Sekotak Kenangan dan Siluet yang Berkibar-kibar

Sekotak Kenangan dan Siluet yang Berkibar-kibar

Sekotak Kenangan dan Siluet yang Berkibar-kibar
Oleh: Erlyna

Dingin.

Sore ini, kereta yang kunaiki memilih bercakap-cakap dengan kenangan. Suaranya yang putus-putus seperti sedang terisak menangisi masa lalu yang kini pecah dan gentayangan di langit.

Aku memejamkan mata sebentar, menggosok-gosokkan telapak tangan lalu menempelkannya ke pipi. Hangat, meski untuk sesaat.

Kulirik Ayah yang duduk di sampingku. Sejak pertama kali melangkahkan kaki ke stasiun hingga menaiki kereta, beliau tidak bicara sama sekali. Hanya matanya yang mengambil alih, menimpali pertanyaan yang sengaja kulempar ke arahnya untuk memecah keheningan.

Bagaimanapun juga, beliau sedang bersedih. Kesedihan yang teramat dalam itu seolah-olah sedang disembunyikan dariku dengan payah.

Namun, aku tidak peduli. Karena aku sendiri bahkan tidak cukup kuat menahan air mata yang terus berjatuhan tanpa permisi.

Aku takut dibilang cengeng, tapi aku benci sekali jika harus berpura-pura.

Kereta terus melaju membelah senja yang kali ini tidak terlihat menarik bagiku. Pikiranku hanya tertuju pada satu tempat yang ingin sekali segera kudatangi.

Tiba-tiba aroma mi instan rasa soto menampar kesadaranku yang sedang berdialog dengan kaca jendela. Aroma ini membawaku pada kenangan masa lalu, bertahun-tahun silam.

“Ayah, kenapa di sini gelap?”

“Ini tidak gelap, Nak. Namanya remang-remang. Karena di sini belum ada listrik, maka kita pakai lampu minyak. Meski tidak seterang saat di rumah, setidaknya masih bisa menerangi ruangan ini,” kata Ayah sambil membelai kepalaku.

Aku yang saat itu masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak mendongak dengan wajah polos. Memperhatikan cahaya kekuningan yang tergantung tepat di atas meja besar. Saat itu aku belum mengerti bahwa desa tempat tinggal Nenek adalah tempat terpencil yang miskin. Beda dengan di kota, kehidupan di tempat Nenek jauh tertinggal. Rumah berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah itu mempunyai tempat tersendiri di kepalaku, hingga kini.

“Ayo, makan!”

Tiba-tiba suara Bibi Mar, adik perempuan Ayah satu-satunya memecah lamunanku. Di atas meja terhidang semangkuk besar mi instan rasa soto.

Aku bersorak sambil bangkit dari pangkuan Ayah. Kulihat Paman dan saudara-saudara yang lain juga terlihat tidak sabar. Malam dingin di ujung desa yang berbatasan langsung dengan area persawahan di kanan kirinya itu telah menuliskan sepotong kisah.

Aku menikmati mi bagianku dengan lahap. Entah mengapa mi ini terasa enak meski terlalu matang. Sepertinya Bibi Mar tidak terbiasa menggunakan kayu bakar.

Sambil menggulung mi di hadapanku, kupandangi satu per satu orang-orang yang mengelilingi meja besar. Ramai sekali, mereka para orang dewasa yang sepertinya tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan, atau memang masalah hidup mereka sepelik itu.

Aku sangat menikmati masa-masa itu. Masa di mana semua saudara berkumpul menjelang hari raya. Saat kata dewasa bahkan belum terpikirkan akan menjadi bagian hidupku juga pada akhirnya. Aku tidak pernah berpikir bahwa masa-masa manis itu akan terasa sedikit pahit saat dikenang.

***

Srak!

Kusobek sebuah kardus dodol yang baru saja dibeli Ayah. Kupindahkan isinya ke dalam kantong plastik lalu memasukkannya ke dalam tas.

Sambil membuka kaca jendela bagian atas, aku menjulurkan tangan keluar. Meraih segenggam kenangan manis dari masa lalu yang sejak tadi menari-nari di udara dan memasukkannya ke dalam kardus bekas dodol tadi.

Aku tersenyum membayangkan sesuatu.

“Semoga Bibi Mar menyukai oleh-oleh yang kubawa ini.”

“Sedang apa kamu?” tanya Ayah tiba-tiba.

“Ah, aku hanya mengambil sekotak kenangan untuk Bibi,” balasku lirih.

“Kamu pikir, dia akan menyukainya?”

“Tentu saja!”

Aku mengangguk sambil tersenyum. Seorang perempuan sangat menyukai kenangan. Dalam momen-momen tertentu, mereka akan memutar kembali kenangan-kenangan itu. Meski terkadang dengan ditemani air mata.

Aku kembali mengintip ke luar jendela. Di sana kulihat sebuah siluet berkibar-kibar ditiup angin. Siluet sebuah tubuh yang begitu mirip dengan Bibi Mar yang tadi pagi berpulang. (*)

 

Purworejo, 23 April 2019

Erlyna, perempuan sederhana yang jatuh cinta pada dunia anak-anak. Suka menulis dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata