Sekian Detik yang Bermakna Segalanya
Oleh:Dhilaziya
Aku datang. Sesuai janjiku, dan sesuai pintamu. Meski kau takkan pernah tahu, berapa kali harus kuganti baju hanya agar aku terlihat sempurna di matamu. Kau juga takkan pernah tahu betapa repot aku mengganti tatanan rambut, hanya agar aku terlihat menawan di hadapanmu. Pun, kau takkan pernah tahu susahnya menyamarkan jejak tangis di wajahku, hanya agar aku terlihat bahagia di hari besarmu.
Aku datang. Setelah seminggu lalu undangan pernikahanmu kuterima. Aku tidak gemetar pun menangis waktu itu, sungguh. Setidaknya demikian yang kuusahakan. Aku hanya menggenggam kertas itu amat erat. Aku tak mau Kinasih melihatku meraung saat membacanya. Kulakukan setelah sahabatku pulang, jika kau mau tahu.
Selanjutnya, dalam beberapa hari yang aku lupa hitungannya, aku berulang kali bertanya, pada diri sendiri tentu saja. Mengapa aku tidak mati? Aku heran mengapa sakit yang luar biasa ternyata tak sanggup membunuhku. Aku makan, tertawa, bekerja, dan sesekali masih menyiram bunga. Salah satunya bunga darimu. Mawar berduri besar tapi jarang, yang jika berbunga kelopaknya berwarna merah muda, bunga kesayanganku.
Aku datang. Untuk menyaksikanmu mengucap janji luar biasa sakral. Janji yang menggetarkan Arsy, janji yang disaksikan tak hanya oleh keluargamu dan aku beserta mereka yang kauundang, tapi juga malaikat yang kuyakini hadirnya meski tak bisa kulihat. Kususut air mata, mengetatkan jemari hingga memutih buku-bukunya, ketika melihatmu berpeluk tangis dalam rengkuh abangmu. Tidak akan kunodai hari bahagiamu, aku janji.
Aku datang. Ikut berdiri dalam antrian panjang tamu undangan yang hendak memberimu ucapan selamat. Berdiri rapat di belakang Kinasih, yang tak henti-hentinya menoleh padaku dan berkata, “Kuat, ojo nangis.”
Tidak pernah kujawab peringatan dari Kinasih. Tak perlu aku rasa. Tanpa disuruh pun aku pasti melakukannya. Lagi pula Kinasih amat konyol, menyuruhku jangan menangis, padahal dia berulang kali tersedu di pundakku semenjak kami datang. Jika bukan karena perlengkapan rias yang tak pernah absen mengisi tasnya, mungkin wajahnya sudah tak layak lagi untuk menghadiri sebuah undangan.
Aku menatapmu, benar-benar menatapmu, lalu terkesiap. Tiba-tiba saja pandanganmu mengarah tepat padaku. Dan dunia seakan berhenti. Hanya gending tembang yang terdengar, pelan, lembut, dan magis.
Tatapanmu masih sama seperti sebelumnya, redup, lembut, hangat tapi mendebarkan. Aku benci pada pengkhianatan jantungku yang tiba-tiba saja berdetak jauh lebih cepat. Ini melanggar perintah. Aku mau dia tenang dan stabil, seperti penampilan yang coba kutampakkan.
Selama sekian detik, aku terjerembab ke masa silam. Masa awal mengenalmu di sebuah pusaran bencana. Kau bersama teman-temanmu mencari siapa saja yang terluka akibat banjir yang melanda kota. Dan aku bersama beberapa kawan menyodorkan apa saja yang bisa diserahkan pada mereka yang mengigil kelaparan semenjak malam. Hari itu kita berbincang begitu dekat, meski tak saling mengenalkan diri lebih dulu. Berbagi kabar, berbagi cemas, berbagi perhatian, dan berbagi harapan.
Selama sekian detik, aku terpelanting ke jurang masa lalu. Di mana telah kucoba lupa akan banyak hal. Saat kau tunjukkan foto puncak Merbabu berikut sebaris kalimat: suatu saat kita akan di sini berdua saja.
Kita sama-sama suka mendaki, dan membayangkan melakukannya hanya bersamamu, membuatku merona seharian itu. Atau saat kau mengantarku pulang di sebuah sore yang amat basah. Hujan deras, dan aku memaksa pulang saat itu juga. Aku lupa membuka jendela, itu akan membuat Delia, kucingku, kesulitan memasuki rumah. Pesanmu saat berpamitan, meski hujan masih asik menyiram bumi, masih kuingat, jangan lupa juga membuka jendela hatiku. Untukmu, katamu. Aku nyaris tak tidur semalaman setelahnya.
Selama sekian detik, aku terhempas ke masa dua tahun waktu kita bersama. Kau dengan segala yang kaulakukan, relawan bencana, aktivis sosial, penggiat seni, dan semua hal pemupuk kagumku. Lalu aku dengan segala yang kaumudahkan: alat peraga kegiatan mendongeng, buku-buku lama yang kuidamkan tapi sulit kudapat, perjalanan-perjalanan panjang yang tak kauizinkan kulewatkan sendirian, juga malam-malam penuh drama saat aku disibukkan dengan pekerjaan, yang sebenarnya tak ada. Aku hanya meminta perhatian saja, entah kau tahu kebenarannya atau tidak.
Tidak ada janji namun kau sampaikan padaku bahwa akulah yang kauinginkan. Tidak ada ikatan namun kau tetapkan akulah pilihan. Tidak ada rayuan namun aku mabuk hanya oleh kerling matamu saja. Tidak ada apa-apa di antara kita, itu jawaban kita jika ada yang bertanya, namun semua tahu jika kita adalah sejoli. Kemudian doa-doa dilabuhkan untuk kita. Kita tersenyum dan tersipu, lalu menautkan pandang, diam.
Selama sekian detik aku terperosok pada sebuah titik. Di mana kau berkata akhirnya menyadari sesuatu, dan membenarkan kata mereka. Mereka yang bagimu mengingatkan, tapi bagiku menyesatkan. Tentang perbedaan, tentang ketidakpantasan, tentang harga diri, tentang masa depan, dan tentang seseorang yang dipilih kakakmu, untukmu. Dia yang sekarang menggamit lenganmu, yang baru saja resmi menjadi tanggung jawabmu, yang untuk seterusnya akan melengkapimu.
Selama sekian detik aku tenggelam di kedalaman telaga di wajahmu. Aku yakin yang kulihat adalah gelombang sesal untuk sakit yang kautahu aku rasakan. Aku percaya yang kusaksikan adalah ombak keharuanmu karena keberanianku datang. Aku tahu pasang yang menggenang di matamu, adalah rasa yang masih enggan sirna, serupa milikku. Mungkin dadamu sesakit dadaku sekarang.
Aku tercekat, dan kubaca gerak perlahan bibirmu berucap, maaf. Harus kuketatkan rahang agar air mataku tak jatuh. Betapa kuingin mendekat dan berkata, bahwa tak apa, bahwa aku baik-baik saja, juga bahwa doaku, kau akan bahagia, selamanya. Aku rela. (*)
Dhilaziya, perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.
Editor: Evamuzy
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.