Semesta Lily (Bagian 3)
Oleh: Lutfi Rosidah
Padang parahyangan, kota yang sudah lebih sepuluh tahun dihindari Lion. Kota yang berada di tepian pantai itu menyimpan begitu banyak kenangan indah yang sangat ingin ia lupakan. Setiap kali ia menatap pantai sepanjang jalan dari bandara menuju hotel–yang sudah ditentukan panitia penyelenggara seminar—pikirannya dipenuhi kepingan-kepingan masa lalu.. Bayangan gadis yang berlarian di tepi pantai dengan menjinjing sepasang sepatu flatnya. Sesekali tangannya sibuk menyibak rambut lurus sepunggungnya yang diterpa angin. Masih bisa dia dengar kekeh tawanya. Arg! Ia mengusap wajahnya kasar. Ternyata semua masih begitu lekat dalam ingatan.
“Maaf, Pak. Saya harus antar ke mana?” Lion tersadar mendengar pertanyaan sopir taksi di depannya. Ia lupa telah menolak jemputan panitia, memilih mencari taksi sendiri di depan bandara.
“Oh! Iya, Pak. Hotel Pangeran.”
Kembali suasana sunyi. Pak Sopir taksi tampak paham, penumpangnya sedang tak ingin banyak bicara.
***
Gadis di depannya terus saja menangis. Lion diam, tak berusaha menenangkan kekasihnya. Perasaannya campur aduk, antara menahan atau merelakan. Dihisapnya rokoh dari sela jarinya. Asapnya membumbung terus naik dan lenyap di antara langit-langit. Masih dengan diam dan tangisnya, gadis itu menarik kasar kemeja Lion, memukul-mukul dadanya, kemudian membenamkan wajahnya di dada bidang itu.
“Aku sudah ikhlas, pergilah!” Lion melepas pelukan gadis itu.
“Tidakkah kamu berusaha mempertahankanku, Lion?”
“Kurasa aku memang tak pantas. Gak ada yang bisa kujanjikan. Pergilah!”
“Mengapa kamu tak berusaha mempertahankanku? Sungguh, aku gak pernah ingin kita berpisah.”
***
Taxi memasuki pelataran hotel yang luas. Sedikit sesak di dada Lion ketika membuka pintu mobil dan menghirup udara kota Padang. Sudahlah, sudah saatnya aku memulai hidupku yang baru, batinnya.
Kamar yang dibooking untuknya cukup nyaman. Suit room dengan satu bed besar, sebuah televisi flat, lemari es dan kamar mandi dalam yang modern. Segera ia keluarkan barang dari kopernya: 3 setel kemeja dan celana lengkap dengan dasi berwarna senada. Ia selalu memastikan penampilannya sempurna dan rapi. Tak boleh ada celah dari dirinya yang akan membuat orang meremehkan. Cukup di masa lalu dia dipandang sebelah mata, tidak saat ini.
Seminar hari ini dibuka pukul 8 pagi. Ia melirik jam di tangan kanannya, masih ada waktu 25 menit untuknya menyiapkan materi dan berganti baju. Pembukaan semalam sengaja ia tak ikut serta. Tumpukan berkas yang harus dialihkan pada asisten di kantor tak bisa selesai dengan cepat, meleset dari perkiraan awal. Penerbangan dini hari terpaksa ia pilih demi tak terlambat di acara pagi ini.
Lion segera menukar sweater kelabunya dengan kemeja setelah membasuh muka. Sudah tak memungkinkan untuk mandi lebih dulu. Sebuah flashdish siap dicolokkan pada laptop yang sudah disiapkan di atas meja di samping ranjang. Lion tersenyum puas dengan fasilitas yang disiapkan panitia.
Ketukan pintu kamar mengalihkan perhatian Lion dari laptop yang dia nyalakan. Dibenahinya sepatu yang baru dia pasang sekembali dari kamar mandi. Seorang pemuda tersenyum di balik pintu.
“Pagi, Pak Lion. Bagaimana? Mau langsung ke ballroom atau sarapan dulu?”
“Nasi goreng padang sebenarnya juara. Hanya saya kira gak memungkinkan.”
“Bagaimana kalau secangkir cappuccino dan seiris roti bakar? Sudah siap di restoran, atau mau saya minta antar ke sini?”
“Saya akan ke sana. Hanya perlengkapan saya masih di dalam.”
“Mari saya bantu bawakan.”
Lion mengangguk, menyilakan pemuda itu masuk, mengangkat laptop dan beberapa berkas untuk presentasi. Setelah yakin semua dibawa, ia mengunci pintu kamar. Ia masih sangat hafal setiap ruang di hotel ini. Meski bangunan telah banyak direnovasi, tatanan bangunan khas padang masih dipertahankan. Pemuda berwajah oriental itu tak mampu menghalau degup jantung yang makin terpacu. Ditariknya napas dalam-dalam, mentralisir perasaan yang berkecamuk. Kenangan-kenangan itu kembali lagi, seperti slide film yang silih berganti membentuk rangkaian kisah. Ia mengerjap sebentar, berharap semua bayangan itu segera berganti dengan dunia nyata yang harus dihadapinya.
Ditengah ketegangan hatinya, seseorang menubruk sekaligus menumpahkan segelas teh panas ke kemejanya. Ia berjingkat menghindar tapi kalah cepat. Ia merasakan air panas meresap ke kulit dadanya.
“Maaf, maaf. Ya Tuhan. Saya tak sengaja. Maaf.” Seorang perempuan mengambil tisu dari sakunya. Berusaha mengelap air teh yang menumpahinya. Bukannya kering, sobekan kecil tisu yang basah itu malah menempel pada kemeja warna coklatnya. Sekarang kemeja itu seakan berhias bercak-bercak putih sobekan tisu.
Lion ingin memekik, memarahi perempuan di depannya. Namun ia sadar, bukan saat yang tepat. Ia harus menjaga sikap tetap elegan. Deheman menjadi pilihan sembari menekan emosinya.
“Maafkan saya. Saya akan cuci baju Masnya. Bisa dilepas dulu mungkin atau ….” Gadis itu menggantung ucapannya.
“Saya tak mungkin telanjang di sini kan, Mbak? Kok bisanya Anda tak melihat saya?”
“Ya Ampun Ly, kamu bikin masalah apa? Aduh Mas, maafkan teman saya.”
“Gak sengaja Ros. Lu jangan berlebihan deh! Ya kan, mas?”
Lion merasa berbicara dengan dua perempuan di depannya bakalan sia-sia. Dia harus segera mengisi perut sebelum presentasi. Tanpa memedulikan mereka, ia mencari tempat duduk, mengambil sisa-sisa remahan tisu di kemejanya, menggunakan lap putih yang tersedia di atas meja untuk mengeringkan sisa air teh di kemejanya. Warna coklat kemejanya menyelamatkannya dari noda.
Sepiring roti bakar dan secangkir kopi susu sudah tersaji di hadapannya. Tak menunggu lama segera dimasukkannya bahan bakar itu ke dalam perutnya.
“Mas, Mas. Eh! Boleh kami duduk di sini?”
Di luar perkiraan, dua perempuan–yang dari dekat ternyata tampak masih muda–yang baru saja merusak mood pagi ini, langsung duduk di dua kursi kosong di depannya. Bener-bener anak jaman now, batinnya.
Lion tak memedulikan ulah dua gadis—lebih pantas disebut begini, masih ingusan tampaknya—yang bertingkah tak jelas di depannya. Bisa-bisanya mereka berebut botol kecap, padahal bergantian saja lebih cepat dan tak perlu membuat gaduh. Ia terus mengunyah roti dan sesekali menyesap kopi susu dari cangkirnya.
“Betewe, kita boleh kenalan dong, Mas,” celetuk gadis yang tadi menumpahkan tehnya.
“Lu ini, Ly. Agresif amat,” balas teman di sebelahnya.
“Siapa? Gue. Eh! Ros, wajar dong kalau kita perlu nambah kenalan. Udah jauh ke sini masak cuma kenal lu doing. Lagian kan aku harus tahu kamar mas ini, nanti gimana ngambil kemejanya buat dicuci?”
“Nyari kesempatan lu,” ejek Rose dengan suara pelan. Lily melengos.
“Mas. Mas. Halooo?” Lily mengulurkan tangan kanannya ke muka Lion. “Kenalan yuk, saya lily.”
Dengan setengah hati Lion mengangkat muka, memandang gadis di depannya. Ia kaget saat melihat senyum Lily yang terasa tak asing. Ya! Senyum dan bentuk wajah yang sangat mirip dengan gadis di masa lalunya. Sejenak ia tak mampu berkata-kata.
“Mas, hai Mas. Malah nglamun.”
“oh! Saya Lion.” Ia menjabat tangan Lily lalu Rose bergantian. “Gak papa, sepertinya kemeja saya sudah lumayan kering. Gak bakal keburu untuk ganti baju, saya harus presentasi sekarang. Dan … gak perlu juga ke kamar saya, sudah ada fasilitas laundry hotel. Mari.” Lion berdiri setelah menghabiskan tegukan kopi terakhirnya.
Lily dan Rose saling memandang. Mereka masih terhipnotis dengan suara bariton pria di hadapan mereka.
***
“Tuh kan ly. Lu sih, kita jadi telat masuk kelasnya,” Rose terus menggerutu sepanjang langkah menuju aula hotel.
“Sudah dong! Stop nyalahin aku. Siapa suruh kamu ikutan nimbrung sama cogan tadi.”
“Cogan, apaan?”
“Cowok Ganteng. Haha.” Mereka terbahak berdua.
Beruntung presentasi masih belum dimulai. Lily dan Rose mendapat tempat duduk pas di depan di dekat alat pengeras suara. Mampus! Batin lily.
“Baiklah semua. Kita akan mulai materi pertama kita pagi ini. Semoga sudah siap semua ya.” Semua mata tertuju ke arah sumber suara. Dan betapa kagetnya dua sahabat karib itu ketika tahu siapa yang menjadi narasumber pagi ini, Lion.
Bersambung.
Lutfi Rosidah, perempuan biasa tapi penuh gairah