Sekali Duduk

Sekali Duduk

Sekali Duduk
Reza Agustin

Saya terbiasa menulis ditemani segelas teh atau secangkir kopi susu hangat, serta menyumbat lubang telinga dengan hentakan musik yang intens. Menulis menjadi hal yang menyulitkan akhir-akhir ini, tak seperti dulu ketika saya bergairah saat memencet tuts dan mengeluarkan imajinasi-imajinasi di dalam kepala. Dulu, segalanya serasa mudah. Terpikir apa, jemari-jemari bergerak seenak hati dan jadilah satu cerpen dalam sekali duduk.
Sekarang jari-jari saya menjadi lebih kaku, harus terdiam sepersekian detik sembari mencocokkan kata-kata di dalam kepala sambil mencari-cari huruf yang benar. Seolah-olah otak dan jari-jari saya berusaha akur, padahal dulu seperti memiliki otak yang masing-masing memiliki kontrol sendiri untuk tugasnya. Ah, menulis ternyata menjadi sangat sulit ketika kita lebih banyak tahu. Terlalu banyak perencanaan, pencocokan, menimbang, mengira, duh, pusing rasanya. Padahal dulu dalam sekali duduk saya selalu bisa menulis paling tidak satu atau dua cerpen singkat dengan panjang sekitar lima ratus kata. Mengapa sekarang begitu susah payah menulis satu paragraf saja?
“Kenapa kamu tidak menyerah saja?” Suara itu sering datang akhir-akhir ini, bercokol di otak dan enggan pergi.
“Kenapa aku harus menyerah?” balasku angkuh.
“Lihat teman-temanmu! Mereka sudah sukses, menikah, punya anak. Lalu kau apa? Melamun di depan layar sambil mengetik serampangan lalu pada akhirnya kau tidak dapat apa-apa karena kertas itu tetap kosong sampai kau beranjak dari dudukmu! Kau cuma buang-buang waktu! Lakukan sesuatu yang benar-benar menghasilkan uang daripada menuruti idealismemu yang bodoh itu!”
Saya menggigiti bibir perlahan, menyadari bahwa perkataannya banyak yang tepat sasaran. Kalau saja sejak dulu saya tinggalkan dunia menulis untuk berniaga misalnya, mungkin sekarang tak akan sesusah payah ini menuliskan huruf-huruf kosong. Pada akhirnya tulisan-tulisan kosong itu tak mencapai hati siapa pun karena begitu datar.
Dibuat seadanya, secepatnya, yang penting jadi dan saya tidak perlu bersusah payah membuang waktu menatapi layar selama berjam-jam tanpa mendapatkan apa pun selain hasil akhir yang tidak maksimal. Apakah saya iri pada teman-teman yang berhasil di bidang masing-masing? Tentu saja iya. Ada yang sudah jadi aparatur sipil negara, bisa membeli ini-itu dan dipamerkan di media sosial seperti membeli permen, punya keluarga sendiri yang harmonis, dan mereka yang dapat menulis dengan indah. Sedangkan saya masih terjebak dalam lorong dilema. Haruskah saya berhenti untuk mencoba sesuatu yang baru atau menekuni idealisme saya kendati tak memberikan hasil apa-apa?
Saya gelisah. Duduk yang tak lagi nyaman seperti dulu. Ke mana kenyamanan setelah berhasil menulis dan menyelesaikannya dengan gemilang?
“Itu artinya kamu harus meninggalkan hobi itu. Sama sekali tak menghasilkan uang!”
Oh, uang. Sekarang uang menjadi tolok ukur dalam segala hal. Jadi apa orang di era modern yang gila ini jika tak memegangnya. Saya terbiasa tak punya uang, tapi menikmati kekosongan di dompet saya itu hal lain. Coba tanya orang mana yang tak tersisa kalau tak punya uang sementara undangan pernikahan datang seperti air bah, meteran mulai berdenging, dan beras sudah menipis. Uang adalah penyelamat, bukan tulisan-tulisan omong kosong ini.
Saya bangkit dari duduk saya sembari menahan geletar sakit di dada. Terlalu banyak hal yang membuat saya tak dapat meninggalkan kecintaan saya menulis, tapi jika saya tetap bertahan, apakah akan ada kepastian sukses di masa mendatang. Kesuksesan tak akan mendatangi tukang khayal seperti saya. Maka, saya berbalik, enggan kembali.
Notifikasi surel datang, cukup mengejutkan. Setelah sekian lama saya nanti kedatangannya. Suara itu datang lagi, kali ini lebih keras dan marah.
“Kenapa kembali?! Kamu mau jadi kere selamanya?”
Saya mengabaikan suara-suara yang berdatangan sehabis itu. Surel tadi, mengabarkan jika novel saya lolos seleksi kontrak sebuah platform menulis. Saya menyamankan posisi duduk, menyesap teh manis yang sudah dingin, lalu memutar lagu-lagu agak kalem. Sekali duduk, saya dapat menyelesaikan satu bab novel yang sebelumnya sudah mangkrak.

END

Reza Agustin, doakan lolos kontrak ya teman-teman. 

Leave a Reply