Sekat-Sekat Kamar yang Tipis
Oleh: Reza Agustin
Cerpen Terbaik ke-20 TL-16
I
Sepulangnya dari pekuburan, Wati tidak langsung mandi. Kakinya berbelok ke sudut ruang. Tempat di mana mendiang putra sambungnya menghabiskan waktu belajar. Aroma pewangi yang sering melekati pakaiannya masih tertinggal di bantalan kursi, tepian meja, juga lembaran-lembaran buku yang masih dibiarkan tertata sembarang.
“Maaf karena Ibu sama sekali nggak bisa berbuat apa-apa buatmu, Nak,” ujar Wati pilu. Air mata yang belum kering selama proses pemakaman kembali basah.
Wati selalu merasa tidak pantas menjadi ibu bagi Mahardika. Ia tidak mengandung dan melahirkan, juga tidak ikut serta menyaksikan tumbuh kembang pemuda enam belas tahun itu. Mengenal sosok Mahardika adalah tantangan yang baru bagi Wati.
Mahardika menyukai komik. Mahardika sangat senang ketika menggambar. Mahardika anak yang pendiam. Wati mengenal anak tirinya sebatas itu. Suaminya, ayah kandung Mahardika tak pernah memaksa Wati mencintai Mahardika.
“Ibunya meninggalkan kami ketika Dika masih berusia tiga tahun. Ia lari dengan selingkuhannya ke luar negeri. Tidak pernah kembali. Dika juga sosok yang tidak akrab sama perempuan. Itulah kenapa aku memasukkannya ke sekolah khusus laki-laki. Kamu itu istriku, tidak perlu jadi ibunya.” Itulah yang dikatakan suaminya tepat sebelum pernikahan mereka satu tahun silam.
Wati janda beranak satu, seorang putri yang telah berusia tiga belas. Kehadirannya dan sang putri hanya akan menjadi beban bagi Mahardika. Itulah mengapa Wati memilih tidak terlalu mengakrabkan diri dengan sang putra. Sebisa mungkin meminimalisir kontak di antara mereka. Walaupun terkadang hati kecil Wati juga ingin menunjukkan rasa kasih sayangnya sebagai seorang ibu.
Ketika pagi, sebelum penghuni rumah lain bangun, ia akan mengunjungi meja Mahardika. Mengecek apakah remaja itu membutuhkan buku sketsa atau cat baru. Terkadang, ia membuka-buka buku sketsa. Mahardika pastilah bercita-cita menjadi komikus cerita remaja tentang petualangan pemuda menggapai impian. Mungkin mirip dengan Naruto—satu-satunya karakter yang Wati tahu—atau pahlawan-pahlawan super lain.
Mahardika sesekali menunjukkan terima kasih dengan cara yang unik. Ia akan mengendap ke dapur, memeluk lengan Wati dari belakang dan mengucapkan terima kasihnya dengan lirih. Biarpun mengendap, Wati selalu tahu bahwa Mahardikalah yang datang. Aroma pewanginya mengikuti ke mana pun ia pergi, juga tertinggal agak lama di udara.
Namun, Wati melupakan satu hal. Bahwa suaminya sangat membenci Mahardika yang menggambar. Ketika suaminya mendapati Mahardika sedang asyik menggambar, pria itu membanting kursi. Menghantam putranya dengan apa pun yang bisa ditemukan di meja. Mahardika yang pendiam tidak menangis ketika tubuhnya diinjak, dipukul, atau diludahi sekalipun. Ia akan menangis ketika mendapati gambarannya, pahlawan-pahlawan pria super berubah menjadi sampah atau urup-urup tungku di belakang rumah.
Wati bukan ibu yang baik. Ketika suaminya mengamuki sang putra, ia justru menyembunyikan diri di kamar sang putri, memeluknya erat. Sesekali berdoa agar sang putra sambung tidak terluka parah.
Ia tidak memiliki nyali menengahi sang suami. Ia tidak ada di sana menjadi tameng ketika suaminya memukuli Mahardika. Ia tidak memeluk Mahardika dan meyakinkan putranya baik-baik saja.
Ia pengecut yang memagari dirinya dalam ketakutan. Seorang ibu tidak berguna yang tidak memiliki keberanian lebih dekat dengan putranya.
Sekarang, ia merindukan aroma pewangi tersebut walaupun seluruh ruangan masih dilekati harum yang sama.
II
Sehabis mandi keramas, Juwita mengunci kamar. Ia naik ke atas ranjang, menyandarkan punggung di dinding, lalu memeluk lutut. Mulai malam ini, ia tidak akan mendengar suara sang Kakak dipisahkan oleh tembok. Sekat-sekat yang membatasi antarkamar mereka terlalu tipis. Terkadang di tengah malam, ketika ia terjaga, suara-suara di kanan dan kiri menahan kantuknya datang lagi.
Ayah dan ibunya sering berisik, ia tidak tahu kenapa. Setidaknya mereka melakukannya berdua. Namun, kakaknya? Kakaknya juga sering terdengar berisik di kamar. Awalnya Juwita merasa terganggu dengan bising yang berasal dari dua kamar yang mengapit kamarnya. Karena pada akhirnya ia juga yang kena getahnya. Bangun terlambat, masuk sekolah telat, dan rentetan kejadian klise yang sering dilihat di opera sabun televisi. Namun, lambat laun ia menikmati.
Bukan berisik yang dibuat oleh ayah dan ibunya. Tapi kakaknya, kakak tiri tepatnya. Seorang kakak lelaki yang ia dapat satu tahun yang lalu dari pernikahan kelima ibunya. Juwita tidak begitu paham mengapa ibunya harus menikah lagi. Terutama dengan seorang pria yang—menurut gosip tetangga—sangat temperamen. Ah, sebenarnya Juwita paham mengapa ibunya begitu terburu menikah lagi. Wanita itu memang tidak pernah bisa lepas dari belaian laki-laki. Itu yang ia dengar dari omongan tetangga. Tapi makna di baliknya, Juwita sama sekali tidak paham. Ia masih dua belas tahun kala itu.
Jika suara gaduh yang dibuat ayah dan ibunya begitu menjengkelkan, maka yang dibuat kakaknya lain. Juwita menyukai bagaimana lenguhan kakaknya sangat memanjakan telinga. Juwita seakan memiliki alarm tersendiri yang akan membangunkannya ketika sang Kakak memulai aktivitas berisiknya.
Selama beberapa bulan, ia masih meyakini suara-suara berisik yang dibuat kedua orangtua beserta kakaknya tak lebih dari bunyi yang timbul karena getaran pita suara. Tapi, ketika ia memasuki sekolah menengah pertama, Juwita mulai bisa membayangkan bagaimana suara-suara itu terbentuk. Di tahun pertama SMP, laki-laki di kelasnya menonton sebuah video asusila. Dari ponsel pintar itu keluarlah bunyi yang mirip dengan apa yang ia dengar tiap terjaga saat malam.
“Juwi nggak boleh ikutan nonton! Itu video jorok, kita nggak boleh nonton!” ujar temannya memberikan peringatan.
“Loh, mereka boleh nonton. Kok kita nggak boleh?” Juwita protes, ia hanya ingin mengetahui kenapa kakak dan orang tuanya bisa membuat suara-suara seperti itu.
“Itu video dewasa, kita belum dewasa. Ada batas usianya.”
“Tapi mereka juga belum dewasa. Mereka melanggar batas usia, dong.”
“Ya, emang gitu. Tapi jangan ikut-ikutan!”
Karena anak-anak lelaki itu sudah berani melanggar batas usia yang disarankan untuk menonton, maka tidak ada salahnya bagi Juwita ikut menonton juga. Sepulangnya dari sekolah, ia mengunduh salah satu video. Terlintas di benaknya, dengan siapakah sang Kakak bermain? Mengingat kakaknya selalu tidur sendiri di kamarnya.
Malam itu, Juwita masuk ke kamar kakaknya. Kaus lebar dan celana pendek ketat. Memasuki usia puber, lekuk-lekuk tubuhnya mulai terbentuk. Pemuda itu tentu terkejut dengan kehadiran sang Adik Tiri. Mereka jarang berinteraksi, bahkan nyaris tidak pernah menyapa. Apalagi dengan tampilan Juwita yang terlalu terbuka.
“Kak … aku tahu apa yang selama ini Kakak lakukan di sini kalau malam.”
Wajah kakaknya memerah, benar-benar seperti kepiting yang direbus. Bukan malu, melainkan amarah. Sebelum Juwita melakukan apa-apa lagi, ia sudah didorong keluar kamar. Sebuah bisikan menggelitik lehernya, “Kalau kamu ngomong sama Ayah dan Ibu, awas aja!”
Itulah malam terakhir sebelum kakak tirinya ditemukan tergantung di langit-langit rumah. Juwita menyandar lagi pada tembok, matanya berembun. Mungkinkah kakaknya bunuh diri karena merasa terganggu karena Juwita goda? Seharusnya ia tidak menonton video dewasa itu.
IIII
Setengah jam mengurung diri dalam kamar mandi dihabiskan dengan merokok. Pria itu duduk di atas kloset duduk yang tertutup. Ia tak peduli lagi jika udara yang dihirup telah tercemar aroma tembakau. Dihalangi dinding keramik, untuk kedua kalinya ia menjadi pembunuh. Sebuah rahasia yang tak akan pernah dibagi dengan siapa pun. Cukup dirinya dan kesendirian.
Ia sudah jelas bukan ayah yang baik. Mana ada ayah yang memukuli anaknya hanya karena dikuasai amarah? Bertahun-tahun ia lakukan untuk menghapus bayangan mantan istri. Di setiap tembok rumah, lembaran buku, sisa-sisa kehadiran yang tertinggal di sudut-sudut terbengkalai. Tak ada foto keluarga yang tergantung di dinding. Foto-foto pernikahan telah hangus menjadi abu, foto-foto yang ada wajah wanita itu dilubangi sedemikian rupa sehingga menyisakan wajahnya dan putra mereka.
Tapi ia terlupa, bahwa jejak-jejak sang mantan istri telah tertinggal jauh ke dalam sel terkecil dalam tubuh. Separuh DNA wanita itu yang melekat erat pada putra mereka, mewarisi bakatnya yang luar biasa. Wanita yang enggan ia sebut namanya itu seorang pelukis kontemporer terkenal, lalu putra mereka juga gemar menggambar. Ekspresi keduanya kala menekuni selembar media gambar dengan sebuah kuas di tangan bak pinang dibelah dua. Kerutan di dahu, bibir yang terkulum, semuanya sama!
Teringat akan pengkhianatan cinta sang istri membuatnya marah. Anak yang tidak ada sangkut-paut atas hubungan yang hancur itu menjadi pelampiasan. Sejak putranya masih berusia tiga hingga di akhir hidupnya usia enam belas. Tidak ada yang tahu jika di balik sosok pendiam itu terbaring jiwa dan tubuh yang rapuh. Bilur di sekujur tubuh, luka-luka lama yang ditindihi luka-luka baru, sundutan rokok, dan terlalu banyak bekas permanen yang tidak dapat disembuhkan. Jauh di dalam hati remuk itu.
“Pria sialan! Kalau kau menyakiti anak kita, aku akan datang padamu dan membunuhmu!”
Kalimat terakhir yang diucapkan mantan istrinya waktu itu. Tepian hutan, karung berlumur darah, pistol yang masih berasap, serta embun yang baru terbentuk menjelang kedatangan subuh. Ketika amarah sudah melewati batas, akal sudah tidak lagi mengikuti. Tubuh mantan istri dan selingkuhannya dibenamkan ke dalam bumi tanpa ada yang tahu.
Ia seorang pembunuh. Sudah tiga orang, mantan istri, pria selingkuhan sialan, dan putranya sendiri. Rahasia yang akan ia bawa sampai seluruh tubuhnya disekati tanah dan potongan kayu.
IV
“Aku positif, Dik, bahkan sebelum berhubungan sama kamu,” ujar suara dari seberang telepon.
Mahardika masih gemetar, sejak sang Adik Tiri masuk ke kamar beberapa menit silam ketakutannya belum kunjung reda. Ketakutan akan jati diri yang diketahui sang Adik Tiri. Kini rasa takutnya berlipat ganda.
“Tapi waktu itu kita nggak pakai pengaman,” lirih Mahardika, air matanya yang menggenang seketika tumpah.
“Maaf, Dik. Kita udahan aja sampai di sini, ya.”
Sambungan terputus. Mahardika masih mengumpulkan akal sehat. Adik tirinya tahu kalau ia seorang pecinta sesama jenis. Lalu kini pacarnya terinfeksi HIV. Lalu ia harus bagaimana? Kamarnya mendadak terasa sempit.
Mahardika mengedarkan mata ke seluruh penjuru ruang. Sudah terlalu banyak rahasia yang ia simpan di dalam kamar ini. Kendati sekat-sekat antarkamar begitu tipis, sesekali pacarnya menyusup dan mereka melakukan ini-itu dengan cepat sekaligus tenang. Apakah karena itu? Menyelundupkan pasangan sesama jenisnya ke dalam rumah lalu melakukan persetubuhan yang diharamkan agama? Balasan instan atas dosa yang sudah diperbuat?
Apa kata orang jika tersebar kabar Mahardika adalah seorang homoseksual? Ayahnya pasti akan murka di luar kemarahan selama ini. Bisa saja ia dibunuh lalu dikuburkan di dalam hutan. Ibu tiri dan adiknya mungkin akan membujuk ayahnya pindah setelah itu. Orang selembut ibu tirinya pasti juga akan jijik kalau tahu tinggal serumah dengan pecinta sesama jenis. Para tetangga pastilah bergosip, menambahkan detail tidak penting di sana-sini. Lalu jika kabar itu sampai di sekolahnya, pastilah timbul huru-hara. Mengingat bukan hanya ia satu-satunya siswa dengan ketertarikan sesama jenis kelamin.
Dada Mahardika membuncah. Virus yang menghinggapinya juga akan menggerogoti tubuhnya sedikit demi sedikit dari sekarang. Ajal terasa tidak berjarak lagi, seperti tipisnya dinding-dinding rumah mereka. Bibirnya terkulum, dahi berkerut, otak mulai menyusun kilasan-kilasan di masa depan. Tidak ada masa depan indah baginya. Tidak dengan orientasi seksual dan virus sialan itu.
Mahardika memutuskan satu jalan paling aman, yang menghindarkannya dari masa depan tidak pasti.(*)
Bersama Lee Ga Eun dan Asahi TREASURE, 20 Agustus 2020.
Reza Agustin lahir di Wonogiri 20 Agustus 1997. Hobi, mengkhayal.
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata