Seikat Edelweis Kering

Seikat Edelweis Kering

Seikat Edelweis Kering
Oleh : Jeevita Ginting

Kapan lalu terdengar kabar seorang gadis di desa tetangga terserang penyakit aneh. Aneh, karena saat sakitnya kambuh, badannya panas, juga muncul bintik-bintik merah di sekujur tubuh. Pada saat itulah, dia akan lari sambil berteriak kepanasan lalu berusaha menggigit orang yang berada di dekatnya, seperti binatang buas. Orang-orang di desanya yakin bahwa penyakit aneh itu akan menular pada siapa pun yang dia gigit. 

Gadis itu yatim piatu, lebih tepatnya lahir tanpa memiliki seorang ayah. Ibunya diperkosa oleh entah siapa. Tak ada seorang pun yang mau mengurusnya setelah sang ibu meninggal. Pada akhirnya, orang-orang mengasingkan dia ke gubuk yang berada di hutan, pembatas antara desa ini dan desa mereka. Jujur saja saya penasaran, entah berita itu benar atau tidak, tapi yang pasti malang sekali nasibnya, tinggal sendirian di tengah hutan. Mungkin dia tidak akan lama bertahan hidup. Bisa saja binatang buas menerkamnya, kan?

“Mas Aji.”

Saya menoleh, lantas bangkit dari kursi sambil tersenyum. Saya pun menjabat tangan orang yang menyapa barusan. 

“Eh, Pak Kades, silakan duduk.” Saya mempersilakan lelaki yang begitu dihormati itu. Sudah lima belas tahun beliau menjabat sebagai kepala desa di sini. Bukannya tak ingin memiliki kepala desa yang baru, tetapi entah kenapa warga desa merasa senang jika beliau yang menjabat sebagai kepala desa, dan memang belum ada yang pantas menggantikan posisinya. Sejauh ini hanya itu alasannya. Dan mungkin saja segera tak akan ada lagi alasan semacam ini.

Pak Kades memesan segelas kopi pada Mbak Roh, pemilik warung, lantas duduk bersebelahan dengan saya. Malam ini rasanya memang sangat dingin. Waktu yang pas menikmati segelas kopi dan singkong goreng. 

“Jadi, kamu serius mau ke hutan menengok gadis gila itu?” tanya Pak Kades kemudian.

Saya menggosok-gosokkan telapak tangan ke gelas berisi sisa ampas kopi yang masih terasa hangat, sembari memikirkan kembali gadis itu sejenak. Keputusan saya sudah tepat, dia memerlukan pertolongan. Sebagai seorang dokter, saya sudah disumpah untuk membaktikan hidup guna kepentingan peri kemanusiaan. Dan ya, sekaranglah saatnya, saya akan menolongnya.

Saya pun akhirnya mengangguk menanggapi pertanyaan Pak Kades. “Iya, Pak. Saya ingin tahu, sebenarnya dia itu sakit apa. Siapa tahu saya bisa membantunya, kan.” 

Mbak Ros menyajikan segelas kopi ke hadapan Pak Kades. Dia pun segera menandaskannya dengan terburu-buru. Mungkin ada kepentingan lain yang sedang menunggunya. Setelah kopi itu habis, beliau lantas menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan pada Mbak Ros.

“Kamu tetap harus berhati-hati, ya. Bisa gawat kalau terjadi sesuatu pada dokter kebanggaan desa ini,” tutur Pak Kades sambil tersenyum dan menepuk-nepuk pundak saya. “Mbak Ros, saya permisi dulu, ya. Itu sekalian buat bayar kopi sama gorengan yang Mas Aji makan,” tambahnya ketika Mbak Ros menyodorkan kembalian.

“Duh, jadi ngerepotin. Terima kasih banyak ya, Pak Kades ….”

“Iya, sama-sama, Mas Aji.” Pak Kades pun bergegas pergi.

Mbak Ros meraih gelas-gelas kotor di hadapan saya dari sisi kiri meja. “Mas Aji, katanya pilkades nanti Mas Aji mau mencalonkan diri, ya?” tanyanya kemudian.

Sudah yang kesekian kalinya saya mendapat pertanyaan seperti itu untuk hari ini. Entah dari mana berita itu berasal, tapi yang pasti, saya sama sekali tidak pernah berniat untuk mencalonkan diri sebagai kades atau perangkat desa apa pun. Ya, saya setuju kepala desa diganti, tetapi bukan berarti saya yang harus menggantikannya.

“Nggak, Mbak. Lagi pula saya sudah senang dengan pekerjaan saya sekarang.”

“Oh, begitu. Sayang banget, padahal kalau Mas Aji menjabat jadi kades, pasti desa ini bakalan lebih makmur.” 

Saya hanya tersenyum. Perempuan berusia tiga puluh tahunan itu terlihat kepayahan membawa gelas-gelas kotor di nampan yang sedari tadi dibiarkan di meja. Lap yang tersampir di pundaknya hampir saja terjatuh, tetapi dia berusaha menahannya dengan memiringkan kepala. Dari belakang, seorang gadis kecil menghampiri, lalu meraih nampan yang dia bawa. 

Karena sudah semakin larut saya memutuskan untuk pulang, mengingat besok juga harus berangkat ke desa gadis itu pagi-pagi sekali. “Saya permisi ya, Mbak Ros.”

***

Jaket tebal yang saya kenakan tak cukup untuk menghalau dinginnya angin malam yang mengusik tubuh. Beruntung, Ibu sudah menyiapkan sarung di dalam ransel. Saya pun menaruh ransel ke atas sebuah batu besar, tepat di bawah pohon edelweis yang tingginya sekitar dua meter. Namun, ranting dan dedaunannya sudah kering, begitu pun dengan bunga-bunganya. Seingat saya, bunga edelweis ini melambangkan keabadian, sayang sekali pohon ini akan segera mati. 

Saya duduk sebentar di atas batu sambil merapatkan sarung ke tubuh. Bunga-bunga edelweis ini tetap terlihat menawan meski sudah layu. Saya memejamkan mata sesaat, rasanya nyaman saat semilir angin nakal bermain-main di wajah. Tak lama, terdengar suara teriakan dari balik pepohonan rimbun sebelah kiri. Saya menoleh, lantas bangkit dan perlahan mulai mendekat ke sumber suara.

Ranting dan dedaunan kering yang terinjak sepertinya membuat seseorang di balik pepohonan menyadari keberadaan saya. Atau bisa saja dia memang sudah mengawasi sejak tadi? Entahlah, orang itu lari dan akhirnya menghilang di balik rimbun pepohonan. Wajahnya tak begitu jelas, tapi saya yakin dia seorang lelaki. Dan orang yang menjerit tadi sepertinya bukan dia. Siapa orang itu? Semakin dipikirkan, rasanya semakin membuat penasaran.

Saya memutuskan kembali berjalan. Kepala rasanya dipenuhi dengan praduga-praduga tentang lelaki itu yang mungkin saja … entah, semoga apa yang saya pikirkan tidak benar.

Dari kejauhan, tampak sebuah gubuk panggung kecil, mungkin luasnya hanya sekitar 2 × 1,5 meter persegi. Saya pun berlari ke sana. 

Tidak ada pintu. Jelas gubuk ini sama sekali tak layak disebut sebagai tempat tinggal. Apalagi tercium aroma busuk dari dalam sana. Dan di mana gadis itu sekarang? Saya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya ada tulang belulang dengan darah yang menggenang. Apa itu sisa dari makanannya?

Seorang lelaki menodongkan parangnya yang berlumuran darah ketika saya berbalik. Ah sial, saya terlambat!

Saya mendengar cerita dari para tetangga si gadis ketika menyambangi desanya tadi pagi bahwa, dia mungkin saja telah diguna-guna oleh ayahnya. Tepatnya lelaki berengsek yang telah memerkosa sang ibu. Dia pernah bercerita tentang sosok sang ayah, sebelum mengalami sakit aneh itu. Lelaki yang mengaku sebagai ayahnya itu pernah menemuinya sekali, dan menghadiahi seikat edelweis kering.

“Ternyata kabar itu benar, bukan sekadar rumor yang sengaja dibuat untuk menjatuhkan nama Pak Kades rupanya ….”

Pak Kades menyeringai, lalu melemparkan bunga edelweis kering berlumuran darah di genggamannya.

“Persetan dengan rumor! Lagi pula, dia sekarang sudah tidak ada lagi di dunia ini, kan! Dan bagaimana dengan kamu, Aji, masih mau menolongnya? Kalau begitu tolong dia di neraka!”

Sial! Pak Kades tidak sendiri, seseorang tiba-tiba membekap saya dari belakang. (*)

 

Jeevita Ginting. Perempuan yang selalu berusaha agar bisa menjadi lebih baik.

Editor : Fitri Fatimah

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply