Selamat Tidur, Manis
Oleh: Yuliawanti Dewi
Kenapa aku ada di sini?
Kanna tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Seingatnya, ia berangkat ke sekolah seperti biasa menggunakan jalan raya. Ia bahkan mengingat pagi tadi sempat bertemu dengan dua perempuan pincang teman satu sekolahnya di pertigaan jalan. Tapi, kenapa sekarang ia ada di sini? Di sebuah pemakaman umum yang terkenal angker karena—katanya—memiliki tangga yang akan membawa siapa saja orang yang menapakinya kepada kematian.
Semula, Kanna hanya menganggap hal tersebut mitos. Ia tidak percaya kepada hal-hal mistis yang tak masuk akal. Kanna adalah seseorang yang logis. Ia tak percaya kepada apa pun sebelum ia membuktikannya sendiri. Sekarang dirinya ada di sini. Sebuah tempat yang selalu hangat dalam perbincangan kawan-kawannya. Apakah ini karma? Atau ada seseorang yang menjebaknya dan mencoba menakutinya?
Kanna berjalan menyusuri jalan tanah yang basah efek hujan subuh tadi. Sepatu putihnya ternodai oleh tanah kuburan yang becek. Sesekali hidungnya menangkap wangi bunga khas kuburan. Semakin dalam ia memasuki area pemakaman, wangi itu semakin menyengat. Tiba-tiba ia berhenti di dekat sebuah makam tua. Makam dengan ukuran besar itu terletak tepat di pinggir tangga, sendirian. Kanna terdiam beberapa saat. Nama almarhum telah pudar sehingga ia tak mengetahui makam siapa itu. Namun, Kanna yakin, pemilik makam itu pasti kesepian. Ia tak seperti makam lainnya yang berdampingan antara makam satu dan lainnya. Dari makam ini, ia seolah melihat dirinya sendiri. Yah, seperti makam ini. Kanna hidup seorang diri. Ia tidak mempunyai teman. Ia kesepian.
“Neng, jangan diam di sana.”
Kanna tersentak kaget. Ia membalikkan badannya secara spontan, seorang lelaki tua dengan pakaian lusuh berdiri di belakangnya. Wajahnya pucat namun matanya seakan mengeluarkan api amarah kepada Kanna. Hal tersebut membuat Kanna tak mampu bercakap. Seluruh tubuhnya menjadi kaku.
Ada apa dengan tubuhku?
“Pergilah!”
Suara serak itu membuat Kanna tak mampu berpikir panjang. Ia berlari sekuat tenaga menaiki anak tangga satu per satu. Seluruh tubuhnya bergetar ketakutan. Kanna merasa seseorang tengah mengawasinya. Kanna terus berlar, tanpa ia sadari ia menubruk batu besar di depannya dan ia jatuh tersungkur.
Lututnya berdarah. Air matanya perlahan mengalir menandakan ia begitu lemah. Kanna ingin berteriak. Namun, entah kenapa suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Ia bersikeras bahwa ini adalah mimpi! Kejadian mengerikan seperti ini, tentunya tidak akan terjadi di dunia nyata. Ucapan anak-anak di sekolahnya pasti hanya mitos. Kanna tak mudah termakan gossip, ia bukan orang seperti itu. Kanna berusaha bangkit dan melanjutkan perjalannya. Ia harus segera ke sekolah. Pasti di ujung sana jalan keluarnya, Kanna yakin itu!
Greep!
Seseorang dari belakang memegang pundak Kanna bersamaan dengan munculnya wangi bunga tadi. Bunga khas kuburan, kamboja. Kanna menelan ludahnya sendiri. Tangan itu begitu dingin sampai membuat jantung Kanna seakan berhenti berdetak. Kanna tak ingin menoleh. Ketakutannya kini telah berada di puncak. Kanna memejamkan mata meminta pertolongan Tuhan. Ia berdoa bahwa semuanya hanya mimpi. Hanya mimpi!
“Kamu baik-baik saja?” suara lembut seorang gadis di belakangnya membuat Kanna semakin membeku. Gadis itu melepaskan tangannya dari bahu Kanna, kemudian terdengar langkah kaki yang agak aneh. Kini, ia telah berada tepat di hadapan Kanna. Gadis berwajah pucat dengan senyuman aneh. Gadis itu, kan …?
***
Aku sudah lama mengamatinya. Gadis berrambut coklat dengan wajah datar. Tak pernah kulihat ia mengobrol dengan sesama teman wanitanya. Gadis itu juga seakan menutup kupingnya dari gosip-gosip yang beredar. Menarik sekali, bukan? Aku menyukainya. Dia manis. Aku ingin menjadi temannya. Tapi, bagaimana caranya? Setiap hari, kami selalu bertemu di pertigaan jalan. Aku sengaja menunggunya di sana. Berpura-pura menjadi murid sekolah bersama kakakku. Demi melihat wajah manisnya. Aku sungguh-sungguh ingin menjadikannya teman. Sebab hanya dia yang bisa melihatku.
Hari ini aku sengaja membawa ia ke tempatku. Kurasa ia tak menyadarinya. Baguslah. Rencanaku berjalan lancar. Ia sudah berada di tempatku. Aku senang sekali. Kulihat ia mengamati sekitar, sepertinya ia sudah tersadar. Hihi, permainan semakin menyenangkan. Lihatlah! Ia berjalan ke arah peristirahatanku. Ah, mau apa dia? Ternyata hanya menatapnya saja. Atau ia merasakan kesepian yang kualami? Luar biasa. Gadis itu begitu romantis.
Ups! Kenapa ia berlari? Apakah ia ketakutan melihat Kakek yang tiba-tiba datang di belakangnya? Hihihi, lucu sekali. Lihatlah ekspresi ketakutan serta peluh yang membasahi lehernya. Manis sekali. Tapi, ah! Ia terjatuh! Aku harus menolongnya.
Aku menyentuh pundaknya dengan ragu. Kenapa ia tak bergerak? Aku bingung. Mungkin aku berbicara di depannya saja. Aku berjalan dengan tertatih. Ya, kaki kananku hilang ketika kecelakaan 10 tahun lalu. Jadi, aku mesti berjalan menggunakan penyangga ini. Merepotkan sebenarnya, tapi bagaimana lagi?
“Kamu baik-baik saja?” tanyaku berusaha sebaik mungkin terlihat lembut. Loh? Ada apa dengannya? Kenapa ia memasang ekspresi seperti itu?
***
Gadis itu … Ah!
“A-aku baik-baik saja,” ucapnya gugup.
Gadis itu masih tersenyum. Kemudian ia membalikan badannya.
“Ikutlah aku. Akan aku tunjukkan jalan menuju sekolah.”
“S-sungguh?” Kanna merasa harapannya kembali datang. Ia sangat bersyukur. Ternyata gadis itu tak seperti yang Kanna bayangkan sesungguhnya.
Gadis itu mengangguk dan mulai berjalan. Kanna berjalan mengikutinya. Sepanjang perjalanan ia hanya membisu. Kanna ingin bertanya siapa nama gadis tersebut. Namun, ia merasakan aura dingin di sekelilingnya. Bulu kuduknya berdiri. Lagi, ia merasa seseorang tengah mengawasinya.
“Namaku Nila.”
Seolah dapat membaca pikiran Kanna. Gadis itu berkata dengan lantangnya. Hal tersebut membuat Kanna kaget, tapi ia mencoba bersikap biasa. Kanna mengangguk tanpa mengerti. Gadis ini sungguh aneh, pikirnya. Samar-samar terdengar alunan lagu dari si gadis tersebut. Lagunya tak begitu jelas, namun nadanya begitu menyedihkan. Suasana pun berubah mencekam. Burung-burung bangkai seketika menari di cakrawala sana.
Firasatku mengatakan hal buruk akan terjadi.
“Sudah sampai,” ucapnya tanpa memandang Kanna.
“A-apa maksudmu?” Kanna bingung. Katanya, gadis itu akan menunjukan jalan menuju sekolah. Tapi, kenapa ia berkata seperti itu di depan sebuah jurang yang gelap.
“Sekolahnya ada dibawah sana,”
Deg!
“Cepatlah pergi! Atau mau aku antar? Hihihihi,”
Firasat Kanna ternyata benar. Gadis ini memang aneh. Kanna berusaha untuk kabur. Namun terlambat, gadis itu sudah memegang lengan Kanna dengan kuat.
“Kamu sepertinya lelah, mau tidur dulu? Aku akan menyanyikan lagu selamat tidur untukmu,”
Siapa sebenarnya dia?
Gadis itu berubah aneh. Ia tak lagi menapaki tanah. Tubuhnya melayang. Perlahan-lahan wajahnya berubah menjadi mengerikan. Matanya merah melotot, wajahnya dipenuhi darah segar. Tiba-tiba taring muncul dari mulutnya sampai ke dagu. Air liurnya berjatuhan tanpa henti. Menjijikkan!
“Lepaskan aku! Siapa kau sebenarnya!” teriak Kanna sekuat tenaga. Ia sungguh ketakutan.
Gadis itu tertawa melengking. Ia menarik paksa Kanna menuju jurang yang tak diketahui kedalamannya. Kanna mencoba berontak. Tapi, gadis itu mencengkeramnya dengan kuat.
Tolong! Tolong aku! Aaaaa…
Sunyi. Semua kembali sunyi. Gadis itu tertawa puas. Akhirnya ia menjadi milikku, batinnya. Gadis itu berhenti di depan jurang. Ia tersenyum penuh kepuasan.
Sudah lama aku menunggumu. Akhirnya kau datang juga.
Selamat tidur, Manis. Temani jasadku di bawah sana. Biar aku tak kesepian.(*)
Yuliawanti Dewi, gadis kelahiran Sumedang, 17 Agustus 1998. Saat ini sedang menimba ilmu di salah satu Universitas yang berada di Bandung. Ia bisa dihubungi via akun: Facebook: Yuliawanti Dewi dan IG:@yuliawanti Dewi. Jangan lupa kunjungi akun sweeknya dengan username: yuliawantidewi
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita