Sekelumit Risau

Sekelumit Risau

Siang ini, matahari bersinar merah lagi. Jalan-jalan lalu-lalang yang biasa ramai, makin menyusut tiap harinya. Padang ilalang layu, seperti akan mati. Pohon-pohon taklah lagi sanggup menyedot gas karbon dan sampah udara, lalu dituntut untuk menguarkan oksigen. Sungai-sungai hampir habis airnya, seperti langit dan bumi sangat ingin menyengsarakan segala makhluk di dalamnya. Tempat ini macam kota mati yang merah, pengap, pekat dan sesak.

Darmasih menutup setengah muka dengan masker yang dia beli di pinggir jalan seharga lima ribuan. Dia terbatuk-batuk dan bersikeras untuk tetap bertahan di luar guna menunaikan tugas rumah tangga. Padahal dadanya sudah sesak, napas seakan menyuruk-nyuruk masuk ke paru-paru.

“Sudahlah, Mak, jemur dalam rumah saja … bau bakaran nanti baju kita.” Sutar—suaminya–mengoceh di depan pintu. Lelaki beruban jarang itu mengernyit.

“Aba yang hendak mengipas baju ni? Manalah ‘kan kering kalau tak dijemur di luar.” Tangan Darmasih masih memeras baju-baju dan menyangkutkan ke tali jemuran. Dia bersungut-sungut mendengar ocehan suaminya hampir setiap hari.

Sutar diam … tanda menyerah, tak lagi mau bertekak[1] dengan Darmasih tentang masalah yang selama ini istrinya urus. Dia hanya memberi saran, berulang kali dan selalu disangkal wanita yang sudah sembilan belas tahun hidup bersamanya.

“Pergilah berladang, Ba … mau makan apalagi kita kalau Aba tak kerja,” kata Sulis anak sulungnya.

“Diamlah kau, tak tahu apa pun tentang kerja. Apa kau mau Aba mati sesak gara-gara asap ni?”

Sulis diam, engganlah lagi baginya untuk melawan, kalau-kalau tak mau putus uang jajan. Lagi pula, ia juga wajib menakzimkan ultimatum orang tuanya jika tak mau dicap sebagai durhaka.

“Ba, seminggu lagi Sulis akan kuliah, cepatlah pergi berladang. Kalau boleh, jual saja buah yang sudah bisa dipanen. Kita butuh uang segera.”

“Itulah, kau. Kemarin kau yang sibuk minta beli lahan baru. Sekarang kita yang repot kekurangan uang.”

“Manalah aku saja yang memaksa, Aba juga mau. Lagi pula, uang itu akan selalu kurang kita rasa, tidak pernah cukup.”

Di rumah ini selalu ada nada panas yang keluar, terus hadir hal yang bikin pitam naik di tengah udara yang suhunya pun naik. Lagi dada yang makin sesak, ditambah jarak pandang kian minim dan gelap.

Sejak tiga minggu lalu, sejak kabut asap mulai mewabah ke wilayah-wilayah sekitar, hujan enggan mampir walau sekadar rintik-rintik. Tidak lagi kurang upaya pemerintah untuk menurunkan hujan. Pemilik wewenang negara itu bahkan telah ribuan kilo menabur garam di langit untuk mengumpan hujan. Tapi Allah tak berkehendak, hujan pun tak jadi.

“Bagaimana kerja pemerintah sebenarnya, nih? Sudah hampir sebulan api di hutan sana tak padam. Apa mereka tak tahu nasib yang diterima rakyatnya dalam sini? Eee … mati keringlah kita.” Sutar mengeluh, kerjanya hanya mengkritisi petinggi negara yang bahkan dia terlalu kolot untuk mengerti.

“Iya, parah pemerintah kini. Susah tanggap atau memang tak mau tanggap. Apa mau rakyatnya ada yang mati dulu baru mereka peduli?” pemilik warung kopi menimpali, “makin hari makin sepilah warungku. Tak ada lagi yang mau mampir ke sini selain kau … itu pun niat berutang. Matilah ekonomi kampung kita ini. Lancang kuning telah berganti merah.”

Sutar menyeringai. “Aku tak utang banyak, cuma untuk makan seminggu. Anak sulung aku akan berkuliah, jadi uang untuk seminggu ke depan aku kasih ke dia.”

“Kau ini, baru juga beli lahan, sudah pula mulai berutang. Jual sajalah ladangmu itu.”

“Ah … kau! Nanti kalau sudah ada hasil, kubayar utangku ditambah bunga masa tunggunya.”

“Masih lama itu, aku keburu bangkrut. Lahan saja belum kau garap.”

Sutar menyeringai lagi. “Tenanglah … tenang saja dulu.”

***

Darmasih sesak di dadanya. Sudah dua hari dia hampir mati tak bisa menghirup udara segar. Padahal setiap salat, perempuan ini selalu berdoa agar diberikan kesehatan dan segera diturunkan hujan untuk wilayahnya. Namun kenyataan, tak ada satu pun mintanya yang dikabulkan.

“Ba … maaflah aku tak kuat lagi kerja macam kemarin. Aku tak bisa napas. Tolonglah maklumi.” Darmasih terkulai lemas di kasur.

“Iya, tenanglah, besok akan kucari tabung-tabung oksigen di kampung ini. Kalaupun tak ada, aku akan suruh Sulis cari, pasti di ibu kota ada yang jual.”

Darmasih mengangguk.

Padahal sudah sejak awal asap mengepung kampung, mereka mengurangi aktivitas. Rumah selalu tertutup rapat, tak pernah pergi ke rumah tetangga sekadar untuk bercakap-cakap, kecuali memang ada hal penting yang mengharuskannya keluar dan itu pun selalu mengenakan masker. Namun tetap saja, tubuhnya kalah melawan virus yang menyerang.

Beberapa hari Darmasih terkulai dan sesekali menghirup tabung oksigen yang dibeli dari kota, kini si bungsu Kevin batuk-batuk tak berhenti. Dada sesak katanya, juga susah bernapas. Jadilah mereka berdua bergantian menghirup oksigen dalam tabung. Sementara Sutar harus mengalah dan tetap menghirup udara penuh asap.

“Cepat sekali Aba pulang. Penat ya?” Kevin menyapa dalam baringnya, melihat Sutar masuk rumah.

“Jam berapa rupanya ini?”

“Baru jam empat. Masih lama maghribnya. Biasa Aba pulang hendak maghrib.”

“Pantas saja, waktu rasa cepat sangat, rupanya masih jam segini. Tapi langit nampak sangat gelap dan tak ada orang lagi di ladang, makanya Aba cepat pulang.” Tangannya menggantungkan caping ke belakang pintu, “bagaimana keadaanmu?”

“Masih sesak, Ba,” jawabnya. Mukanya ditekuk lagi.

“Cepat sembuh, ya. Kasihan Aba sendirian sekarang. Tak ada lagi Kevin yang selalu buat tertawa di rumah ini. Kakakmu sudah jauh, Mamak juga sakit. Kau cepatlah sembuh, ya.”

“Ba … siapalah yang tega bakar hutan ni? Sungguh kejam orang-orang itu bakar pohon-pohon itu,” katanya merenung, “padahal kata guru di sekolah, kita tak boleh tebang hutan, apalagi sampai bakar hutan … nanti bumi kita terbakar macam di neraka,” anak yang sudah lima tahun memakai seragam putih-merah itu menjelaskan.

Sutar mengernyit, “Iya, Nak, siapalah yang jahat ni? Lagi pun, pemerintah memang lamban menanggapi.”

“Bukan, Ba … bukan pemerintah yang tak peduli, tapi api memang susah padam. Begitu kata berita di televisi.” Kevin mendeham, “kalau Kevin jadi polisi nanti, Kevin ingin sekali menangkapi mereka … terus suruh mereka tanam pohon banyak-banyak biar mengganti pohon-pohon yang sudah terbakar.”

Percakapan mereka terus hingga sebuah panggilan menderingkan ponsel Sutar.

“Ba…,” panggil sebuah suara dari ujung telepon. Suara seorang gadis yang tersengal dan terbatuk-batuk.

“Ada apa, Sulis?”

“Sulis rasa sesaklah, bagaimana ini? Susah kali bernapas.”

“Aduh, Nak … sabarlah, kau diam saja di kamar dan jangan keluar. Kalau mau keluar, pakai masker yang sudah dibasahi.”

“Sulis ingin pulang, Ba. Tak enak sakit di kota orang.”

“Di sana sajalah kau dulu, Sulis. Aba juga sedang menabung untuk biaya kau dan untuk makan kami sehari-hari.”

Sutar menutup telepon … ia risau, rasanya bencana seperti menimpa tubuh hingga rasa dililit belenggu. Lelaki gembul itu merasa bahwa ini semua salah pemerintah yang lamban menangkap sinyal dan memberi bantuan. Jika saja mereka lebih tanggap, pastilah api-api di hutan sana sudah padam.

“Jual sajalah ladang yang kemarin kita beli, Ba. Susah kali pun hidup kita sejak beli ladang itu. Atau ini murka Allah, sebab sewaktu kita beli, kita menekan harga?” Napas Darmasih masih tersengal.

“Eee … kau ni, suuzan saja. Mana ada yang mau beli ladang di musim macam ini. Ekonomi kampung macam tak berjalan. Lagi pula lahan itu sudah bisa kita tanami kalau ada modal nanti.”

“Aba garap sendiri lahan itu? Cepat sekali. Kalau suruh orang pun aku tak yakin, kita tak punya uang banyak waktu itu.”

“Kau tenang sajalah. Habis asap ini kita mengumpulkan uang untuk membeli bibit sawit dan biaya penanaman sekaligus perawatan.”

***

Sebulan lalu…

“Bagaimana caraku membuka lahan ini dengan biaya yang cuma segini? Kau pun suruh cepat?” tanya seorang pekerja yang sering diminta membuka lahan.

“Pandai-pandai kau sajalah. Kalau tak bisa dibabat manual, bakar saja!” Sutar melempar puntung rokoknya di ilalang kering pinggir ladang.

Asap mulai menyeruak, cahaya kemerahan keluar dari rumput-rumput kering.(*)

[1] Bertengkar

Essy Febrianti, lahir pada tanggal 8 Februari. Gadis peranakan Jawa yang tinggal dan berkembang di Riau. Sulung dari tiga bersaudara dan satu-satunya gadis di antara kedua adiknya. Penyuka film dan cerita horror meskipun sedikit penakut.

Penulis bisa dihubungi via email: essyfebri@gmail.com atau facebook: Essy Febrianti.

Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu pertama Februari.

Selebihnya tentang KCLK, gabung di grup kami:

Halaman FB kami
Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan

Leave a Reply