Semangkuk Mi Ayam dari Ibu
Rinanda Tesniana
Upik menahan gigil di sekujur tubuhnya. Rasa lapar yang mendera sejak tadi pagi, tak mampu lagi dia tahan. Buyung, abangnya, memeluk adik semata wayang itu sambil berharap Ibu segera pulang membawa apa saja yang bisa dimakan.
“Minumlah dulu, supaya terisi perutmu,” ujar Buyung lembut.
Upik menggeleng. Perutnya sudah kembung karena menelan terlalu banyak air.
Suara denting mangkuk beradu dengan sendok terdengar nyaring dari luar rumah. Kakak beradik itu serentak berlari ke teras. Aroma mi ayam Mang Asep selalu menggugah selera. Sering sekali Mang Asep berhenti di depan rumah mereka, sebab rumah mereka memang tepat berada di persimpangan, jadi cukup strategis untuk mangkal. Buyung dan Upik hanya mampu menelan air liur.
Betapa dua bocah lugu itu ingin sesekali mencicipi mi ayam Mang Asep. Namun, Ibu selalu berkata kalau ayam untuk taburan mi Mang Asep terbuat dari daging tikus yang mati di selokan. Buyung tidak percaya sepenuhnya. Wajah mang Asep begitu bersih, tidak ada tanda-tanda lelaki itu mau menipu pembeli. Buyung lebih percaya ucapan Ibu itu sekadar alasan saja, sebab beliau tidak ada uang untuk membeli mi ayam dengan harga sepuluh ribuan itu.
“Beli, Dek?” Mang Asep tersenyum pada mereka. Pedagang baik hati itu heran. Dua anak itu selalu berlari ke luar setiap kali dia lewat, hanya sampai di situ saja, tidak pernah sekali pun mereka membeli.
Bagi Buyung dan Upik cukuplah mereka menghidu aroma mi ayam yang harum itu. Membayangkan rasanya saja, perut mereka sudah terisi separuh.
Tak lama, Ibu pulang membawa nasi terbungkus daun pisang. Buyung dan Upik bersorak. Mereka bergegas masuk ke dalam rumah yang terbuat dari bilik bambu, satu-satunya harta peninggalan Bapak.
“Ibu bawa apa?” tanya Upik dengan suara riang.
“Ini nasi berkat dari rumah Aisyah. Makanlah, Nak!”
Kakak beradik itu makan dengan lahap, sejenak melupakan mi ayam Mang Asep yang suara dentingannya masih terdengar di depan rumah.
“Ibu sudah makan?” tanya Buyung karena melihat ibunya hanya duduk memperhatikan mereka makan.
“Sudah tadi,” jawab perempuan berkulit cokelat itu cepat. Perutnya belum terisi apa pun sejak pagi, sebab sibuk membantu Aisyah memasak untuk hajatan. Sebenarnya bisa saja dia makan di rumah tetangganya itu, tetapi dia sungkan. Sudah membawa nasi berkat, masa makan juga di sana.
Buyung tak percaya ibunya sudah makan. Sesekali dia melihat Ibu menelan air liur saat melihat Upik makan, tetapi dia tahu, ibu pasti bersikeras tidak mau memakan nasi tersebut.
“Bu, kalo ada uang, Upik pengen mi ayam Mang Asep, ya.”
Ibu menghela napas. Uang sepuluh ribu amat berharga baginya. Daripada membeli semangkuk mi ayam, lebih baik beli beras dan tempe.
“Mi ayam itu gak enak, Pik.”
“Biarin aja gak enak, biarin aja dari tikus mati. Upik pengen, Bu,” rengek Upik.
Ibu diam saja dan bergegas membereskan sisa makan anak-anaknya.
“Ibu mau ke rumah Aisyah lagi, ya. Mau bantu cuci piring bekas hajat. Kalian di rumah, jangan ke mana-mana!” titah Ibu.
***
Dentingan sendok beradu mangkuk itu kembali terdengar hari ini. Upik dan Buyung berlari ke depan rumah. Seperti biasa, mereka menghidu aroma mi ayam Mang Asep. Tak berani meminta pada Ibu, sebab perempuan itu sedang terbaring lemah di tempat tidur.
Tadi pagi, Buyung mendapati ibunya tidur dengan wajah memerah. Buyung menempelkan tangannya di kening ibu, sangat panas. Segera Buyung membeli obat demam di warung dari selembar lima ribuan yang tersisa di kantong ibu.
“Pengen banget,” ujar Upik sambil menelan air liurnya.
Buyung mengamini, dia pun ingin makan mi ayam Mang Asep yang terkenal enak ini.
Mang Asep mangkal di depan rumah mereka. Matanya melirik dua bocah yang memandang ke arah gerobaknya dengan penuh harap. Hatinya perih ketika mengingat ucapan ibu mereka tempo hari yang tak sengaja terdengar olehnya.
“Mi ayamnya gak enak, dari daging tikus.”
Ingin dia beranjak dari depan rumah ini, tetapi tak bisa disangkal, setiap mangkal di sini pembeli selalu ramai.
“Ayo kita ke rumah Uak saja,” usul Buyung agar adiknya lupa dengan mi ayam tersebut. Upik hanya mengangguk lemah.
Mang Asep mulai sibuk melayani pelanggan. Dia lupa pada dua anak yang senantiasa memandang dengan rasa ingin ke arah gerobaknya. Hingga senja, ketika pembeli berangsur sepi, seorang perempuan dengan senyum malu-malu mendekati gerobak mi ayam Mang Asep.
Lelaki itu ingat, perempuan kurus dengan wajah pucat di hadapannya adalah ibu dari bocah kecil kakak beradik itu.
Mang Asep sengaja tak hendak mengajak perempuan itu bercakap. Dia hanya ingin tahu, untuk apa datang mendekat. Apakah ingin memastikan daging ayamnya bukan terbuat dari daging tikus?
“Berapa semangkuk, Bang?” tanyanya dengan suara pelan.
“Sepuluh ribu,” jawab mang Asep ketus.
“Boleh beli lima ribu dua bungkus, Bang? Maaf, saya tidak punya uang.”
Mendadak ada rasa nyeri menjalar di dalam tubuh Mang Asep. Teringat wajah dua bocah lugu itu yang selalu melihat ke arahnya dengan penuh harap, terlebih saat dia mulai mengaduk ayam, mereka sering sekali semakin mendekat. Mungkin ingin menghirup bau mi ayamnya, agar hilang sedikit saja inginnya.
Mang Asep menyiapkan dua porsi mi ayam spesial untuk wanita yang menunduk di depannya. Setelah menerima uang sepuluh ribu lusuh sebagai pembayar mi ayam itu, pelanggan lain datang, memesan sepuluh porsi mi ayam spesial.
***
Ranah Minang, 12.11.2020
Rinanda Tesniana-Ambivert yang senang membaca.
Editor: Erlyna