Sehidup Semati
Oleh: Erien
Saking besarnya rasa cinta Sutomo, sejak berhasil menikahi Nurlaili, dia sering kali berjanji sehidup semati dengan perempuan berkulit cokelat itu. Janji yang diucapkan dengan sungguh-sungguh itu hanya dibalas dengan senyuman oleh Nurlaili. Sutomo selalu gemas melihat satu dekik di pipi kiri istrinya karena senyuman itu dan berakhir kecup sekilas tepat di lekuk itu.
Nyaris tidak ada pertengkaran di dalam rumah mereka. Rasa cinta Sutomo yang begitu besar dan pembawaan kalem Nurlaili membuat rumah tangga mereka adem. Bahkan, setelah berbuah dua anak perempuan, semua tetap baik-baik saja.
Kepada orang-orang, Sutomo selalu berkata bahwa Nurlaili adalah perempuan terbaik. Dalam keadaan susah dan senang, perempuan itu selalu mendampinginya. Wajah Nurlaili selalu dihiasi senyum saat melayani Sutomo. Meskipun yang disuguhkan terkadang hanya sepiring nasi berlauk tempe dan segelas air.
Tahun demi tahun berganti. Tepat di tanggal ulang tahun pernikahan mereka yang ke-32, Nurlaili jatuh sakit. Tubuhnya melemah meski Dokter tidak menemukan penyakit apa pun di tubuh Nurlaili.
“Sembuhlah, Sayang. Kita kan, sudah berjanji akan sehidup semati.” Sutomo mengusap lembut lengan istrinya yang terpejam.
Nurlaili membuka mata, menoleh, dan tersenyum. “Mas yang berjanji. Bukan kita,” lirih Nurlaili. “Nur mau tidur, ya, Mas.”
Sutomo terdiam.
Sepuluh menit kemudian air mata Sutomo meleleh. Dada Nurlaili tidak lagi bergerak naik turun. Tangannya jatuh tanpa daya saat anak bungsu mereka memeriksa Nurlaili dengan panik. Nurlaili tidak lagi bereaksi pada tepukan di pipi. Perempuan itu meninggalkan Sutomo dengan janjinya.
Benar apa kata Nurlaili, Sutomo yang berjanji, dia hanya tersenyum. Maka, jika sekarang dia mati lebih dahulu bukan salahnya. Lagi pula, bukankah takdir tidak bisa diatur?
Sejak kepergian Nurlaili, Sutomo lebih banyak berbaring dan terpejam. Makan pun harus dibawakan ke kamar dan disuapi oleh anak bungsunya. Bagi Sutomo, janji sehidup semati dengan Nurlaili adalah alasannya menjalani hidup. Maka, saat Nurlaili mati, seharusnya dia juga mati.
“Ayo ambil nyawaku, Tuhan. Agar aku tidak mengingkari janjiku pada Nurlaili.” Lelaki itu berbisik sambil terpejam.
Permintaan Sutomo tidak terkabul. Tentu saja dia tidak bisa mengatur kapan dia mati kecuali dengan bunuh diri. Sutomo tidak mau bunuh diri. Menurutnya itu bukan cara memenuhi janji sehidup semati. Dia mau Tuhan yang mengambil kehidupannya.
Hampir sepekan melagukan doa yang sama, Sutomo masih belum mati juga. Dia masih banyak berbaring dengan mata terpejam. Hanya pada saat buang air saja dia membuka mata dan beranjak dari kasurnya. Nasihat dua putri dan kerabatnya tidak mampu membuatnya bangun dan beraktivitas seperti dulu.
Sutomo tak berkata apa-apa. Kedua anaknya mengira Sutomo masih bersedih karena kematian Nurlaili. Tentu saja mereka benar. Namun, ada yang jauh lebih penting daripada itu. Baginya sekarang yang terpenting adalah meminta Tuhan agar mengambil nyawanya. Janji harus ditepati.
Dua pekan berlalu. Anak bungsu Sutomo mulai hilang kesabaran. Suaranya yang biasa lembut, beberapa kali nadanya mulai naik. Apalagi, Sutomo mulai menolak disuapi.
“Bapak cuma mau menepati janji.” Itu yang dikatakan Sutomo saat ditanya kenapa tidak mau makan dan tetap berbaring dengan terpejam.
“Janji Bapak itu tidak mungkin dipenuhi. Siapalah Bapak ngatur-ngatur Tuhan?” Anak bungsu Sutomo kembali kesal untuk ke sekian kali.
Sutomo menghela napas sambil tetap terpejam. Ada nyeri di hati saat mendengar kata-kata anak bungsunya. Nyeri karena semua yang dikatakan adalah benar.
“Bapak harus gimana?” Sutomo bertanya dan perlahan membuka mata, menoleh pada putrinya. Dia mulai putus asa karena tak bisa memenuhi janji.
“Ibu nggak benar-benar mati, Pak. Ibu hidup dalam badan aku dan Mbak Lani, anak-anak Bapak dan Ibu. Kalau Bapak nanti meninggal, sama saja. Ada kami. Bapak sama Ibu tetap hidup dalam badan dan pikiran kami. Janji Bapak nggak bisa dipenuhi. Bapak harus berdoa juga biar kami dan cucu-cucu Bapak ikut mati. Jadi jejak darah dan semua kenangan Bapak dan Ibu ikut mati.”
Sutomo terdiam sambil memandang langit-langit kamarnya.
“Maafkan Bapak, ya.”
Anak bungsu Sutomo memeluk erat bapaknya sembari sesenggukan. “Maafkan aku juga, ya, Pak.”
Sejak saat itu Sutomo tak lagi menghabiskan hari dengan berbaring dan terpejam. Dengan tubuh kurus dia kembali menjalani hari. Dua anaknya sangat gembira. Bergantian mereka menemani Sutomo bersama cucu-cucunya. Janji sehidup semati bersama Nurlaili terlupakan sudah.
Sepekan kemudian, setelah berpamitan untuk tidur, dada Sutomo tidak lagi naik turun. (*)
Kotabaru, 14 Januari 2022
Erien. Menulis adalah caranya mengasah empati dan kepedulian pada sekitar. Satu novel dan puluhan antologi sudah ia tulis. Masih terus belajar agar semakin baik dalam menulis. Kenali lebih dekat di akun Facebook: Maurien Razsya.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay