Selembar Foto di Saku Kemeja Ayah
Oleh: Lily Rosella
Sudah setahun sejak kematian Ibu, Ayah terus saja duduk di sofa depan TV, menatap selembar foto yang selalu disimpannya di dalam saku kemeja. Pria yang sudah memasuki usia kepala empat dengan rambut beruban itu pasti sedang memandangi foto Ibu. Aku pernah lihat di kamarnya, tepatnya di dinding samping meja rias, ada sebuah bingkai foto berukuran agak besar. Itu foto Ibu yang mengenakan gaun berwarna kuning dengan motif totol-totol hitam.
“Apa Ayah ingin minum?” tanyaku.
Ayah nampaknya tak menghiraukan pertanyaanku. Ia selalu saja larut dalam lamunannya sepanjang hari. Jika tidak pergi bekerja, maka ia akan seharian berada di kamar atau menghabiskan waktu degan hanya duduk-duduk di sofa yang bagian bawahnya sobek.
Dengan tubuh yang tak bertenaga, setelah memasukkan kembali selembar foto tersebut ke dalam saku, Ayah berdiri dengan kedua tangannya bertumpu di pegangan sofa. Beranjak meninggalkan sofa dan mematikan lampu. Lantas pergi ke kamar Sekar. Ia lebih senang memerhatikan Sekar sejak kematian Ibu daripada aku. Bahkan jika aku bertanya padanya pun tak pernah ia menyahut. Tapi semuanya berbeda jika itu Sekar.
Aku menggeleng. Buat apa aku merasa iri pada adikku satu-satunya. Sekar masih berusia lima tahun, jadi wajar saja jika Ayah lebih memerhatikannya ketimbang diriku. Lagi pula aku sudah biasa menghabiskan waktu dengan beres-beres guna menggantikan tugas yang biasa dikerjakan Ibu—meski setelah pulang bekerja Ayah juga mengulangi pekerjaanku lagi—dan bermain dengan Sekar.
Napas yang terasa berat kuembuskan saat melihat dari balik pintu yang tak tertutup rapat kalau tangan Ayah yang sudah agak keriput tengah mengelus lembut kepala Sekar. Merapikan rambut-rambutnya yang terurai dan menutupi bagian matanya yang terpejam. Setelahnya Ayah keluar.
Ia menutup pintu. Tubuhku yang tingginya hanya sepundak Ayah membuatku mendongak untuk sekadar bisa menatap sekilas raut wajahnya yang sudah nampak lelah. Kesedihan telah mengambil seluruh keceriaan yang biasa ditunjukkannya dulu semasa Ibu masih berada di tengah-tengah kami. Kebahagiaan saat ia asyik berbincang dengan Ibu, Sekar, juga aku di ruang TV atau di teras.
“Apa kamu ingin bersekolah?” Aku masih dapat mendengar suara Ibu yang bertanya padaku sehari sebelum ia kecelakaan.
Aku menggeleng saat itu. Usiaku mungkin sudah sembilan tahun, tapi hidup di luar rasanya sangat mengganggu. Tak ada anak-anak yang bersedia bermain denganku. Jangankan menghabiskan waktunya untuk bermain bersama, berpura-pura untuk sekadar menganggap aku ada di dekat mereka saja, tidak. Mereka selalu asyik bermain dengan teman-teman sekelompoknya atau anak-anak yang lain. Sama seperti yang Ayah lakukan sebelum Sekar lahir atau setelah kepergian Ibu. Ia juga tak menghiraukanku ketika kami hanya sedang duduk-duduk berdua.
“Apa aku boleh tidur dengan Ayah malam ini?” tanyaku memberanikan diri.
Ayah berjalan melewatiku tanpa menjawab pertanyaanku. Berjalan pelan menuju kamarnya. Tangannya yang tadi sedang membuka pintu terhenti sejenak, pandangannya diedarkan ke seluruh ruangan beberapa detik. Kepalanya menunduk seolah ia sedang memerhatikan sendal jepitnya yang agak dekil dan tersenyum sekilas. Mungkin itu adalah jawaban kalau Ayah mengizinkanku untuk tidur bersamanya malam ini. Ia pasti malu hanya untuk menjawab, iya atau boleh.
Ayah menutup pintu kamar tak lama setelah aku masuk lebih dahulu. Merebahkan diri di ranjang dan kembali mengeluarkan selembar foto yang tak pernah lupa ia bawa-bawa ke mana pun, tersimpan di saku kemejanya.
Aku tidur di samping Ayah, mengintip sekilas foto yang selalu dipandanginya setiap waktu. Di sana, ada foto Ayah, Ibu, juga Sekar. Hanya mereka bertiga tanpaku. Entah apa aku yang sedang mengambil gambar, atau mungkin aku sedang tidak berada di sana waktu mereka berfoto. Aku membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu, memejamkan mata dan berusaha menikmati malamku bersama Ayah, sampai akhirnya kalimat yang Ayah ucapkan sebelum ia meletakkan foto itu di meja samping ranjang membuatku terbelalak.
“Aku akan menjaga baik-baik anak semata wayang kita,” begitu katanya. (*)
Lily Rosella, gadis berdarah Sunda – Betawi yang kerap disapa Lily ini lahir dan besar di Jakarta. Penyuka dongeng dan cerita bergenre fantasi. Ia juga menyukai warna-warna pastel.
FB: Aila Calestyn / Lily Rosella
Email: Lyaakina@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita