malam. Kincir angin adalah wahana yang dia pilih untuk kami naiki bersama.
Biasanya saat aku mengantar Devon ke stasiun, aku selalu menunggu hingga ujung keretanya menghilang. Akan tetapi tidak dengan keberangkatannya yang terakhir. Aku hanya mengantarnya di depan stasiun. Setelah dia turun dari mobilku tanpa sepatah kata pun, langsung kuinjak pedal gas, sebab aku tidak mau Devon melihat pipiku yang basah.
“Ya ampun, Rena,” ucap Mama sembari membuka pintu kamarku, membuatku membalikkan badan dan kutinggalkan kenangan-kenangan yang sedari tadi mengusik pikiran. “Kenapa kamu masih tiduran? cepetan mandi, di bawah sudah banyak orang.”
“Kenapa Mama harus menjadi—”
“Cepetan mandi, Rena,” potongnya dengan nada meninggi.
Tidak seperti biasanya, setelah mandi aku tidak membutuhkan waktu lama untuk memilih baju yang akan kupakai. Toh tidak akan ada lagi orang yang akan bilang warna baju yang aku pakai terlihat gelap dan menyarankanku untuk mengenakan warna-warna yang cerah.
Gaun pendek selutut berwarna pink muda telah melekat di badanku, flat shoes dengan warna senada kupilih untuk membalut kakiku yang gemetar saat menuruni tangga kamar. Di ruang tengah sudah banyak orang berkumpul dengan wajah semrinàgah. Entah siapa saja, aku tidak bisa mengenali satu per satu. Sebab mataku terfokus pada pria yang mengenakan jas hitam dan kemeja putih di dalamnya. Kedua ibu jarinya begitu antusias terhadap ponsel yang dipegangnya. Jika aku boleh menebak, sepertinya dia sedang mengetik pesan. Setelah dirasa cukup, dia mengangkat wajahnya. Tanpa kusadari mata bulatnya menatapku yang mematung di tangga terakhir. Membuatku memalingkan pandangan seketika.
***
“Sah.”
Serentak para tamu mengucapkan kata yang sama. Tetapi tidak denganku. Dalam hatiku justru berkata, “tidak.”
“Selamat, semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah,” ucap Mama kepada kedua mempelai.
“Terima kasih banyak, Kak,” jawab keduanya serentak. Akan tetapi dengan pandangan yang berbeda. Vira, mempelai wanita memandang Mama. Sementara Devon memandangku yang berada di belakang Mama dengan raut wajah yang tidak sebahagia istrinya
Devon
Jangan beranggapan jika aku telah mempermainkanmu. Keadaan tidak seperti yang kita bayangkan. Dan perasaan tidak tahu mana ruang yang mesti disinggahi atau sekadar ditemani.
Tetap tersenyum meski tidak lagi dengan sebab yang sama.
Jangan berpikir jika hari ini adalah hari kebahagiaanku. Yang perlu kamu tahu, hari ini adalah hari patah hati kita berdua.
Semestinya semesta tidak menakdirkan kita bersaudara.
19:19
Jika melihat jam yang tertera pada pesan tersebut. Dapat kupastikan jika tebakanku benar: tadi Devon sedang mengetik pesan, untukku. (*)
Eni Ernawati, Gadis asal Tuban yang mengagumi senja dan penikmat musik. FB: Eni Erna
Tantangan Lokit 6 adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata