Segores Luka
Oleh: Jemynarsyh
Editor: Inu Yana
Aku tahu semua takkan sama lagi seperti dulu. Tiga hari yang lalu, tepatnya hari Sabtu, Ayah dan Ibu bertengkar hebat, saling berteriak menyemburkan amarah. Pecahan beling berserakan di lantai. Tatapan nanar Ibu pada sosok berpunggung kukuh—yang kian jauh tertelan jarak—dan tangisnya yang menyayat hati menjadi penutup akhir pekan yang kelam.
Semenjak kepergian Ayah malam itu, wajah Ibu tampak sayu. Matanya sembap dan ada lingkar hitam di bawahnya. Pertanda bahwa Ibu pun tak baik-baik saja, sama sepertiku. Kami terluka, juga kecewa kepada sosok lelaki satu-satunya di rumah ini. Lelaki penyayang keluarga yang diam-diam menduakan Ibu.
Aku hendak ke dapur membuat teh, tetapi langkahku terhenti saat mendengar suara pintu dibuka. Dengan langkah lebar aku menuju ruang tamu. Pandanganku terpaku pada sosok yang beberapa hari ini membuat hati nyeri. Langkahku melambat, seakan-akan ada beban berat yang menggelayuti tungkai kaki. Udara di sekitar terasa panas. Oh, bukan, bukan udara, melainkan perasaanku yang serasa terbakar melihat Ayah datang bersama wanita cantik yang lebih muda dari Ibu dengan lengan saling bertaut.
““Naren,” panggil Ayah, wajahnya sendu. Ia menghampiri hendak memelukku, tetapi aku beringsut mundur.
Ayah tercenung melihat sikapku. Aku tak peduli apa yang ada di pikirannya. Sungguh, meski ada sedikit rasa iba melihat wajah sedihnya. Ya, bagaimanapun aku adalah anak yang pernah mendapat kasih sayangnya hingga di usiaku yang kedua puluh tiga tahun. Biarlah, sikapku ini sebagai bentuk protes dari perbuatannya yang telah menorehkan luka kepada Ibu.
Aku berlalu pergi meninggalkan mereka begitu saja. Kembali ke dapur dan membuat teh. Berharap dengan menyeduh teh hangat perasaanku jadi lebih baik. Nyatanya itu hanya sebuah angan yang tak berwujud. Teh yang kubuat baru kuminum dua tegukan, tetapi aku harus segera pergi memenuhi panggilan Ibu.
“Naren! Suruh mereka keluar dari rumah ini,” pinta Ibu yang sedang berdiri di dekat jendela dengan tatapan sendu. Aku mengangguk menyetujui perintah Ibu.
Di sudut ruang kamar Ibu, tak jauh dari pintu, lelaki itu berdiri dengan kepala tertunduk. Sedang wanitanya masih menunggu di ruang tamu.
“Ayah, tolong tinggalkan kami,” pintaku seraya memeluk Ibu.
Hening. Tak ada balasan. Akan tetapi, derap langkah yang menjauhi kamar menunjukkan bahwa Ayah benar pergi meninggalkan kami berdua.
“Ibu, tenang, ya, sekarang istirahat lagi,” ucapku sembari menuntun Ibu ke ranjang. Ibu tak menyahut juga tak menolak. Ia meringkuk di ranjang seperti bayi dengan posisi membelakangiku.
Ibu sangat terpukul dengan apa yang sedang menimpanya. Di usianya yang sudah tak lagi muda, ia harus menerima fakta bahwa kekasih hatinya tak lagi setia. Ayah adalah cinta pertama Ibu, suka-duka mahligai pernikahan telah mereka lalui. Dua puluh lima tahun pernikahan selalu bersama. Ibu sering menceritakan kisah cintanya kepadaku. Dan aku tahu, sorot mata Ibu yang tampak berbinar menunjukkan bahwa Ibu benar-benar bahagia saat itu.
“Naren,” panggil Ayah seraya melongokkan kepalanya ke dalam kamar. “Ayah pulang dulu, Nak. Nanti Ayah kembali lagi setelah keadaan ibumu lebih baik.”
Buyar sudah lamunanku. Tanpa menoleh, aku mengangguk kaku menanggapi Ayah. Lalu terdengar suara pintu yang ditutup, dan hening. Rumah ini serasa hampa dan sepi. Tak ada lagi canda gurau di ruang keluarga, ataupun tingkah romantis Ayah dan Ibu yang selalu menghabiskan akhir pekan dengan menonton berdua.
Semua berubah begitu cepat. Aku belum siap, pun ibu, menerima satu episode ujian kehidupan yang Tuhan beri. Kuusap wajah Ibu yang terlelap. Tampak damai seiring dengan embusan napasnya yang teratur.
Aku naik ke atas ranjang, berbaring di samping Ibu. “Ibu wanita kuat. Naren sayang Ibu, kita pasti bisa melewati episode ujian kehidupan ini,” ucapku seraya memeluk Ibu, memberikan kehangatan juga kekuatan.
Air mataku kian tak terbendung di pelupuk mata. Tumpah sudah cairan bening itu membasahi wajah saat kurasa Ibu membalas pelukanku. Matanya yang sayu itu terbuka, membuatku kian tersedu. Kami berpelukan dengan bahu yang bergetar, menangis dalam hening. (*)
Palangka Raya, Ruang Rindu, 30 Mei 2021
Jemynarsyh. Gadis kelahiran Kalimantan yang sedang belajar aksara.