Semesta Lily (Bagian 6, End)

 

Semesta Lily (Bagian 6, End)

Oleh: Lutfi Rose

Dengung di kepala Lion kembali menyerang. Seperti sirine ambulan yang mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir. Melaju, menjerit, membelah kendaraan yang padat merayap. Semakin lama suara sirine itu makin memekakan telinga.

“Sial!” Lion meremas rambutnya kasar. Bagaimana luka yang hampir sembuh itu kembali terasa perih.

Seharusnya dia tak boleh bermain api. Sudah jelas melihat lily sama dengan mengelupas luka yang sudah mengering. Darah segar kembali merembes dan lebih perih. Tapi dia penasaran, bagaimana kabar perempuan yang begitu disayanginya itu sekarang. Ah! Sayang? Bahkan Lion tak bisa membedakan sayang dan benci. Sisi hatinya yang lain berharap dia sedang menderita, suaminya jahat, hidupnya sengsara atau apalah, asal dia punya alasan untuk bersimpati. Sayangnya, perempuan itu hidup bahagia, bahkan pipinya tampak lebih gembil dari terakhir mereka bertemu dulu.

Lion menutup mukanya dengan selimut. Bagaimana bayangan gadis rapuh itu begitu lekat di depan matanya. Dia memekik di dalam bantal.


*


“Kalian langsung check out?” Lion menyempatkan menemui dua gadis yang sedang susah payah membawa tas besar yang terlihat berat sekali. Bukan dua mungkin, hanya lily yang kepayahan membawa kopernya. Sedang Rose melenggang dengan tas jinjing yang tak begitu besar.

Dua gadis itu menoleh serempak, kompak menunjukkan jajaran giginya membentuk senyum. Lion ikut tersenyum.

“Kami sudah pesan tiket, Pak. Eh! Lion.”

Sikut Rose mendarat di perut lily karena ucapannya. Lily meringis kesakitan, bibirnya langsung maju 5 senti.

“Kalian pulang ke Surabaya?”

“Bukan Pak. Kami pulang ke Jogja.”

“Bukannya rumah lily, Surabaya?”

“Bapak tahu dari mana?” Rose memandang Lion menyelidik.

Sesaat Lion kelabakan, memutar otak mencari jawaban yang tak membuat dua gadis di depannya berfikir aneh-aneh. “Dari biodata peserta, dong.” Telunjuk kanan Lion terangkat ke atas seolah menegaskan kekuasaanya. Belum sampai ada pertanyaan lanjutan, Lion mengalihkan topik bahasan.

“Saya juga pulang ke Jogja. Saya bekerja di kantor administrasi negara di sana.”

Lily dan Rose saling berpandangan, heran sekaligus tak pecaya. Bagaimana bisa kebetulan-kebetupan terjadi secara beruntut.

“Kalian flight on jam berapa?”

“Rada sore sih, Pak. Cuma kami gak pingin ketinggalan pesawat. Tahukan, Pak. Princes satu ini gimana kelakuannya.”

“Lu ya. Rese! Selalu gua jadi kambing hitam.”

Berlanjutlah perang mulut dari dua gadis di depan Lion. Lion merasa geli tapi membiarkan mereka berdua menuntaskan urusannya.

“Sepertinya masih keburu kalau mau pulang bareng kalian. Coba aku cek tiket online-nya.”

Kedua gadis itu langsung berhenti berdebat, memandang Lion lalu saling memandang. Lion mulai sibuk dengan ponselnya. Telunjuknya naik turun di layar.

“Kalian penerbangan jam berapa dan nomor kloter berapa? Coba deh, siapa tahu masih ada kursi. Atau bentar. Kalian pindah pesawat bareng aku saja ya. Gak enak kali sendirian di pesawat.”

Rose dan Lily masih belum tahu harus menjawab apa. Mereka seperti tersihir mendengar ucapan Pria di depannya.

“Girls? Coba lihat tiketnya? Biar aku cancel. Santai saja, aku yang trantir. Nanti kalian bakal dapat cashback. Lumayan buat jajan.”

“Bapak serius?”

Lion tak menjawab. Tangannya masih mengulur menunggu apa yang diamau. Rose cekatan membuka tas, mengambil dan menyerahkan dua lembar tiket pada Lion. Kembali matanya menekuri nomor-nomor yang tertera pada dua lembar yang dia terima, menyalin pada layar ponsel.

“Deal! Kalian pulang bareng saya jam 7 malam, refund tiketnya kembali ke rekening pemesan tadi. Rose, kan?”


*


“Jika dunia diciptakan bersama takdirnya, maka kali ini Tuhan sedang mengajakku bercanda,” batin Lion ketika mengetahui dirinya dipindahtugaskan di rumah sakit yang sama dengan Lily.

Setiap pagi mereka akan bertemu di kantin. Duduk di meja yang sama dan sarapan bersama. Di beberapa kesempatan Rose ikut ambil bagian dalam ritual pagi mereka.

“Belakangan dunia terasa sempit. Di setiap sudut selalu bertemu kalian,” keluh Rose tanpa merasa bersalah.

“Eh! Dodol. Jaga tuh mulut,” Lily bersungut marah sambil mulutnya masih mengunyah, penuh dengan makanan. Rose tak ingin membalas ucapan Lily.

“Sekali saja, kalian apa gak ingin rukun?”

“Waduh Pak ibarat masakan ya, ribut itu macam msg-nya. Biar dikata kurang sehat, tetap saja bikin sedap,” Rose ngakak usai bicara.

Mau tak mau Lion ikut tertawa atas candaan receh itu. Bahagia ternyata memang sederhana, batinnya.

“Nanti aku balik Surabaya,” sela Lily lirih, entah dia bicara pada siapa.

Lion reflek menoleh. Tumben Lily tak segembira biasanya saat akan mudik. Rose diam-diam menyikut lengan Lily, menaik-turunkan dagunya beberapa kali, berharap Lily melanjutkan kalimantnya, memberi keterangan. Tapi yang ditanya tetap diam.

“Lalu kenapa murung gitu mukanya, Ly?”

“Tak apa,” jawab lily pada Lion.

Tiba-tiba Lily berdiri, meninggalkan sepiring nasi goreng yang baru dimakan beberapa suap. Lion dan Rose sejenak saling berpandangan menyaksikan kelakuannya.


*


Malam di kota jogja tak pernah terasa sunyi. Orang-orang seakan tak pernah tidur. Ada saja yang lalu lalang, mulai dari yang sekadar menanti pagi hingga para pengumpul receh.

“Kamu yakin baik-baik saja?” Lion meraih tangan gadis di seberang mejanya. Dia iba. Bahkan dia sudah lupa sakit hatinya. Gadis di depannya menjadi sosok baru yang penuh kejutan dengan kekonyolannya. Lion seakan memasuki dunia baru yang penuh tawa.

“Kukira aku gak akan pernah berada di titik ini. Kukira aku bisa terus menikmati kebebasan tanpa adanya pertanyaan konyol itu.”

Lion mengerutkan dahi, mencoba mencerna kalimat Lily. “Pertanyaan apa? Siapa memang yang bertanya?”

Lily menatap mata Lion dalam-dalam. Namun hanya sejenak, mata itu mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Ditariknya tangan yang sedang dalam genggaman Lion. Dia tersenyum getir. “Ayah ingin aku menikah. Dia seperti tak kapok melihat kesedihan Leony. Dan … giliranku sekarang.”

Sontak udara sekeliling terasa sesak bagi Lion saat ini. Haruskah peristiwa 10 tahun lalu terulang?

Kali ini Lion tak mau kecolongan. Dia sudah mantab melabuhkan hatinya pada Lily. Jika dulu harta menjadi halangan, sekarang apa lagi? Harta, jabatan, semua sudah ada di tangan.

“Aku akan mengantarmu.”

Hati Lily membuncah bahagia. Dari permintaan Ayah yang membuat galau berubah menjadi bunga-bunga bermekaran bersama kesediaan lelaki yang diam-diam dia sayangi.

“Aku akan langsung melamarmu di Surabaya, di depan keluargamu,” janji Lion sesaat sebelum mereka meninggalkan kafe.

*

Pria itu berbeda, batin Lion. Dia yang gagah sekarang duduk di atas kursi roda. Tapi ada yang tak berubah: tatapannya yang tajam dan rahangnya yang tetap keras. Tampak jelas ego seorang ayah yang adidaya masih tersisa.

“Siapa dia, Ly?” Tampaknya lelaki itu lupa pada Lion.

Belum juga anaknya memasuki pintu rumah, pertanyaan menyelidik sudah dia hadiahkan. Lily tak segera menjawab, diraihnya tangan ayahnya dan menciumnya. Lily mendorong kursi roda masuk ke dalam rumah seraya mengisyaratkan agar Lion membawakan koper masuk mengikutinya.

Dada Lion berdebar, ini kali pertama dia memasuki rumah ini. Dulu Leony selalu melarangnya masuk, hanya mengantar sampai depan gerbang.

Seorang perempuan paruh baya keluar, menyambut Lily dengan pelukan.

“Duduklah kalian. Biar Ibu buatkan minuman sebentar. Ini?” Perempuan itu menoleh pada Lion.

“Lion, Bun. Teman Lily.”

“Namanya terdengar familier ya?”

“Memang nama pasaran, kan?” sahut Lily dengan wajah tak berdosanya. “Eh! Maaf. Gak maksud ya Lion.”

Ayah Lily berdehem berusaha mencari perhatian.

“Kak, Leony kemana? Kok sepi?” Mendengar nama itu disebut, Lion menarik dan membuang napas kasar. Sedikit sesak masih terasa.

“Lea minta beli es krim. Ayahnya belm pulang tugas ke Jakarta, jadi sia sedikit rewel.”

Ibu Lily menyilakan Leon duduk, sembari menaruh beberapa toples kue di meja. Lily sudah nyelonong masuk kamarnya, menaruh koper dan menukar sepatu dengan sandal.

“Bunda, kami ingin bicara,” ucap Lily saat keluar kamar dengan jepit yang sudah nangkring di atas kepalanya. “Surabaya makin gerah saja.”

Ibu Lily menoleh, mengangguk seakan paham arah pembicaraan anaknya. “Istirahatlah dulu, nanti kita bicara lagi. Bawa temanmu ke kamar tamu.” Ibu mengambil kursi roda Ayah, mendorongnya ke ruang tengah.

“Kamu istirahat ya. Ada kamar mandi di sebelah sana. Setelah itu kita makan malam bersama. Nanti aku ke sini.” Lily menunjuk pintu yang tertutup di sudut kamar tamu.

“Kamu tak mau mengantarkanku?”

“Ayolah Lion. Jangan manja. Belum juga kita menikah. Itu pun kalau jadi”

“Ly? Kamu masih gak yakin?”

“Misal kamu gak jadi melamarku, juga gak papa Lion. Kurasa Ayah gak akan terlalu memaksa. Lagian aku bakal kasih alasan kok. Kita juga butuh waktu berfikir untuk memutuskan sebuah pernikahan.”

“Kamu meragukanku?”

“Entahlah. Tapi kukira ini bukan main-main.”

“Dan aku juga tak main-main.”

“Sudahlah. Ayo!” Lily menyeret tangan Lion masuk ke dalam kamar, mengeluarkan handuk dari lemari dan menyerahkannya pada Lion.

Lion meraih handuk itu. tak dilepaskannya tangan Lily, menariknya hingga tubuh mereka berdekatan. Sekarang jarak mereka tak lebih dari sejengkal. Lion menarik dagu Lily, memaksa mata mereka bertemu pandang. “Aku mencintaimu, Ly. Sungguh.”

Reflek Lily balik menatap mata Lion. Entah apa yang diharapkannya, hanya saja respon tubuhnya memberi ruang lebih pada Lion. Dan ya! Kecupan Lion mendarat di dahinya, turun ke hidung dan membasah di bibirnya. Lily merasakan ada yang berdesakan di perutnya, menggelitik dan hendak berhambur keluar. Udara kamar seketika terasa dingin lalu mereka saling menghangatkan.

“Lily!” suara Leony membuyarkan suasana hangat mereka.

Seperti murid yang ketahuan nyontek di kelas, Lily berusaha menyembunyikan barang bukti kecuranganya. Lion tak kalah bingung, dia belum menyiapkan sikap jikalau bertemu dengan mantan kekasihnya itu.

“Lion? Kamu? Apa-apaan ini? Jangan main-main sama adikku ya. Dia masih kecil.”

“Kamu apaan sih, Kak? Dia memang temenmu tapi sekarang dia pacarku. Dan stop sebut aku anak kecil, aku sudah 23 tahun.”

“Ly! Oh Tuhan. Plis Lion aku minta kamu jangan main-main deh. Pantes 6 bulan lalu kulihat kalian makan semeja. Rupanya. Aku tahu aku udah jahat sama kamu, tapi plis, jangan balas pada adikku.”

“Apa maksud mu, Kak?” Tangan Lily mendorong bahu Lion menjauh.

“Kumohon,” suara Lion memecah ketegangan di kamar itu.

Lily memandang Lion dan Leony bergantian. Dia merasa ada yang sedang mereka berdua sembunyikan. Leony menatap Lion dengan mata penuh amarah dan Lion yang tampak panik meremas rambutnya.

“Dia cowok yang pernah gagal kuperjuangkan Ly. Kamu masih ingat, kan? Bagaimana aku sempat terpuruk?”

Ingatan Lily kembali ke masa lalu. Dia masih kelas 2 SMP saat mendapati kakaknya hampir mati mengiris pergelangan tangannya. Lily menangkupkan kedua tangan pada wajahnya. Ini gila! Pekiknya marah. Mengapa Lion tak pernah bercerita?

“Aku bisa jelaskan, Ly. Aku memang belum sempat cerita semua padamu. Tapi aku beneran jatuh cinta padamu. Plis, dengarkan aku.”

Lily tak peduli lagi. Semua orang sudah jahat padanya, penipu. Pantas Lion langsung perhatian setelah melihat Leony saat video call. Ternyata semua ada tujuannya.

Gadis mungil itu mengusap air mata yang tak mampu dibendungnya. Memandang kedua manusia kejam di hadapannya. Dia pikir mereka berdua pasti sekongkol, merahasiakan hubungan mereka.

Lily menepis tangan Lion yang berusaha mengenggam tangannya. “Cukup. Cukup,” ucap Lily di sela isakannya.

“Jangan katakan apa pun pada Ayah dan Bunda. Selesaikan masalah kalian lebih dulu.”

Lily melangkah menjauhi dua orang yang sangat disayanginya. Dia merasa ada yang terluka di dadanya tapi tak mengeluarkan darah. (*)

Lutfi Rose, baginya menulis adalah melepaskan. 

Leave a Reply