Sejenak Sebelum Beranjak
Oleh : Esa Nara
The day which we fear as our last is but the birthday of eternity— Lucius A. Seneca
Ketika Molly pulang dari pemakaman Peter—saudara kembarnya, ia sadar segala sesuatu tidak akan pernah sama lagi. Tak akan ada cerita perihal si kembar Trevor di hari-hari di masa depan, semuanya terhenti pada detik itu juga.
Rumah Molly masih ramai oleh keluarga juga para pelayat dengan wajah muram yang seragam. Tapi tak ada yang terlihat lebih terpukul dibanding dengan Mrs. Trevor—sang ibu. Selama sepuluh tahun bernapas di dunia, Molly belum pernah melihat keadaan ibunya sekacau itu: rambut yang masai tak tersentuh sisir berhari-hari, wajah pucat pasi sebab kurang tidur, dan mata sembab yang menyorotkan kesedihan mendalam; seakan-akan hidupnya juga telah berakhir bersama sosok yang kini terkubur enam kaki di bawah tanah pemakaman.
Beberapa sanak famili mendampingi Mrs. Trevor; menggenggam tangan, mengusap punggung, atau berbisik menyampaikan kalimat-kalimat yang mereka pikir dapat menenangkan. Molly menyaksikannya dari kejauhan, lantas menerka-nerka apakah orang-orang yang tengah menghibur ibunya untuk tegar dan berbesar hati itu dapat melakukan hal yang sama jika saja mereka yang berada di posisi sang ibu. Entah mengapa ia merasa sangsi. Bagaimanapun, ia yakin semua manusia pasti akan merasa sangat terpuruk ketika harus mengalami kehilangan.
Molly kembali memasang mata pada ibunya, dan mendapati tangis sesenggukan wanita yang melahirkannya itu pecah entah untuk yang keberapa kali. Molly sangat ingin mendekat, memeluk sang ibu erat lantas berbisik bahwa ia juga sama besarnya merasakan kehilangan. Namun, ia justru mematung di tempat. Langkahnya terasa begitu berat, begitu pun dengan hatinya. Dalam keramaian, Molly melemparkan tatapan berkeliling ruangan, mencari-cari sosok ayah atau kakak laki-lakinya—Charlie, dan tak berhasil menemukan mereka di sudut manapun. Molly sadar betul, Charlie dan sang ayah juga pasti tengah begitu berduka sehingga mereka mungkin tak ada di samping ibunya karena alasan yang sama seperti halnya ia sendiri—belum sanggup melihat pada diri satu sama lain dan menyadari anggota keluarga yang tak lagi lengkap.
Barangkali Charlie berada di ruangan lain bersama para sepupu, dan ayahnya tengah terduduk lesu dengan gelas bourbon dalam genggaman dan tepukan tangan-tangan sanak saudara di punggung mereka beserta ucapan bela sungkawa juga nasihat untuk bersabar dan ikhlas seperti yang diperdengarkan kepada ibu.
Molly telah mendengar bisik orang-orang yang berbincang tentang betapa malangnya Keluarga Trevor atas kejadian ini, terlebih yang tertuju pada dirinya. Ia mengerti orang-orang tersebut hanya merasa kasihan, tapi tetap saja ia tak begitu senang akan hal itu. Tatap-tatap iba tersebut terkesan seperti sebuah penegasan bahwa keluarganya memang telah mengalami kesialan. Itu sebabnya Molly segera melangkah cepat menaiki tangga menuju kamarnya dan Peter, pura-pura tak mendengar beberapa orang menyebut-nyebut namanya ketika ia melintasi ruangan ramai tersebut.
Ada perasaan sedih yang lebih besar yang Molly rasakan ketika akhirnya berada dalam kamar. Ia duduk di ranjangnya, mengamati lamat-lamat seluruh penjuru ruangan itu. Tempat tidur Peter yang berseprei biru, rak buku di sudut yang penuh koleksi dongeng klasik miliknya dan komik pahlawan super milik Peter, lalu poster New York Yankees—tim bisbol favorit mereka. Juga poster sang legenda Major League Baseball—Joe DiMaggio.
Molly berbaring di kasurnya, memandangi langit-langit dengan tatapan menerawang. Sampai akhirnya ia tak dapat lagi menahan tangis. Molly meringkuk memeluk lututnya, terisak-isak membayangkan betapa esok hari kamar itu akan terasa begitu sepi. Tak akan ada lagi percakapan sebelum tidur mengenai kegiatan mereka sepanjang hari, atau suara dengkur halus Peter dan gemeletuk gerahamnya yang kadang membuat Molly merengek agar bisa mempunyai kamar sendiri, juga teriakan sang ibu ketika memaksa membangunkan si bocah laki-laki di pagi hari.
Gadis kecil itu melirik bingkai foto di meja samping tempat tidur, meraihnya dan menatap lamat potret yang mengabadikan senyum riang keluarganya ketika pergi piknik di awal musim panas kemarin—yang menambah kesedihannya berlipat-lipat.
Libur musim panas selalu menjadi waktu terbaik karena Charlie akan pulang dari sekolah asramanya sehingga mereka bisa berkumpul untuk merencanakan agenda liburan: ke pantai atau kolam renang, hutan wisata, taman hiburan, museum atau bahkan sekadar mengadakan acara barbeku di halaman belakang rumah. Sungguh Molly tak pernah menyangka, bahwa musim panas tahun ini adalah musim panas terakhir Keluarga Trevor dengan anggota yang lengkap.
Molly bangkit dan segera mengusap mata dan menyeka ujung hidungnya yang memerah dengan ujung dres putihnya ketika seseorang masuk ke dalam kamar. “Waktunya pergi, Molly,” ujarnya dengan nada setengah membujuk.
Molly menatap sosok serupa cermin tersebut lalu kembali menangis. “Apa ibu akan baik-baik saja, Peter?” tanyanya sesenggukan.
Peter menghembuskan napas pelan, “Apa kau akan baik-baik saja jika anak kembarmu mati tertabrak bus?” Ia melempar retoris yang langsung dijawab gelengan dari Molly. “No, aku tidak mungkin akan baik-baik saja.”
“Itu karena kau cengeng. Tapi ibu wanita yang tangguh, Molly. Dia akan baik-baik saja,” sahut Peter perlahan. “Lagipula kita juga tidak bisa melakukan apa-apa.”
Molly menunduk tak menatap saudara kembarnya. Malu mengakui bahwa yang dikatakan Peter memang benar, mereka sudah mati dan tak berdaya untuk melakukan sesuatu. Lebih malu lagi karena ia tak bisa setegar Peter padahal tahu bahwa mereka merasakan kesedihan yang sama.
“Come on, Molly. Kita tidak seharusnya di sini,” bujuk Peter lagi.
Perlahan Molly bangkit, menatap Peter dengan raut nelangsa. “Aku ingin melihat mereka dulu untuk yang terakhir kali,” ujarnya lesu.
Mereka menuruni tangga menuju ruang tengah, pelayat sudah banyak berkurang. Hanya tersisa beberapa. Mrs. Trevor masih duduk di sofa yang sama. Namun kini, Charlie ada di sisinya. Merangkul bahu wanita itu yang terkulai lemas. Sambil berbisik menghibur. Sementara Mr. Trevor di kursi sudut memerhatikan istri dan putra sulungnya—yang akhirnya kembali menjadi putra tunggal—dengan mata memerah.
Si kembar berjalan mendekat, menyentuh lengan ibu mereka juga Charlie. Sebersit senyum miris mengembang di sudut bibir Molly. “Aku akan merindukanmu, Mum … Charlie.” Ia kembali terisak. Peter merangkul saudaranya, lantas mengucapkan hal yang sama walau tahu suaranya tak akan terdengar. Kemudian melangkah menuju ayah mereka.
“Kau pria yang hebat, Dad. Tolong jaga Mum dan Charlie.” Peter berucap, berusaha tersenyum. Namun matanya berkaca-kaca.
Mereka memandang sekeliling. Berusaha merekam sebanyak mungkin kenangan di tiap sudut rumah. Aroma masakan sang Ibu kala sarapan dan makan malam, suara-suara ribut televisi di sore hari, kelakar sang ayah, serta cerita-cerita seru Charlie tiap pulang dari asramanya. Demi Tuhan! Molly dan Peter akan merindukan semua itu.
“Sekarang waktunya,” kata Molly pada Peter mengundang senyum di wajah si anak laki-laki.
“Kau tak perlu khawatir, Molly.” Peter berujar lantas meraih tangan saudarinya untuk ia genggam. “Kita akan bertemu Tuhan. Jadi kita bisa langsung meminta agar Dia menjaga mereka,” sambungnya sambil tersenyum.
Molly menengok kepada keluarganya sekali lagi. Lalu ikut tersenyum, “Kau benar.” Ia menyahut kemudian mereka mulai melangkah ke arah cahaya terang menyilaukan yang mengantar mereka menuju keabadian.(*)
Esa Nara. Ciptaan-Nya yang mencipta fiksi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata