SEKAT
Oleh Jeevita Ginting
Gelap. Aku meraba-raba permukaan dinding agar tidak terjerembab saat menyusuri tempat ini. Tempat tanpa cahaya dan jalan keluar. Barusan, aku terjebak ke dalam sini secara tiba-tiba. Sendirian. Tak ada siapa pun. Tetapi, sesekali terdengar suara isak tangis yang memilukan. Takut? Tentu saja! Namun, takutku tidak lebih besar dari rasa penasaran dan ingin tahu dari mana suara itu berasal.
Kalau tidak salah ada sekotak lilin dan korek api di dekat sini. Tadi aku sempat melihatnya sekilas–saat kilatan cahaya aneh itu membawaku ke tempat ini– jika ketemu lilin itu bisa kugunakan sebagai penerangan.
Entah hanya perasaanku saja atau bagaimana, hawa di sini semakin terasa dingin dan mencekam. Aku harus cepat-cepat menemukan lilin tersebut.
Tiba-tiba, aku merasa kakiku ditahan oleh … entahlah–mungkin tangan seseorang, hingga aku tak bisa menggerakkannya. Lama-kelamaan, tangan tersebut mulai menggerayangi tubuh, kemudian mencengkeram dada hingga membuatku kesulitan untuk bernapas.
Perih, saat kuku-kukunya yang tajam berhasil mengoyak dadaku. Aku bisa merasakan tangan tersebut mulai merogoh ke dalam dada lalu menggenggam jantungku sangat kuat.
“Sial, aku tak bisa melepaskannya. Bisa-bisa jantungku remuk nantinya!”
Aku memejamkan mata, berusaha menahan nyeri yang semakin tak tertahankan. Mungkinkah aku akan mati di tempat ini? Tak lama, sayup-sayup terdengar suara anak kecil yang tengah tertawa.
“Almira?” gumamku yang mengenali suara tersebut.
Ah, Almira. Kasihan, ia tengah sendirian saat ini, dan jika hidupku berakhir sampai di sini maka ….
Tidak! Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Sebuah kekuatan tiba-tiba terasa mengalir dalam tubuh. Dengan sekuat tenaga, tangan yang masih mencengkram jantung ini berusaha kulepaskan. Namun sulit sekali. Aku balik mencengkeram lengan dari tangan tersebut, sedikit menunduk, lantas menggigitnya kuat. Seketika, terdengar suara erangan yang menggema.
Berhasil! Namun, jantungku sudah remuk sekarang, darah juga terus keluar dari luka yang terbuka. Tak apalah, setidaknya aku masih hidup.
Dengan tertatih, aku kembali menyusuri tempat ini. Akhirnya, sekotak lilin yang kucari ketemu. Dengan sigap kunyalakan lilin tersebut menggunakan korek api yang berada di atas kotaknya.
Temaram cahaya lilin cukup digunakan sebagai penerangan. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak ada apapun, hanya dinding kaca dengan bagian luar yang gelap. Ah, rasanya seperti sedang ditelan lubang hitam.
Suara tawa Almira, putri semata wayangku kembali menggema. Aku kemudian berteriak memanggilnya. Berharap bisa menemukan sosok gadis cilik itu di sini. Nihil, mungkinkah aku hanya berhalusinasi?
Aku terus berjalan, suara Almira masih terdengar meski tak sekeras tadi.
Tiba-tiba, terdengar suara kaca yang diketuk dengan keras. Saat menoleh, sosok seorang wanita muncul di balik dinding kaca. Ia tersenyum ke arahku sambil memicingkan mata.
Saling bertatap muka untuk beberapa saat, seseorang tiba-tiba merengkuhnya dari belakang. Aku mendekatkan wajah ke dinding, penasaran dengan orang yang berada di belakang wanita tersebut karena ia memakai cincin yang cukup familiar bagiku.
Ternyata benar, itu Mas Huda, suamiku. Siapa wanita yang ia peluk? Aku berusaha menepis prasangka buruk di hati. Tidak mungkin jika suamiku berkhianat.
Namun, mereka terlihat sangat mesra. Wanita tersebut sepertinya sengaja membuatku cemburu. Dasar jalang. Aku tak terima ia mendekati Mas Huda!
“Jalang sialan! Menjauh dari suamiku!”
Aku terus mengumpat, tetapi wanita itu malah semakin erat memegangi lengan suamiku. Raut wajahnya, ya, raut wajahnya seperti mengejek. Menjijikkan sekali!
Lama-kelamaan, wajah Mas Huda memerah, ia juga mengepalkan tangan. Apa, Mas Huda tak terima karena aku menyebut wanitanya sebagai jalang?Lelaki yang sangat kucintai itu lantas mendekat, lalu menghancurkan dinding kaca menggunakan tangannya sendiri.
Akhirnya, dinding kaca yang menjadi sekat di antara kami perlahan retak, dan pecah. Serpihan-serpihannya terus jatuh, tepat mengenai dadaku yang masih terluka. Aneh, padahal aku sudah berusaha menghindar, tetapi serpihan itu seperti sengaja melukaiku.
Dada semakin terasa perih, aku lantas meminta Mas Huda untuk berhenti melakukan itu sebelum seluruh dinding benar-benar hancur dan melukai seluruh tubuhku, tetapi ia tak mendengarkan.
Setelah kacanya benar-benar hancur, ia menampar dan memukuliku berkali-kali. Setelah itu, ia meraih jantungku yang sudah setengah hancur. Mas Huda meremukannya kembali, lalu membuang jantungku begitu saja. Setelah merasa puas, ia akhirnya melenggang pergi bersama wanita tersebut. Jelas,wanita itu kini pasti merasa sangat puas.
Aku menangis sejadinya. Percuma! Haruskah aku mengakhiri hidup saja?
Sepasang tangan mungil tiba-tiba mengusap air mata di pipiku. Aku mendongak, gadis kecil itu tersenyum lebar. Dengan cekatan ia mengambil bagian-bagian jantungku yang berceceran, lalu berusaha menyatukannya kembali.
“Mama jangan menangis, Almira bakalan ada di samping Mama terus,” tutur putriku sambil mengembalikan jantungku ke tempat semula.
Aku merengkuh Almira erat. Aroma strawberi dari sabun kesukaannya sangat harum. Ya, setiap malam aku selalu memeluknya seperti ini, menciumi tubuhnya yang wangi. Perasaanku jadi lebih baik setelah memeluknya. Bodoh! mengapa aku ingin mengakhiri hidup saat ada seorang malaikat kecil yang begitu berharga ini?
Tiba-tiba ….
Tubuh Almira mulai raib, memudar perlahan. Aku panik, semakin mengeratkan pelukan kami.
Ti–tidak!
Almira … kini tubuhnya benar-benar raib, menjelma debu-debu yang bercahaya. Aku pun kembali menangis.
Tak lama, terdengar suara yang begitu riuh. Jerit, tangis, tawa, bercampur, membuatku semakin merasa … seperti orang gila. Suara-suara itu mendadak lenyap setelah aku menjerit sekuatnya.
Hening, nyala api lilin yang meliuk kemudian padam. Kegelapan kembali menelan.
“Mas Huda, Almira ….”
Selesai.
Bogor, 19 September 2020
Jeevita Ginting. Nama pena dari gadis kelahiran 20 tahun silam yang menggemari lagu-lagu Ed Sheeran.
Editor : Freky M
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata