Sejak Hari Ini Hingga Seterusnya
Oleh : Dhilaziya
Ndil menatap pria di depannya sambil memonyongkan bibir. Matanya seolah-olah mengeluarkan bara yang siap menghanguskan pria itu layaknya api memamah kayu bakar. Tidak hanya di mata, bara api juga berkobar di hati Ndil.
Meskipun malu dan tersinggung, tetapi Ndil bersikeras untuk mendapatkan keinginannya. Dia tidak mau mengalah walaupun tahu bahwa perbuatannya keliru. Ndil mengandalkan pendapat bahwa seorang pria bermartabat tidak akan menolak permintaan seorang wanita. Sebagai anak bungsu dia memang terbiasa mendapatkan apa pun yang diinginkan.
“Plis, Mas! Saya buru-buru, nih, takut kehujanan. Rumah saya jauh.”
“Memangnya kalo Mbak enggak mau kehujanan, terus saya mau, gitu? Emang Mbak doang yang pengen cepet?” Pria itu memelotot.
“Bentar aja, kok, Mas. Satu transaksi doang. Tolong, ya.”
“Enggak. Antre!”
Demi menutupi malu di hadapan pengantre lain, Ndil bergegas ke toilet sambil menggerutu dengan suara pelan, “Bener-bener, deh! Seseorang enggak bisa dinilai dari penampilannya saja.”
Sebelum keluar dari toilet, gadis yang senyumnya mampu menggedor-gedor dinding hati pria-pria di kantornya seperti bedug yang ditabuh setiap kali waktu sholat tiba itu kembali mengomel sambil berkaca untuk merapikan riasan wajah.
“Jangan-jangan, ini orang kurang adonan pas dicetak. Timbang dua puluh detik doang! Ngalah bentar, kan, enggak bakal bikin dunia runtuh. Enggak ngerti ladies first. Hish!”
Dalam perjalanan pulang, setelah mengambil uang dan mampir ke minimarket untuk membeli barang-barang kebutuhan rumah sesuai pesanan ibunya—seperti pengharum ruangan, minyak kayu putih, dan ekstrak jahe—Ndil telah sepenuhnya lupa pada kejadian yang sempat mendidihkan darahnya di gerai ATM tadi. Angin yang berembus cukup kuat telah menyingkirkan mendung yang sempat menggelayut di matanya. Sore yang tenang membuat gadis itu memilih rute berbeda dari biasanya. Di hari lain Ndil tidak akan mau melintasi jalan desa yang bersisian dengan hamparan sawah di sepanjang kanan jalan. Selain jalanan becek dan banyak terdapat genangan air, jarak yang harus ditempuh menjadi dua kali lebih jauh untuk mencapai rumah.
Ndil menghentikan motornya saat melihat sebuah dompet tergeletak di tepi jalan. Dia turun untuk memungut dompet tersebut. Lantas, dia mengamati dompet itu sambil mencari-cari orang lain di sekitarnya. Sayangnya, gadis itu tidak melihat seorang pun di sana.
‘Dahlah biarin aja. Ntar juga yang punya bakal nyariin.’
Akan tetapi keraguan menyergapnya saat Ndil menyalakan motor dan siap berlalu.
‘Gimana kalo malah ilang beneran? Haish! Ngrepotin aja!’
Ndil membuka dompet untuk mencari identitas pemiliknya. Dia tidak tega kepada orang memiliki dompet itu sembari membayangkan jika dia sendiri atau ibunya yang kehilangan dompet. Untungnya pemilik dompet ternyata tinggal tidak jauh dari lokasi Ndil menemukannya.
“Masya Allah! Alhamdulillah! Matur nuwun, Nduk. Ibu malah belum tahu kalo dompet ibu jatuh. Ini baru saja sampai rumah. Tadi habis belanja diantar anak Ibu, terus dia buru-buru pergi lagi buat main futsal. Pinarak, Nduk, monggo.”
“Maaf, Ibu. Sudah sore. Saya langsung pulang. Kasihan Ibu saya pasti sudah menunggu.”
“Duuh, kok buru-buru banget. Tinggalnya di mana, Nduk?”
“Sendangsari, Bu. Dekat masjid. Maaf, nggih, saya nyuwun pamit.”
“Hla! Deket ternyata. Besok insya Allah ibu main ke sana, ya. Biar kenal sama keluarganya Genduk.”
Ndil membiarkan Bu Fatimah memeluk tubuhnya, mengusap punggungnya, memegangi lengannya, menatap matanya, dan memeluknya kembali lalu bersama berjalan ke halaman rumah wanita yang berulang kali mengucap syukur itu.
Ketika Bu Fatimah benar-benar berkunjung keesokan harinya, Ndil merasa dunia begitu lucu. Bagaimana bisa wanita dengan pembawaan lembut, tutur kata halus, serta senyum semanis rayuan pujangga itu berputrakan seorang pria tanpa kaidah semacam Yana?
Dada Ndil kembali melepuh mengingat kejadian kemarin di ATM. Ndil melotot sekilas kepada pria itu sambil memerotkan bibir, mengirimkan sinyal permusuhan dengan jelas. Tentu saja Ndil melakukannya tanpa sepengetahuan dua wanita sepuh yang setelah berkenalan langsung mengobrol dengan hangat dan menyenangkan itu, seolah-seolah mereka adalah sahabat masa SMA yang berjumpa setelah sekian lama. Yana terlihat kaget menanggapi aksi Ndil, tetapi tak urung senyum hadir di bibirnya.
Ndil sama sekali tidak menoleh kepada Yana yang tidak berhenti mencuri pandang ke arahnya. Dia fokus menghidangkan wedang jahe dan ketan panggang. Kemudian, Ndil menyempatkan beramah-tamah dan ikut berbincang dengan kedua wanita yang sama-sama tinggal berdua dengan anak bungsunya itu. Namun, sikapnya terhadap Yana sama sekali tidak berubah.
“Belum nemu yang cocok katanya, Bu Ajeng.”
“Persis. Lha, tapi, ya, kita bisa apa? Anak jaman sekarang beda dengan kita dulu yang bisanya cuma manut.”
“Kecuali wes mentok atau sadar kalo yang kita ajukan benar-benar pilihan bagus. Nggih, tho?”
Kedua wanita paruh baya itu terkekeh dan entah mengapa Ndil merasa bisa menebak pembicaraan keduanya. Ndil mendengar penggalan obrolan mereka sekembalinya dia dari dapur untuk mengambilkan cangkir wedang jahe kedua untuk mereka. Dan gadis itu merasa jengah sehingga dia memilih undur diri dengan alasan ada telepon dari temannya untuk urusan pekerjaan. Ndil takut ibunya akan menagih janji bahwa dia akan menuruti permintaan ibunya untuk satu hal itu.
“Mudah-mudahan Ibu enggak ketipu sama wajahnya! Bisa-bisanya orang itu ngomong dengan halus penuh tata krama. Coba kalo Ibu tahu kejadian kemarin. Dih!” Ndil bersungut-sungut sambil menutup pintu kamar.
Ndil lega karena ibunya tidak pernah membicarakan kunjungan Bu Fatimah kecuali mengatakan bahwa hati ibunya senang mendapat saudara baru yang menyenangkan dan nyaman diajak berbincang. Itulah mengapa Ndil terkejut mendapati Yana menemuinya sepekan kemudian setelah kunjungan pertamanya.
“Saya memang mau menemui Mbak Ndil. Tadi saya sudah matur dan ngobrol sama Bu Ajeng sambil nunggu Mbak Ndil pulang sepedaan.”
Ndil tetap diam mendengar jawaban Yana atas pertanyaannya. Meskipun enggan, atas nama sopan santun Ndil sempat bertanya maksud Yana mengunjunginya.yang disampaikan dengan rasa enggan
“Kita dijodohkan … dan saya setuju.”
Sebuah petasan besar seolah-olah diledakkan di kepala Ndil. Dia membelalak kepada pria di depannya yang dekik di kedua pipinya begitu kentara saat sedang tersenyum seperti sekarang. Lantas, Yana berbicara dengan suara sehangat dan seempuk kue talam yang baru saja diangkat dari panci.
“Saya sudah mendapat semua informasi perihal Mbak Ndil.”
Ndil bengong mendengar pengakuan Yana dan dia masih melongo ketika pria itu menceritakan bahwa dia mendapatkan semua informasi itu setelah selama sepekan rutin bersambang menemui Bu Ajeng sebelum berangkat kerja.
“Saya masuk kerja jam sembilan.” Yana menjawab ketidakmengertian Ndil.
Ndil terdiam. Dia tak mengira ibunya menyimpan rahasia serapat ini. Dia mulai menghitung waktu dan jarak tempuh dari rumah Yana ke tempat kerja lelaki itu yang ternyata hanya sepuluh menit jika mengendarai motor. Cukup banyak waktu yang dimiliki Yana untuk mengobrol dengan ibunya.
Ndil masih mengkhawatirkan apa saja yang diceritakan ibunya kepada Yana ketika lelaki itu mengatakan bahwa kejujuran Ndil terkait dompet telah memikat hati Bu Fatimah sedemikian rupa. Kunjungan mereka yang pertama sebenarnya upaya Bu Fatimah agar Yana bertemu dengan Ndil.
“Saya minta maaf soal pertemuan pertama kita. Tapi setelah ini dan seterusnya, saya akan berusaha selalu menjadikan Mbak Ndil yang lebih utama dibandingkan saya sendiri.”
“Cowok galak, enggak mendahulukan cewek, enggak jaga perasaan perempuan, bisa-bisanya manut banget sama ibunya? Bukannya kemarin lalu sebel banget sama saya?!”
“Siapa suruh jadi cewek manis banget. Egois, manja, sopan sama orang tua, perhatian, jujur, udah gitu pinter lagi. Salah kalo saya naksir?!”
Ndil terlongong-longong. Sekarang dia yakin bahwa bujang di depannya ini memang kurang adonan saat dicetak. (*)
15122021
Dhilaziya. Perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata