Sekelas Gupi (Terbaik ke-11 TL16)

Sekelas Gupi (Terbaik ke-11 TL16)

Sekelas Gupi
Oleh : Tri Wahyu Utami
Terbaik ke-11 TL16

 

Pasar semakin ramai. Selain pengunjung yang berdatangan untuk membeli sesuatu, ternyata toko-toko mulai menjamur di sana-sini. Pedagang-pedagang baru bermunculan, dan sebagian besar dari mereka menjual barang-barang bagus. Aku tahu ini sudah lewat dari waktu yang kujanjikan kepada Dani—aku bilang padanya akan segera pulang begitu mendapatkan dua ikat bayam, sepotong tempe seharga lima ribu rupiah, beberapa biji tomat, seplastik cabai kecil, terasi, dan sebungkus ikan asin kesukaannya—tapi aku rasa tidak masalah jika terlambat sedikit. Dani sedang sibuk memperbaiki pagar rumah kami yang rusak, jadi dia tidak akan meributkan hal lain yang akan membuat pekerjaannya semakin lama terselesaikan. Aku sudah hafal betul itu. Jadi kenapa tidak kalau ingin mencuci mata? Lagi pula jarang-jarang ada kesempatan seperti ini, karena biasanya aku belanja bahan makanan ke tukang sayur keliling langgananku. Hari ini dia libur berjualan. Makanya Dani mengizinkanku pergi ke pasar, dan sampailah aku di sini sekarang.

Tanpa berlama-lama lagi aku langsung memasuki toko pakaian yang penjualnya terus menyapa para pengunjung. Setiap kali ada yang lewat di depannya, dengan cekatan dia akan menawarkan dagangannya. Meminta pengunjung itu untuk melihat-lihat ke dalam toko, lantas membujuknya agar membeli sesuatu. Tak terkecuali aku.

“Silakan Mbak, dilihat-dilihat dulu. Kalau mencari blus ada di sebelah sana. Mau yang modelnya seperti apa?” cerocosnya dengan suara cempreng, tapi entah bagaimana terdengar merdu di telingaku. Sehingga bisa betah berada di dekatnya. Sepertinya dia mengerti betul seleraku. Beberapa kali dia memperlihatkan baju dengan model terbaru dan warna yang cantik.

“Yang ini bagus, tapi ada tidak yang hijau toska?” tanyaku sambil mencantolkan kembali sebuah blus merah ke tempat asalnya.

“Oh, sepertinya ada. Sebentar ya, Mbak, saya carikan dulu.”

Aku mengangguk, sebentar kemudian wanita itu kembali dengan membawa baju yang kuinginkan.

Sempurna! Ukuran baju itu pas sekali di tubuhku. Warnanya juga membuat kulitku semakin terlihat cerah. Tapi ada sedikit masalah. Di sakuku hanya ada selembar uang sepuluh ribuan yang agak lecek dan berbau ikan asin.

Aku memang tidak berniat membeli apa pun di toko ini, dan ingin melihat-lihat saja. Aku juga tahu kalau aku tidak akan membawa pulang baju atau yang lainnya, yang harganya mahal. Kesadaran yang akhirnya membuatku ingin segera pergi, sebelum dada kian sesak akibat ulah sendiri. Karena rasanya ingin sekali membawa kabur baju itu.

Namun sebelum melenggang keluar toko, aku harus mengembalikan baju itu terlebih dahulu bukan? Tentu saja dengan cara yang wajar dan tidak akan menimbulkan cacian dalam bentuk apa pun. Sampai kemudian, inilah yang terjadi ….

“Mahal sekali. Apa tidak bisa kurang?” tawarku berpura-pura ingin membelinya.

“Tidak bisa, itu sudah pas. Jadi jangan ditawar lagi,” ucap wanita itu. Kali ini suaranya benar-benar terdengar cempreng. Apalagi setelah melemparkan senyum sinis kepadaku. Kalau saja tidak ingat dengan isi sakuku yang amis ini, pasti sudah kucincang habis dia. Sepertinya dia lupa kalau pembeli adalah raja. Atau jangan-jangan batinnya sudah terlatih dengan baik, sehingga dia bisa membedakan mana yang calon pembeli sungguhan dan mana yang bukan. Barangkali itu juga yang menyebabkan dia berhenti bicara, lalu ganti melayani pengunjung lain. Yang berdompet tebal dan tidak bersandal jepit sepertiku.

***

Sebagai hiburan dan pengganti televisi yang sudah mirip barang rongsokan, Dani memberiku sebelas ekor ikan gupi yang didapatnya dari seorang teman. Ikan-ikan itu kami masukkan ke dalam stoples kaca yang tutupnya kami lepas. Jadi kapan pun ingin memberi mereka makan, aku tinggal menaburkan pakan ikan yang berbentuk bulatan-bulatan kecil, sangat kecil, dan berwarna-warni dari atas stoples. Lalu kesebelas ekor ikan itu akan berkeriap, memakan pakan sampai habis.

Kadang melihat mereka yang sedang berenang pelan, aku suka membayangkan bagaimana bosannya para gupi sebab sehari-hari berada di dalam stoples. Andai saja mereka bisa bicara mungkin mereka akan kesal, lantas memarahiku, juga Dani, karena hanya mampu menyediakan tempat tinggal yang sempit. Dengan air yang cepat keruh, dipenuhi kotoran-kotoran mereka yang menumpuk di dasar stoples dan tidak memiliki filter dan sirkulator, layaknya akuarium di rumah tetangga kami yang seorang pengusaha kue.

Harga akuarium lumayan mahal. Lebih mahal dari baju yang pernah kutawar di pasar. Jadi tidak mungkin kami membelinya, apalagi hanya untuk memelihara ikan gupi. Akuarium yang bagus dan cantik sudah selayaknya untuk ikan hias yang cantik pula. Begitu kata Dani tempo hari. Sekali lagi, seandainya ikan-ikan ini bisa bicara dan mendengar sekaligus mengerti apa yang Dani katakan, mereka pasti akan marah. Karena hanya bisa marah, tak bisa melawan atau kabur ke tempat lain, mereka jadi stres. Lalu tak mau makan, kemudian mati mengambang. Setelah itu aku tak punya hiburan apa-apa lagi di rumah. Sehingga sepanjang waktu segala hal akan berjalan dengan sangat membosankan. Kalau sudah bosan, hal-hal tak mengenakkan jadi sering muncul.

Seperti dulu, pada bulan-bulan pertama menjalani biduk rumah tangga dengannya, tepatnya ketika aku hendak menghibur Dani yang sedang murung di halaman belakang rumah. Entah apa yang dia risaukan, sampai terus-terusan mengacak rambutnya. Dia pasti sedang pusing karena memikirkan sesuatu. Jadi kupikir dengan membicarakan hal yang seru dan mengasyikkan, suasana hatinya akan membaik. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Waktu itu Mia, adikku, mengirimi foto tempat wisata terbaru di kota kami. Karena sedang promo sebab baru dibuka untuk umum, Ayah, Ibu, dan Mia berencana mengajak aku dan Dani berkunjung ke sana. Sudah lama kami berdua tidak bepergian ke tempat wisata seperti itu, jadi aku bersemangat sekali untuk ikut. Lantas bergegas memberi tahu Dani soal ini. Tapi, belum juga tuntas apa yang ingin kusampaikan, dia keburu berdiri dengan sebelah tangan yang mengayun keras ke samping. Tepat ke arahku yang sedang menyodorkan telepon genggam kepadanya. Kami bersitatap dengan mulut yang terkunci rapat, lalu cepat-cepat aku memungut telepon genggam yang terjatuh di selokan. Sementara aku sibuk menyelamatkan benda berharga miliknya, Dani masuk ke kamar begitu saja. Sejak itu aku mengerti kalau di antara kami masih ada jarak, dan sejak itu pula tak pernah lagi kuperlihatkan impian-impian mahal kepadanya.

***

“Ibu tidak mau tahu, pokoknya simpan saja uang ini. Nanti kalau tinggal sedikit, kamu bilang ya biar Ibu kasih lagi,” paksa Ibu di suatu siang saat kami bertemu.

Selama ini sudah sering kutolak bantuan Ibu, karena tak ingin menyakiti Dani. Sebetulnya, dari awal memutuskan menikah dengannya, aku sudah tahu kalau aku akan menjalani hidup yang susah. Tapi tak pernah kubayangkan kalau akan sesesak ini. Kesedihanku pun bertambah saat Ibu bilang kalau aku kurusan. Lantas menyangkutpautkannya dengan “apakah aku bahagia hidup bersama Dani?”. Untungnya obrolan seputar badanku yang kian kurus tak berlangsung lama dan berganti dengan pertanyaan lain dari mulut Ibu, “Jadi kalian berdua pergi ke mana waktu itu?”

“Alun-alun,” sahutku cepat, “kalau malam kan, alun-alunnya bagus. Kebetulan sedang ada konser besar di sana. Ibu pasti sudah tahu, kan?”

“Oh, konser itu. Iya, Ibu sudah dengar dari Mia.”

Aku tersenyum lega. Rupanya Ibu tidak curiga dengan kebohonganku barusan. Alasan yang kukarang demi menolak rencananya yang ingin mengajakku berkunjung ke tempat wisata.

Sepulangnya dari rumah Ayah dan Ibu, aku langsung beristirahat di kamar. Tapi sulit sekali memejamkan mata. Sebab perkataan Ibu dan Mia masih berputar-putar di kepala. Mereka ingin aku bahagia dan tak sekurus sekarang.

Sebagai seorang anak dan kakak yang sudah lama tinggal bersama mereka semua, tentu aku bisa mengerti dengan maksud ucapan keduanya. Bagi mereka, bahagia adalah ketika melihatku tampil cantik. Dan untuk menjadi cantik, maka aku harus berpakaian yang bagus. Memakai tas, sepatu, dan perhiasan yang bagus juga. Jadi segera saja kuambil tas yang sudah tergeletak rapi di dalam lemari. Mengeluarkannya, lalu mengambil uang yang tadi Ibu beri.

Aku tahu Dani takkan menyukainya. Ketimbang menganggap uang pemberian Ibu sebagai rezeki kami berdua, dia lebih percaya kalau itu adalah imbas ketidakmampuannya memberiku nafkah. Maka, supaya tidak terjadi lagi pertengkaran di antara kami, aku akan menggunakan uang ini secara sembunyi-sembunyi. Beragam rencana pun langsung terlintas di kepala. Pertama-tama aku akan membeli blus hijau toska yang penjualnya bersuara cempreng itu. Kemudian sepatu rajutan dengan merek ternama yang sedang diskon, dan sedikit perlengkapan make up.

Membayangkan semua itu aku jadi merasa senang. Bahkan nyaris berteriak kalau saja tak menyadari kemunculan Dani yang tampak bingung. Ternyata dia sedang mencari tang miliknya.

“Sepertinya aku taruh di sini kemarin. Apa kamu melihatnya?” tanyanya dengan suara cemas.

Dasar pelupa. Entah sudah berapa kali kuingatkan kepadanya agar tidak sembarangan menaruh ini-itu. Tapi Dani tak pernah menghiraukannya. Aku jadi kesal. Dan semakin kesal saat tiba-tiba saja mataku beralih pandang ke arah Dani yang sedang mengobrak-abrik laci. Saat itu aku seperti kehilangan suara. Tak ada yang bisa kuucapkan selain menatap bajunya yang kusam, sandalnya yang tipis sebab sudah terlalu lama dipakai, dan lengan kirinya yang terluka. Mungkin habis tergores benda tajam saat sedang bekerja.

Lagi, aku teringat dengan uang pemberian Ibu. Lalu ingatan lain ikut bermunculan. Tentang beras kami yang hampir habis, meja makan yang salah satu kakinya mulai keropos dimakan rayap, celana hitam Dani yang robek, serta genting rumah kami yang bocor. Ingatan-ingatan itu pun terus berputar. Semakin lama semakin cepat, sampai kemudian ….

“Kamu kenapa, sih? Kok, melamun gini?”

Aku terpatung. Saat itu juga, aku seperti kehabisan tenaga hingga tak sanggup lagi bicara.(*)

Malang, 14 Agustus 2020.

 

Tri Wahyu Utami, salah satu penulis “Candramawa: Cinta dan Sebuah Kisah”.

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply