Seharusnya Aku yang Mati
Oleh: Mafaaza
Hari masih gelap, suara kokok ayam baru terdengar satu-satu, tapi Rasmini sudah beranjak dari tempat tidurnya. Berjalan bungkuk menuju tempat wudu yang terletak di luar rumah, berpegangan pada dinding kayu yang mulai lapuk. Udara dingin menyergap begitu pintu terbuka. Rasmini mengusap lengan, mengusir dingin yang menjilat kulit keriputnya.
Gemercik air terdengar nyaring saat wanita lanjut usia itu membuka kran pada bagian bawah galon bekas yang diisi air untuk berwudu. Galon itu didapat Rustam, putra sulungnya, dari depot air minum isi ulang tempatnya bekerja.
Rustam berdiri mematung di ambang pintu dapur, memakai baju koko dan sarung lusuh. Sebuah peci dengan warna yang telah memudar bertengger di kepalanya. Di tangan lelaki itu ada mukena dan sajadah. Setelah Rasmini selesai berwudu, lelaki itu memakaikan mukena untuk emaknya, kemudian menggandeng tangan keriput itu menuju musala.
Suara lantunan ayat suci mulai terdengar dari pengeras suara musala yang berjarak lima rumah dari tempat tinggal mereka. Bangunan tempat ibadah yang tadi gelap gulita—hanya diterangi satu lampu yang dibiarkan tetap menyala di bagian depan dekat jalan—kini sudah terang. Lampu teras dan bagian dalamnya sudah menyala. Artinya, sudah ada orang yang lebih dulu sampai di sana sebelum Rasmini dan Rustam.
“Itu pasti Kamiran,” gumam Rustam, menyebut nama salah seorang teman masa kecilnya.
Saat Subuh, musala itu hanya diisi oleh orang-orang renta seperti Rasmini dan Rustam. Berbeda halnya ketika masuk waktu Magrib sampai Isya, tempat ibadah itu ramai oleh anak-anak usia sekolah dasar yang mengaji di sana.
Pagi harinya, Rustam yang saat itu berusia enam puluh tahun, pergi ke tempatnya bekerja. Pemilik usaha pengisian air minum isi ulang itu sebenarnya tak tega mempekerjakan Rustam, tetapi lelaki paruh baya itu bersikeras untuk tetap bekerja di sana. Maka, si pemilik usaha pun tak bisa memaksa, dan kesepakatan pun disetujui bersama: Rustam boleh ikut bekerja di sana, dengan catatan hanya boleh membantu mencuci galon menggunakan mesin yang telah disediakan, tak boleh ikut mengisi air atau bahkan mengangkat galon.
Lelaki itu sengaja memilih tempat kerja yang tak jauh dari rumahnya. Itu sesuai keinginan Rasmini, “Jangan jauh-jauh, Tam. Aku sudah tua, sudah diincar malaikat maut. Bisa mati sewaktu-waktu.” Rustam hafal kalimat itu di luar kepala.
Siang itu Rustam masih bekerja seperti biasa. Berangkat setelah menyantap sarapan nasi goreng yang dibuatkan Rasmini, lalu berjalan dengan semangat menuju tempatnya mengais rupiah.
Anak Rasmini sebenarnya ada lima orang, bukan hanya Rustam saja. Akan tetapi, keempat anaknya yang lain telah pergi terlebih dahulu. Mereka meninggal hampir bersamaan, tertimpa reruntuhan bangunan ketika gempa melanda desa. Saat itu Rustam telah berusia dua puluh lima tahun dan telah memiliki rencana untuk menikah. Namun, rencana itu ia pendam dalam-dalam, tak tega meninggalkan Rasmini seorang diri di rumah. Bisa saja ia mengajak anak dan istrinya tinggal serumah dengan Rasmini, tapi Rustam terlalu takut, banyak kejadian mertua dan menantu yang tidak akur. Maka, lelaki itu memilih membujang, hingga raganya renta dimakan usia.
Sampai di tempat kerja, Rustam merasa dadanya sedikit sesak, tapi ia berpikir itu hanya kelelahan setelah berjalan saja. Rustam tetap beraktivitas, tak memedulikan dadanya yang semakin lama semakin sesak. Hingga saat ia pulang sebelum azan Asar berkumandang, baru selangkah ia masuk ke dalam rumah, tubuhnya langsung ambruk.
Rasmini yang melihat itu berteriak histeris, mengundang perhatian para tetangga. Tak lama, rumah kecil itu padat dipenuhi orang-orang yang penasaran dengan apa yang terjadi.
Sayang, Rustam tak dapat diselamatkan. Lelaki itu mengembuskan napas terakhir dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Rasmini memandang pilu tubuh Rustam yang terbujur kaku di hadapannya. Keceriaan wanita itu seolah ikut pergi bersama sosok yang telah ditutupi kain jarik itu. Tak ada lagi air mata di wajah Rasmini, hanya ada kepedihan yang mendalam di sana.
Berhari-hari Rasmini tak mau bangkit dari tempat tidur kecuali untuk salat. Para kerabat dan tetangga yang peduli dengan wanita renta itu sudah lelah membujuk, tapi tak ada yang berhasil. Rasmini tetap meratapi nasibnya. Ini bukan pertama kalinya ia ditinggal pergi oleh orang yang disayang. Akan tetapi, kepergian Rustam jelas berbeda, anak sulungnya itu rela mengabaikan kebahagiaannya sendiri demi bisa menemani ibunya. Tentu saja, kepergian Rustam meninggalkan luka yang mendalam di hati perempuan itu. “Bukankah seharusnya aku dulu yang mati?” Pertanyaan itu sering ia lontarkan setiap ada kerabat dan tetangga yang menjenguknya di dalam kamar.
“Mak, bangun, Rustam nunggu Emak salat Subuh di musala.” Sebuah bisikan menghampiri mimpi Rasmini. Wanita itu bergegas bangkit dari tempat tidur, berjalan bungkuk menuju tempat wudu yang terletak di luar rumah.
Romlah, salah seorang kerabat yang menemani Rasmini terbangun ketika mendengar suara pintu belakang terbuka, “Mak, mau ke mana?” tanyanya.
“Salat Subuh di musala, Rustam udah nunggu di sana.” [*]
Mafaaza, seorang perempuan penyuka hujan, bunga, biru, benang, dan pena.
Editor: Inu Yana