Sekotak Biskuit di Bangku Peron
Oleh : Nuke Soeprijono
Aku tergopoh-gopoh memasuki stasiun kereta, padahal area loket penjualan tiket tampak lengang. Sebab, memang bukan untuk itu alasan yang membuatku berjalan hingga setengah berlari. Tetapi aku sedang mengincar sekotak biskuit cokelat yang hanya tersedia di kontainer snack di ujung ruang area loket. Ia termasuk jajanan langka. Padahal harganya murah saja, aku cukup memasukkan tiga lembar uang lima ribuan ke dalam lubang pipih yang tersedia di bagian atas kontainer, lalu memencet tombol bergambar snack yang aku mau, kemudian … taraa! Keluarlah sekotak biskuit cokelat lezat yang aku idam-idamkan.
Bunyi berisik di bagian bawah kontainer menandakan biskuit cokelat yang aku pilih telah mendarat dengan selamat dan siap untuk aku bawa. Segera aku masukkan ia ke dalam tas rajut berwarna biru tua yang kujinjing dari rumah. Hm, kalian bisa membayangkan apa yang aku tuliskan ini, bukan?
Setelah berhasil mendapatkan biskuit cokelat itu, dengan langkah ringan aku membeli tiket kereta. Aku memilih jarak tempuh yang dekat saja, sebab hanya ingin menghabiskan suasana kota yang semakin redup ini dengan naik kereta.
Jika kalian mengira aku manusia iseng, ya … memang begitulah aku.
Aku membaca waktu kedatangan kereta pada tiket yang telah kubeli: 16.45. Itu berarti sepuluh menit lagi calon kereta yang akan aku tumpangi datang. Bagiku, itu waktu yang lumayan cukup untuk sekadar menaruh bokong di bangku peron. Sebenarnya aku sudah tak sabar untuk menikmati sensasi ruang memanjang yang suka bergoyang ke kiri ke kanan, terkadang ke atas-bawah dengan entakan yang cepat itu membawa tubuhku. Hei, aku bicara tentang gerbong kereta, ya!
Aku lalu mengedarkan pandangan ke area peron di depanku. Bangku peron rata-rata terisi dengan orang-orang yang asyik dengan gawai masing-masing. Begitu juga tepat di samping kananku, seorang pemuda berbalut kain jins belel dari pundak hingga mata kaki tengah menyumpal kedua daun telinganya dengan benda berwarna putih–dengan kabel warna senada yang menjuntai dan tersambung dengan bagian atas gawainya. Tampak sama saja dengan orang-orang yang lain. Hanya saja yang membedakan, bangku di sebelah pemuda itu kosong.
Baiklah, sebelum keretaku tiba, aku akan duduk di sebelahnya. Sepertinya tidak akan terjadi apa-apa.
Baru saja mengempaskan bokong di bangku, aku iseng melirik ke arah pemuda dengan daun telinga tersumpal benda putih itu. Astaga! Bagaimana bisa biskuit cokelat dalam tasku kini berada dalam genggamannya? Malah dengan santainya dia membuka bungkusnya, menjumput satu keping, kemudian memasukkan potongan renyah bersalut cokelat itu ke dalam mulut.
Dasar pemuda tak beradab!
Masih terus aku amati tingkahnya yang tanpa dosa itu. Sekeping biskuit lagi diambilnya dengan tangan kanan. Lalu sekeping lagi, lagi, dan lagi hingga genap lima keping biskuit cokelat berhasil dia lenyapkan. Sedangkan tangan kirinya tetap memegang gawai, entah apa yang dikerjakan sehingga jempolnya tak pernah berhenti bergerak.
Aku geram. Lalu aku rebut saja kotak biskuit itu dari genggamannya. Mataku berkilat marah! Mulutku mengerucut tajam tanpa mampu mengeluarkan suara. Dia sontak memandang wajahku. Tanpa bersuara pula, pemuda berbaju jins ini malah mengedikkan bahu, bahkan tersenyum! Dia tak acuh dan tak ada sepatah kata maaf pun keluar dari mulutnya yang kini belepotan remahan biskuit.
Menyebalkan!
Wajahku masih menegang ketika mendengar suara petugas stasiun yang mengabarkan bahwa kereta yang akan aku tumpangi segera tiba. Aku lega sekaligus kesal! Dengan mengentakkan kaki, aku tinggalkan bangku sambil membawa sisa biskuit cokelatku yang tinggal dua keping itu.
Keretaku datang. Segera aku naik setelah pintu terbuka dan sedikit berdesakan dengan orang lain. Sampai di atas, aku mencari-cari bangku dengan posisi yang nyaman. Sial! Lagi-lagi hanya tersisa satu, dan dari jendela di sebelahnya aku bisa melihat pemuda tak beradab tadi. Dengan terpaksa aku duduk sambil menghela napas kasar. Oh, Tuhan … aku hanya ingin sedikit tenang dan mencari sedikit udara segar dengan cara naik kereta. Kenapa Kau beri aku kejadian yang memuakkan seperti ini?
Aku lalu merogoh tasku untuk mengambil botol air minum. Meraba-raba isinya … dan, astaga! Aku menemukan biskuit cokelatku dalam keadaan utuh di dalam tas. Dengan perasaan menyesal segera aku melihat ke luar jendela, mencari pemuda yang (kuanggap) tak beradab itu yang ternyata sudah tidak berada di bangkunya.[*]
Tgr_7/01/21
Nuke Soeprijono. Alter ego yang baru belajar menulis.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata