Segitiga (Episode 2)
Oleh: Karna Jayakarta Tarigan
Di suatu malam, saat aku sedang mengapung dan gentayangan seperti hantu malam, setelah menghabiskan begitu banyak minuman. Mendadak aku harus menumpahkan air kencing dan bergegas—dengan sempoyongan—mencari tempat pembuangan. Tibalah aku di satu sudut, di balik rimbunan gelap pepohonan dalam sebuah areal taman hijau. Baru saja resleting celana hendak diturunkan, mendadak mataku—dengan tidak sengaja—menangkap sepasang remaja yang sedang berciuman. Mereka asyik bercumbu seperti tidak memiliki rasa malu. Lupa tempat dan situasi. Sampai dengan suara gemericik air kencing yang menampar belukar daun-daun mungil, membuat mereka kaget dan terkesiap. Kedua sejoli itu seketika menghentikan kegiatan asyik masyuknya.
Dua pasang mata itu menatap mataku dengan serempak.
“Dion ….”
Mataku memang masih membayang. Alkohol yang nakal telah mengambil kendali atas penglihatan. Tapi walau tak begitu jelas dan samar, aku yakin sebenar-benarnya. Mataku tidak mungkin salah. Itu jelas mereka. Baju sama yang sering mereka kenakan, juga wajah dan senyuman yang sama, yang kukenal sehari-hari. Sejenak jantungku berdebar-debar. Gemuruh. Berdetak lebih cepat. Tetapi ini bukan tentang kaget, amarah, atau rasa kesal. Aku tak tahu, apa sebenarnya rasa itu.
“Maaf, aku mengganggu kalian.”
Tak ada kata-kata lain. Hanya itu yang mampu terucap dan hanya keheningan yang menyelimuti kami. Deru suara mesin dan bunyi gesekan roda-roda kendaraan yang menginjak aspal, seolah mengisi celah kebekuan di antara kami.
“Aku pergi dulu, ya, mau ngamen lagi, Gaes.”
Aku buru-buru pamit, agar terhindar dari rasa canggung ini. Namun, mereka hanya diam, tidak mengiyakan, tidak pula menjawab. Sepertinya mereka tidak bakal menduga akan kejadian barusan. Ketika aku pamit pun, kamu dan dia juga sebenarnya tahu, bahwa aku sedang berbohong. Adalah di luar kebiasaan, jika aku menaiki bus kota, saat jalanan mulai terlihat lenggang.
*
Segitiga ini akhirnya mulai merapuh. Kaki-kakinya mulai sedikit timpang, juga limbung. Seperti diriku yang sekarang. Dan aku yakin, lambat laun segitiga ini akan runtuh. Jika tidak oleh aku yang membuat porak poranda, pasti ada seseorang di antara kami yang akan memulai. Tinggal menunggu siapa yang akan memulai, tinggal menunggu waktu yang menjawab. Tetapi pemicunya sesungguhnya bukan aku, kamu atau juga dia. Pemicunya adalah cinta. Cinta memang bisa merusak persahabatan. Seharusnya aku, kamu, juga dia, membuat sekat kuat setebal baja pembatas jalan, untuk mengantisipasinya. Bukan malah tenggelam dan sibuk ke dalam perasaan masing-masing.
Semenjak kejadian itu, justru kamu dan dia malah semakin—lebih terbuka—memperlihatkan kemesraan kalian. Pernah di suatu senja, kalian datang bergandengan tangan dan saling menggenggam jari-jemari begitu erat. Wajahku memerah, seperti lembayung sore yang sedang marah.
Dan akhirnya, aku malah semakin terbakar dengan api cemburu. Bukannya menyiram dengan seember keikhlasan, justru aku malah memadamkannya dengan obat-obatan penenang. Jika masih kuanggap kurang, aku akan menggantinya dengan bergelas-gelas “air jalang”. Seluruh uang jerih-payahku mengamen seharian, habis tuntas tak tersisa. Bahkan untuk sekedar makan saja, aku harus meminta seribu-dua ribu kepada teman-teman yang lain. Aku menjadi pecundang yang payah.
Kini hidupku jauh berubah. Aku semakin meninggalkan “aku” yang dahulu. Lelaki kecil yang tangguh, gigih, dan pantang menyerah meski hidup penuh tantangan. Tak pernah aku menjumpai diriku yang sedemikian rapuh, kecuali saat Ibu pergi meninggalkan aku.
Aku tidak menangis, tidak juga meratapi keputusasaan. Aku justru merayakannya dengan teman-teman yang lain. Tenggelam bermain bersama teman baruku.
*
Teman baruku ini sungguhlah hebat. Ia mampu membuatku bersemangat, lupa akan kesedihan. Tetapi teman baruku juga sangatlah kacau. Ia mampu membuat mataku semerah dan segalak harimau lapar. Bahkan ia juga bisa membuat pengalihan-pengalihan. Mengajak berkhayal jika aku sedang bosan, mencuri gelak tawa dari sesuatu yang sebenarnya tidak lucu.
Akhirnya aku cuma ingin bersantai-santai saja. Sebab lututku selalu berat jika diajak mencari uang. Langkah kaki ini tidak tegas, sempoyongan, hingga tak mampu lagi mengejar bus kota. Aku mulai selamban siput. Padahal perutku yang sejengkal harus diisi setiap hari. Kata teman baruku, setelah ia masuk merasuki darah dan duduk manis bersemayam di dalam otak, “Gampang, kamu tinggal palak saja pengamen-pengamen luar yang kebetulan lewat. Toh, ia tidak akan berani melawan. Kamu berempat, ia sendiri ….”
Aku mencoba mengikuti sarannya, yang juga dipatuhi sepatuh-patuhnya oleh beberapa temanku yang lain. Ya, ia benar. Ternyata memalak pengamen-pengamen luar yang kebetulan lewat, bisa menjadi alternatif lain untuk menghasilkan uang. Mencari uang ternyata gampang. Sebegitu mudahnya. Tetapi sialnya, teman baruku tidak pernah memberi tahu konsekwensi terburuk yang akan kami dapatkan.
Suatu malam yang kelam. Datanglah serombongan pengamen asing yang sama-sekali tidak kami kenal. Mungkin berasal dari suatu tempat, yang tidak pernah kami ketahui tempat tongkrongannya. Pada awalnya mereka hanya datang berempat, mungkin untuk memastikan keberadaan aku dan teman yang lainnya saja. Aku ingat, satu orang yang kelopak matanya masih berwarna biru memar bekas bogem mentah tanganku, menatap dengan tajam.
“Iya. Itu benar dia,” katanya penuh dengan amarah kepada temannya.
Lalu meletuslah pertempuran hebat yang seimbang. Empat lawan empat. Satu orang berjual beli pukulan dengan satu orang. Sungguh sebuah pertarungan yang sangat seru. Hajar! Jangan ragu. Jangan kasih ampun, begitu kata temanku yang sedang duduk malas di dalam otakku menyuruh.
Kami semakin ganas melayani jual beli pukulan. Tetapi kami lupa, entah tidak tahu, entah tidak memperkirakan. Lalu datanglah segerombol pengamen lainnya yang juga tidak kami kenal, ikut meramaikan. Rupanya ini skenario yang sudah dipersiapkan. Pertarungan ini berubah seketika, menjadi pertarungan yang tidak berimbang. Kami berempat mendapatkan hujan pukulan dari arah mana saja. Hanya mampu bertahan dan sesekali menghindar.
Lalu kerumunan itu tiba-tiba bertambah riuh. Dia, sang pangeran tampan datang membantu bersama teman-temanku lainnya. Mereka segera masuk ke dalam areal pertempuran. Semangatku bangkit, kembali menyala dan berkobar-kobar. Aku mengambil benda apa saja yang sekiranya dapat diraih tangan dengan mudah. Sebatang kayu yang tergeletak di tepi tembok, berhasil aku dapatkan. Jelas aku mendapat angin. Pertarungan kembali berimbang dan semakin bertambah seru. Sampai satu teriakan kencang terdengar.
“Larriii ….“
Suara itu menghentikan semua kegiatan yang membuat hingar-bingar kedamaian. Seseorang tergeletak dan bersimbah darah. Siapakah dia? Apakah satu di antara mereka?
Aku berlari mendekati sesosok itu. Memperhatikan saksama. Aku terkejut. Dia … apakah tubuh itu benar-benar dia? Dia yang sebenar-benarnya teman, dia yang sebenar-benarnya sahabat. Dia, sang pangeran tampan! Aku panik dan berteriak setelah mengetahui siapa sosok itu sebenarnya.
“Ayo angkat, gotong ke rumah sakit. Cepat!”
Semua teman-teman serempak mengangkat tubuhnya. Sebuah angkot kami hentikan dengan sedikit memaksa, bahkan kami juga harus memohon kepada sopirnya, agar mau mencari akal untuk membelah kemacetan. Kamu duduk menangis sesenggukan di sampingku, setelah melihat apa yang terjadi. Aku hanya menunduk malu. Tidak bersuara, hanya diam dengan sejuta rasa sesal. Kali ini diam menjadi emas. Sial! Teman baruku yang sedari tadi berkecamuk banyak bicara di dalam kepala, tiba-tiba menghilang entah ke mana, tanpa memberikan sedikit ide, atau solusi melegakan. Ia bahkan pergi tanpa berpamitan seperti pengecut yang ketahuan. Aku geram, segeram-geramnya, sekaligus menyesal. Tidak memilah-milih, bagaimana seharusnya memilih teman.
*
Aku hanya hilir mudik berjalan penuh kecemasan. Ruang tunggu rumah sakit yang sebenarnya lumayan luas, jadi terasa sempit. Teman-teman yang lain hanya duduk gelisah menunggu, tidur membunuh waktu, atau jari-jemarinya memainkan ponsel, berusaha mengabarkan kepada teman-teman jalanan yang lainnya. Dan kamu, tetap menangis lirih tanpa henti sedari tadi.
Waktu terus berjalan. Tetapi tidak dengan merayap seperti biasanya, melainkan seirama dengan detak mesin penghitung waktu.
Tik … tik … tik ….
Suaranya mendominasi keheningan ruang. Kali ini aku memanjatkan doa. Sebuah hal yang belum pernah aku lakukan sebenarnya. Aku hanya berusaha mengikuti doa-doa yang sering disampaikan ustad-ustad di televisi. Sesekali juga aku sering mendengarnya, kala pemilik warung sedang menyalakan acara tausiah. Mungkin doaku itu tidak sebagus mereka. Semampuku saja. Tetapi ini setulus-tulusnya doa seorang anak yang tumbuh dan besar di jalan.
“Saudara, Dion … pasien sudah sadar. Silakan masuk ke dalam,” Suster memanggil.
Aku celingak-celinguk. Menoleh ke kanan kiri. Tidak menyangka namaku akan dipanggil. Perawat itu lalu membimbingku ke dalam bangsal. Dia terlihat sedang terbaring lemah di atas bantal putih yang empuk. Dari jauh kulihat ia tersenyum. Sungguh ia seorang petarung hebat. Setelah kehabisan begitu banyak darah, masih mampu bertahan. Aku buru-buru menghampirinya, lebih cepat dari langkah perawat itu.
Aku memandangnya dengan takzim. Menunduk pilu. Ada banyak sesal yang menumpuk di dada. Bagaimanapun juga, akulah penyebab dia terluka. Sebagai seorang sahabat, dia hanya mencoba membela temannya, aku.
“Lu suka Resti?” Tiba-tiba dia bertanya dengan nada yang lemah.
Aku menoleh, seolah tidak mengerti akan pertanyaannya.
“Gue tahu lu suka. Deketin aja, jika itu bisa bikin lu bahagia.” Matanya menatap sayu, tetapi terasa menghujam, menembus ulu hati. Sakit yang sangat.
Aku diam sebentar, memikirkan apa yang harus kujawab. Kemudian aku menggeleng tegas. Sebuah jawaban yang seharusnya.
“Nggak ada lagi yang gue inginkan. Gue … gue cuma ingin melihat lu sehat. Maaf, bikin lu seperti ini …. maafkan gue yang begitu bodoh.”
Aku menggenggam tangannya, sambil membisikkan sesuatu di kupingnya, “Tolong jaga dia. Tetaplah bertahan hidup. Please …. “
*
Segitiga ini tidak jadi runtuh, bahkan kaki-kakinya semakin kukuh. Aku, kamu, dan dia mulai menjalani hidup yang seperti biasa. Melupakan kejadian buruk itu. Aku mulai hidup kembali seperti dulu. Tegar seperti beton cor-coran di tepi jalan. Dan kami juga mulai bersama-sama lagi seperti dulu. Ceria seperti awalnya, meski kesulitan acap kali masih datang menghimpit.
Sampai di suatu ketika, pada suatu siang yang begitu ramah. Aku berjalan dengan seseorang. Seorang gadis cantik yang bisa juga kusebut: kekasihku. Tiba-tiba seseorang menarik tanganku dengan cepat dari sisi trotoar. Aku kaget tak terhingga, cemas tak karuan. Hingga tawanya yang begitu familiar menenangkan hatiku. Serupa suara klakson sember! Rupanya dia yang sedang berusaha menggoda. Sesuatu dikatakannya perlahan di telinga kananku.
“Lu jadian sama dia? Cantik banget. Buset …. Gue yang ngincer dah lama aja belom kesampaian. Nggak salah dia mau sama lu? Pangeran Kodok, hehehe …. “
“Asep!” Teriakku sebal sambil tertawa-tawa kesal.
@Karna Jaya Tarigan, seorang penulis pemula, pengagum Michael Crichton.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata