Semesta Lily (Bagian 4)
Oleh: Rinanda Tesniana
Lion sudah menyelesaikan sesi satu pemaparannya, break, berlanjut nanti pada sesi empat, dia akan kembali menjadi narasumber. Sembari menunggu, dia memilih bersantai di kursi bagian samping yang menepi dari pandangan peserta
Mata elangnya memandang sekeliling. Tanpa dia sadari tatapannya berhenti pada sosok perempuan yang menabraknya tadi pagi. Lion merasa dejavu saat matanya mengarah pada Lily. Wajah yang sangat familiar, tapi dia tak mampu mengingat, wajah siapakah itu.
Lily tampak berusaha keras untuk konsentrasi. Sesekali gadis itu menguap dan memainkan ponselnya. Lion tersenyum samar.
Pukul dua belas siang materi berhenti sejenak untuk ishoma–istirahat, salat, dan makan. Sebagian peserta meregangkan badan, sebagian lain mengobrol dengan rekannya.
Lily sedang bersungut-sungut ke arah Rose. Bibir tipisnya tak berhenti bicara hingga Rose terlihat kesal.
“Lu diem gak? Gue jahit mulut lu!” bentak Rose.
“Di mana solidaritas lu? Kita ke sini bareng, Ros, sekarang lu mau ninggalin gue?”
“MasyaAllah, Ly, gue pergi cuma dua jam buat ketemu uda Jay.”
Ayah dan ibu Rose berdarah asli Sumatera Barat, dia memiliki banyak saudara di sini. Salah satunya Uda Jay. Sepupunya itu sudah berpesan dari semalam, agar Rose makan siang di rumahnya. Istrinya–Uni Rina–pun menelepon berkali-kali, memastikan Rose datang.
“Gue ikut,” rajuk Lily.
“Ogah! Ini acara keluarga, lu mau ngapain?”Rose melenggang meninggalkan Lily yang termangu. Perempuan cerewet itu tak sempat melontarkan protes lagi. Rose benar-benar tega, dia meninggalkan Lily sendirian.
Awalnya Lily tak ingin makan. Rasanya aneh berada di restoran sebesar itu tanpa mengenal siapa pun. Namun, perutnya tak bisa diajak kompromi. Baru lima menit membaca materi, perutnya sudah berontak. Dengan enggan, dia melangkah ke restoran. Sialnya, setelah mengambil makanan, dia tak menemukan satu pun bangku kosong selain di depan lelaki yang ditabraknya tadi pagi.
Lion was-was saat melihat gadis ceroboh itu, berdiri dengan wajah bingung di tengah restoran yang sedang ramai. Lelaki itu mengamati sekeliling, hanya bangku di depannya yang kosong. Besar kemungkinan, gadis itu akan duduk di sini.
Benar saja, dengan tangan penuh, perempuan itu melangkah ke arahnya.
“Hai, Pak Lion,” sapa Lily ramah, memamerkan deretan giginya yang rapi. Senyum yang terasa akrab bagi Lion.
“Kita belum kenalan secara formal, loh, Pak. Saya Lily.”
Lion mengangkat bahu. Lily tampak kesulitan menurunkan bawaannya. Piring berisi nasi, mangkuk berisi soto, dan sepiring buah yang entah bagaimana caranya, berhasil dia bawa.
“Bapak mau minum gak? Ada es cendol.” Tanpa menunggu jawaban Lion, Lily mengambil dua gelas es cendol.
Lily menghabiskan nasinya sambil bercerita mengenai banyak hal. Lion hanya mengangguk demi sopan santun. Tak enak rasanya membiarkan Lily berceloteh tanpa ada respons.
Dalam hati Lion takjub, Lily menghabiskan seluruh isi piringnya tanpa sisa.
“Muatan kamu banyak juga, ya.” Lion tak dapat menahan diri untuk berkomentar.
“Maksudnya?” Lily menatapnya dengan heran.
“Luarnya kecil, dalemannya luas.” Lion tertawa.
“Ya, Allah, untung Bapak ingetin.”
Lion mengerutkan dahi saat Lily mengorek-ngorek isi tasnya. Tenyata, dia mngambil ponsel.
“Ros, lu udah mau balik? Lu gak lupa, kan, beliin gue underwear. Gak enak banget pake daleman lu, longgar. Ups!” Lily menutup mulutnya. Dia lupa ada Lion yang sedang duduk manis di depannya.
Tawa Lion lepas begitu saja. Baru kali ini, lelaki beralis tebal itu melihat langsung perempuan yang tidak membawa underwear saat ke luar kota. Kok ada manusia seceroboh itu.
“Kamu selalu begini?”
“Begini gimana, Pak?” Mata bening Lily menatap Lion dalam, membuat lelaki itu termangu sejenak.
“Eh, gak pa-pa,” ujar Lion gugup.
Lily melirik jam tangannya, masih ada sejam lagi sebelum masuk sesi berikutnya. Lily menimbang-nimbang, dia ingin istirahat di kamar, tapi dia takut terlambat mengikuti pelatihan.
“Handphone kamu bunyi,” Suara bariton Lion menyadarkan Lily, gadis berkemeja merah jambu itu segera mengangkat telepon dan menempelkan benda pipih itu ke telinganya.
“Kok aneh? Ly, gue video call, bukan nelepon!”
Lily menjauhkan handphone tersebut, menatap layarnya. Tampak wajah cantik kakak semata wayangnya yang sedang tersenyum.
Diam-diam Lion mengamati Lily yang dengan cueknya menerima panggilan video di tengah keramaian.
“Bawain gue keripik sanjay, ya, Ly.”
Lion menghentikan aktifitasnya demi mendengar suara di ponsel lily yang seperti tak asing di telinganya.
“Keripik apaan? Gue besok balik. Lu tau gak, Le. Gue lupa bawa daleman,” bisik Lily.
Lion tertawa. Perempuan itu berbisik dengan suara seperti orang berteriak.
“Siapa yang ketawa?” Leony di seberang sana mengerutkan keningnya.
“Di sini rame, Le. Namanya juga tempat makan. Nih lo lihat.”
Lily mengganti mode kamera belakang agar Leony leluasa melihat pemandangan di sekitar Lily.
Wajah Lion yang sedang fokus memainkan ponselnya, membuat Leony tersentak.
“Itu siapa yang di depan lu, ly? Kayaknya gak asing
“Pak Leon, pemateri seminar.”
“Leon?” pekik Leony.
Lion kaget mendengar suara memanggilnya.
“Lo kenal?” Lily mendekatkan handphonenya ke wajah Lion.
“Kenapa, sih?” tanya Lion bingung.
“Kakak saya kenal Bapak.” Dengan lincah, Lily menukar lagi mode kameranya, dan memutar ponsel pintarnya menghadap Lion.
“Leony?”
Dunia Lion berhenti berputar.
***
Meski bosan, Lion tetap menikmati kcelotehan perempuan berbibir mungil di depannya. Ah! Bodohnya cinta. Sebosan apa pun dia, tetap saja tersenyum dan bahagia membersamai mereka. Sesekali pria itu memeluk bahu mungil si gadis.
“Papa mau aku cepat nikah, Yang.”
“Sabar. Kalau Lisa udah selesai kuliah, kita nikah.” Lion menenangkan wanita di sampingnya.
“Tapi masih lama sekali.” Bibir indah itu mengerucut. Membuat Lion gemas dan ingin mengecupnya.
“Sabar, dong, Sweety,” bisiknya mesra.
“Aku takut gak bisa mengelak, Lion. Iyan setiap hari ke rumah, dan papa welcome banget.”
Lion bangkit, menjauhkan diri. Dia membuka kotak rokok, membakar batang tembakau itu untuk menenangkan pikirannya. Selalu, dia muak setiap kekasihnya menyebut nama Iyan–pengusaha muda yang digadang-gadang ayahnya untuk menjadi suami Leony.
“Tak bisakah kalian bersabar? Adikku hanya satu orang, dan ibu pasti akan kecewa jika aku menikah sebelum Lisa lulus, Le. Kasih aku waktu.”
Leony menangis, dia berlari lalu menjatuhkan tubuhnya di pelukan Lion.
Hanya dua minggu setelah perjumpaan berikutnya, sebuah undangan berwarna biru diantar kurir ke ruangannya.
Lion hancur dan mungkin hingga sekarang hatinya tak pernah utuh lagi.
***
Lily termenung di dalam toilet. Setelah makan siang porsi kuli tadi, perutnya berontak dan memaksanya menghabiskan waktu tiga puluh menit di dalamnya.
“Ly, lo masih idup?” Gedoran pada daun pintu membuyarkan konsentrasi Lily.
“Bentar!” Lily menakan tombol flush pada toilet sebelum membuka pintu.
Wajah masam Rose menjadi pemandangan yang pertama yang dialihat. Dan dia tak peduli. Dia ingin bercerita mengenai kejadian saat makan siang tadi.
“Rose, lu tau gak, tadi pas makan siang, Leony VC gue. Ternyata, dia kenal sama pak Lion.”
Rose tak memerhatikan. “Udah! Itu lu ceritain nanti. Sekarang, buruan. Ntar kita telat.” Rose menarik tangan Lily.
“Bentar, gue belum cuci tangan.”
“Najis!” Rose melengos seketika melepas tangan lily.
Sejurus kemudian, mereka berlari menuju ruang pelatihan dan mengambi posisi lebih strategis–di belakang dekat pintu.
“Mana underwear gue?” bisik Lily.
“Nih.” Rose menjejalkan plastik ke tangan Lily.
Sementara, Lion mengamati Lily dari kursinya. Sekarang, dia mengerti mengapa wajahnya terasa sangat akrab.
Bagi pria itu, Leony seperti sebuah buku tanpa bagian akhir bagi Lion. Gadis itu benar-benar sempurna, sikapnya, tuturnya, wajahnya, semuanya.
“Giliran Bapak.” Seorang panitia menyentuh pundak Lion. Wajah Leony dalam angan Lion terhempas. Lion mengangguk dan meraih microphone yang disodorkan. Matanya melirik Lily sekilas.
Perempuan itu tampak sibuk berbisik dengan Rose, sementara tangannya merogoh sebuah plastik berwarna putih yang Lion yakin isinya adalah underwear.
“Kita break sebentar, ya.”
Lion mencari video poco-poco. Hal ini biasa dia dilakukan ketika peserta sudah tampak jenuh dijejali materi dari pagi. Seluruh peserta kembali semangat mendengar intro lagu poco-poco.
“Boleh berdiri semua. Saudari Lily dan Rose, tolong berdiri di depan, dong. Kita joget bareng.”
Lily spontan berdiri mendengar namanya dipanggil dengan pengeras suara. Benda yang dia pegang terjatuh, dan tergeletak di atas meja. Seluruh orang di ruangan tertawa melihat celana dalam berwarna merah tersebut. Lily menunduk dan menyimpan benda itu sambil menahan malu.
***
Rinanda Tesniana-Ibu rumah tangga yang suka membaca