Selimut

Selimut

Selimut

Oleh: El Rash

Pernahkah kalian sahabatan dari SD sampai SMA? Ke mana-mana kalian selalu bersama. Makan bareng, liburan bareng, pokoknya semuanya serba bareng, deh. Aku pernah kayak gitu, dan … kenalin nih, teman-temanku!

Saleh, temanku yang paling tampan, ramah, sering gombal dan yang terpenting dia yang paling doyan makan di antara kami berempat. Ellis, gadis bawel berparas elok yang selalu menjadi alasan Saleh menggombal. Tia, gadis imut dengan hijab yang membungkus kepalanya. Selalu terlihat anggun dengan tutur kata lembut yang mampu menghipnotis setiap lawan bicaranya serta yang paling perhatian pada kita.

Dan inilah aku, Munir. Cowok paling gaul di angkatan tahun ini dan juga paling cerdas di antara sahabat-sahabatku.

Di salah satu kedai milik Pak Amin, kami mulai menulis sebuah buku yang menjadi catatan-catatan kami setelah sekolah, juga taman di dekat rumah Lilis.

“Cie-cie … ada yang diem-diem dinner, nih!” ledeknya padaku dan Tia.

“Udah, jangan dibahas. Cuma makan jagung bakar doang, kok!” terang Tia.

“Wah, enak kayaknya tuh!” seloroh Lilis. “Kayaknya udah ada yang jadian nih, Leh,” tambahnya lagi.

“Ah, beneran itu, Nir?” tanggap Saleh dengan muka seriusnya.

Aku memang sudah sejak SMP dulu naksir sama Tia, tapi sampai sekarang belum juga berani mengungkapkan perasaan padanya. Rasa takut bersalah karena telah mencintai sahabat sendiri dan takut ditolak, yang pada akhirnya dia akan menjauhiku. Itu cukup menjadi alasan kenapa sampai saat ini aku masih setia pada perasaan ini, setia untuk tetap menjaga cinta ini.

“Apaan sih, Lis. Ngaco, deh!” jawabku.

“Udah ngaku aja, Nir. Sama kita aja malu-malu,” ledeknya sambil cengengesan.

“Iya kan, Tia? Dia udah nembak kamu, kan?” tanyanya lagi.

“Sudah, ah! Mending kita pesan makan aja,” potong Tia mengakhiri pembahasan itu.

Sebenarnya aku sebal banget sama mereka berdua. Bisa-bisanya mereka ngejek aku di depan Tia. Bikin malu aja! Untung Tia bisa ngerti sama perasaan aku.

“Mbak, pesen makan, dong!” panggil Tia.

Dengan wajah cantik dan senyuman manisnya, Mbak Ela menghapiri kami yang duduk di bagian pojok belakang kedai dengan hamparan taman di sampingnya.

“Udah mau makan, Dik?” tanyanya.

“Iya, Mbak!” jawabku.

“Nasi gorengnya dua, yang satu tambahin kecap dan yang satunya biasa. Mie instannya satu, kuahnya dibanyakin, ya. Terus nasi putihnya dua. Lauknya pakai paha ayam aja. Oh ya, Mbak! Untuk yang nasi goreng tadi pahanya dua. Minumya teh anget semua ya, Mbak,” pinta Tia.

Tia memang yang paling ingat sama makanan kesukaan kami. Selain anggun dia juga sangat perhatian. Sekitar lima menit menunggu akhirnya pesanan kita datang juga. Ditemani tawa, akhirnya kami pun siap pulang dengan perut kenyang malam itu.

“Wah, udah jam 21.10, nih!” kataku.

“Masih jam segini kok, jalan-jalan dulu yuk! Lagian besok ‘kan, libur,” pinta Saleh.

“Enak aja! Kamu kira sekolah milik bapakmu, besok masih Kamis, tau!” bantah Lilis.

“Sewot banget, sih. Becanda tau! Iya deh, kita pulang aja. Lama-lama sama Lilis bisa pecah nih gendang telinga, kena omelannya.”

Bersama desiran angin dan keheningan malam yang pecah karena tawa, akhirnya kami pun pulang. Lilis yang dibonceng Saleh lebih dulu melaju dengan Scoppy-nya, sedangkan aku dan Tia masih membayar makanan terlebih dahulu. (*)

 

El Rash, kelahiran Sumenep pada tanggal 05 April 1998. Merupakan salah satu mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah di salah satu kampus pesantren di Sumenep. Mulai mengenal dunia tulis-menulis sejak di bangku sekolah dasar, namun baru menekuninya sejak awal tahun 2018. Sebuah perjalanan pendek yang mengajarkan bahwa jangan pernah mengatakan tidak sebelum kita mencoba.

FB: Ach Faisol & El-Rash
IG: achfaisol01
WP: achfaisol
Email: achfaisol01@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita

Leave a Reply