Sekelebat Angin yang Kutangkap di Kamarku
Oleh : Imas Hanifah N.
Ia hanyalah sekelebat angin yang kujebak. Sekelebat angin yang dengan jahatnya, kutangkap ketika masuk lewat celah jendela. Celahnya tipis sekali, tapi tentu saja yang namanya angin bisa dengan mudah masuk. Dan mudah keluar lagi? Tidak. Haha.
Aku menangkapnya dengan tanganku sendiri. Aku benar-benar menangkapnya. Kalau kalian tidak percaya, ya, sudah. Tidak perlu membaca ini sampai habis. Aku tidak akan rugi.
Kumasukkan angin itu ke dalam toples. Angin itu menari-nari di sana. Maksudku, aku melihatnya seperti tengah menari ke sana kemari. Padahal, mungkin ia tengah berupaya keras untuk keluar.
Toples itu sangat tertutup. Aku juga memasukkannya dengan sangat hati-hati. Intinya, angin itu sudah masuk. Dan terlihat ingin mencari jalan keluar.
Aku menikmatinya. Sepertinya angin itu sangat tersiksa. Keadaannya memprihatinkan. Aku jadi ingat diriku sendiri.
***
Satu jam setengah, mataku masih memerhatikan tingkah si angin. Angin yang malang dan dipenuhi kesedihan. Ia tidak akan pernah bisa bergabung dengan angin lainnya. Ia tidak bisa bermain dengan hujan, petir, atau daun-daun lagi. Kehidupannya sudah hancur, sudah tamat.
Aku berpikir tentang apa yang teman-teman angin ini pikirkan. Apa mereka cemas? Apa mereka sedang berupaya mencarinya? Atau justru tidak peduli sama sekali? Ya, bisa saja teman-teman si angin ini masa bodoh dengan nasib si angin.
Mereka mungkin hanya memuji si angin. Padahal mungkin aslinya mereka mencibir dan membicarakan si angin di belakang.
Bisa saja teman-teman si angin ini bukan teman yang sebenarnya. Munafik.
Kamar ini pengap. Jendela selalu tertutup dan celah tipis yang membuat angin bisa masuk adalah karena jendela itu sudah mulai rusak. Mungkin akan jadi sangat rusak. Sama sepertiku.
Dulu, dulu sekali aku sering berkeinginan untuk memecahkan kaca jendela itu. Kaca jendela yang buram dan penuh dengan titik-titik bekas percikan air hujan. Kotor.
Beberapa saat setelah aku mulai melamunkan masa lalu, aku mendengar suara langkah kaki. Langkah-langkah yang kubenci.
Selalu, langkah itu mondar-mandir. Pagi, siang, malam, seringkali diselingi riuh tawa atau obrolan yang hangat. Bisa juga obrolan santai.
Kamar ini terlalu hening, sehingga aku bisa dengan mudah mendengar semuanya. Aku bahkan selalu berusaha keras agar bisa mendengar semuanya lebih jelas lagi.
Aku pernah begitu merindukan obrolan, sederet aktivitas, cita dan cinta yang ingin diraih, dan sebagainya. Akan tetapi, semua itu harus punah. Punah tanpa aku sadari kapan dan kenapa.
Aku kehilangan diriku sendiri. Setiap hari.
Ada bisik-bisik di luar kamarku. Aku menajamkan telinga, berharap dapat mendengar beberapa kata.
“Ini, ini kamarnya. Gelap, kan? Kasihan juga, sih. Tapi ya, kalo dilepas, bisa gawat.”
“Umurnya berapa, sih? Masih muda kan, ya?”
“Hussss! Jangan gosip di sini, tuh toiletnya! Kalian ini, ntar yang punya rumah tahu, kan. Bisa gawat. Gak enak nantinya.”
Bisik-bisik itu pun selesai. Suara langkah kaki terdengar menuju ke toilet.
Aku merindukan toilet rumah. Toilet di kamarku pengap, gelap. Aku nyaris tak pernah melihat cahaya matahari, kecuali jika sore, cahaya yang masuk lewat celah tipis jendela yang rusak. Sedikit, tapi setidaknya bisa memberikan secuil hiburan.
Aku lelah. Lelah, bahkan ketika tidak ada yang bisa kulakukan. Lelah dalam pikiran, lelah sekali.
Keinginan untuk menghancurkan semua yang ada di depanku, sekarang sudah tidak ada lagi. Aku sudah tenang, tapi tetap saja, mereka tidak akan percaya padaku. Mungkin, tidak akan pernah percaya padaku lagi.
Suara pintu terbuka, membuatku kembali tersadar.
“Kak, ini makanannya,” ujar seseorang sambil meletakkan piring beserta lauk dan minuman di dekat pintu.
Suara itu, aku amat mengenalnya. Sudah umur berapa dirimu, Dek? Sepuluh? Dua belas? Aku tidak ingat.
Pintu tidak terbuka sepenuhnya, tapi bocah itu, hari ini berani masuk ke dalam. Ia melihatku. Aku tersenyum, dan ia membalas senyumanku.
Aku melihat dahinya, ada bekas luka di sana. Saat aku mengingat siapa dan apa penyebab luka itu, aku menangis.
Bocah lelaki itu ketakutan dan bergegas menutup pintu.
Aku melirik ke arah toples. Tidak ada si angin di sana. Mungkin sudah pergi. Selalu, ia pergi diam-diam. Meninggalkan aku yang hitam, dibalut jutaan penyesalan. (*)
Tasikmalaya, 2020
Imas Hanifah Nurhasanah. Bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Lahir di Tasikmalaya, 24 Desember 1996. Penyuka jus alpukat ini, bisa dihubungi via akun facebooknya: Imas Hanifah atau akun IG: @hanifah_bidam. Baginya, menulis dan membaca adalah sebuah kebutuhan.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata