Segenggam Beras Pembawa ke Surga

Segenggam Beras Pembawa ke Surga

Segenggam Beras Pembawa ke Surga

Oleh: Mila Athar

“Aku dan orang yang membantu anak yatim, disurga nanti seperti ini, beliau menunjuk jari telunjuk dan jari tengah, artinya sangat dekat.” (HR. Bukhari)

***

Mentari baru sepenggalah muncul. Kesibukan belum tampak di mana-mana. Ada yang masih terlelap asyik menyeberangi lautan mimpi. Fajar siap menyambut. Tinggal kita memilih untuk melewatkan pagi atau menyambutnya. Banyak yang ternyata memilih mengabaikan, asyik dengan pejaman mata yang syahdu. Tak mau diusik meski pagi menawarkan kebaikan melebihi dunia seisinya. Berbeda dengan sebuah rumah sederhana khas Jawa zaman dulu. Atapnya masih terbuat dari batang-batang bambu dan beralaskan tanah. Ada dua dipan di rumah itu, yang ketika kena gerakan sedikit, maka akan berkeriut seolah akan patah. Dalam satu dipan, berdesakan tiga anak yang masih kecil, asyik bergelung dengan selimut sarung. Masih asyik menyelami samudra mimpi.

Ilham, kepala keluarga di rumah itu tengah mengambil air wudu. Bersiap menunaikan salah satu sunnahnya. Dua rakaat sebelum Subuh, tak pernah dilupakannya. Segera ditunaikan shalat tersebut. Berdoa khusyuk untuk keluarganya.
Setelah selesai dia menghampiri istrinya, sebelum bergegas pergi ke masjid.

“Beras hari ini hanya cukup untuk makan pagi ini, Mas.”

Tiba tiba istrinya berujar di sebelahnya. Ilham hanya tersenyum mendengar hal ini.

“Tapi jatah untuk hari ini sudah kamu sisihkan, kan?”

“Sudah, kutaruh di baskom. Sudah hampir penuh,” jawab istrinya pelan.

“Berarti hari ini tinggal kita antarkan.”

Istrinya mengangguk ragu.

“Emm, bagaimana kalau beras itu kita pakai dahulu, besok kalau sudah beli, kita ganti.”

Takut-takut istrinya berkata, Ilham menggeleng

“Itu bukan tindakan bijak, beras itu bukan hak kita lagi.”

Istrinya menghela napas, sudah menduga dengan jawaban ini. Tetapi dia hanya mencoba bertanya, siapa tahu suaminya berubah pikiran, padahal ia paham lelaki itu sangat teguh pendirian.

Ya, setiap kali ia akan menanak nasi kewajibannya adalah menyisihkan satu cangkir beras. Hal itu berlangsung setiap hari, tidak boleh tidak. Itu titah suaminya, yang harus dijalankannya. Sebagai seorang istri ia hanya patuh dan menjalankan titah tersebut. Tiba-tiba kepalanya dielus.

“Tidak usah cemas, rezeki sudah ada yang mengatur. Allah sudah menjamin rejeki tiap-tiap makhluk. Baik itu dari hewan yang sekecil apa pun seperti di lubang semut.” Rahma hanya mengangguk dan tersenyum.

“Segera diantar ya, beras itu hari ini,” Ilham kembali berkata.

Istrinya kembali mengangguk. Ilham kemudian beranjak dan menunaikan kewajiban pertamanya di pagi ini. Dia menuju musala kecil yang ada di desanya. Mengumandangkan ayat-ayat Tuhan untuk membangunkan manusia dari alam mimpi. Istri Ilham, Rahma hanya menghela napas. Segera dia bergegas menyelesaikan tugasnya hari ini dengan perut yang sudah cukup membesar. Beras tersebut harus segera ditanak untuk sarapan anak-anaknya.

Mentari telah menampakkan diri. Bersiap untuk menunaikan tugasnya hari ini. Sinarnya cerah menyusup dari sela-sela pohon. Sang Raja Siang tersebut menyisipkan sebuah asa, bahwa terang pasti akan datang sekelam apa pun malam. Ilham telah siap dengan sepeda ontelnya. Peralatan tempurnya berupa alat sol telah diikat di boncengan. Meski mentari belum lama terbit, baginya pantang menunda-nunda waktu. Semakin pagi bertebaran di muka bumi, semakin cepat pula rezeki dijemput.

Bergegas setelah berpamitan dengan Rahma, dia berangkat. Sambil mengelus perutnya, Rahma melihat suaminya hilang di pengkolan jalan. Doanya semoga sang suami dimudahkan dan dilancarkan dalam mencari rezeki hari ini.

Usman dan Ihsan anaknya yang nomor satu dan dua menjulurkan tangan untuk pamit. Mereka siap menuntut ilmu di SD kampung mereka.

“Mak, Usman minta bayar LKS ya, besok. Kemarin wali kelas manggil Umar karena nggak bayar-bayar,” tiba tiba anak lelakinya yang paling besar tersebut berkata.

Rahma agak tertegun mendengar hal ini. Seulas senyum ia paksakan di wajah kemudian dia mengangguk. Umar tersenyum kemudian mengajak adiknya segera bergegas. Mereka terbiasa berjalan sejauh 3 km untuk menuju ke sekolah. Rahma memandang kepergian kedua anaknya dengan wajah sendu. Risaunya kembali bertambah pagi ini.

Mentari sudah memancarkan sinar yang cukup terik. Rahma berjalan pelan dengan membawa baskom yang ia tutup dengan selembar kain. Si kecil yang nomor tiga, ia gandeng di sebelah kanan. Peluhnya menetes dan segera ia usap dengan ujung baju. Tinggal satu belokan lagi maka ia akan sampai di rumah Fatim.

“Mau ke mana, Mbak?” tiba-tiba ada yang menyapanya.

“Mau ke rumah Fatim, Mbak.”

Dia menjawab cepat, walaupun tadi agak tersentak. Mbak Narti tetangga yang rumahnya berjejer dengan Fatim menyapanya.

“Oh, memberikan beras seperti bisanya, ya?”

Rahma tersenyum dan hanya mengangguk pelan. Perkataan Mbak Narti terdengar agak sinis di gendang telinganya. Namun, ia tak menggubris.

“Mari Mbak, saya duluan.”

Segera dia pamit dan meneruskan langkahnya ke tempat Fatim, setelah melihat anggukan Mbak Narti disertai senyuman yang agak dipaksakan.

Rumah sederhana Fatim sudah tampak, ada beberapa pot bunga di halaman rumahnya. Cat biru, tembok rumah itu tampak kusam. Segera diketuknya pintu dan mengucap salam.

Beberapa kali mengetuk, akhirnya ada jawaban dari dalam rumah. Pintu dibuka dan muncul sesosok wanita dengan jilbab hitam yang menjuntai. Sosok wanita tersebut tersenyum ketika melihatnya.

“Wah, Mbak Rahma. Mari Mbak, silakan masuk.” Fatim pemilik rumah tersebut mempersilakannya masuk.

Rahma menggeleng kemudian berujar, “Ndak usah Tim, ini aku hanya ingin menyerahkan beras saja, kok. Ndak bisa lama-lama karena rumah tidak ada orang.”

Mata Fatim berkaca-kaca mendengar hal ini.

“Makasih ya, Mbak. Sebenarnya aku ndak enak nerima beras ini. Selalu saja merepotkan keluargamu, Mbak.”

“Tidak Tim, jangan bilang begitu.”

“Makasih banget ya, Mbak, atas kebaikan Mbak dan sekeluarga. Semoga Allah memberikan keberkahan dan membalas segala kebaikan keluarga Mbak.”

“Aamiin, terima kasih Tim atas doanya. Beras ini tidak seberapa, maaf sekali kalau hanya ini yang bisa kami berikan.”

“Enggak, Mbak. Bagiku beras ini sangat berarti.”

Rahma tersenyum mendengar hal ini, hatinya membuncah bahagia.

“Alhamdulillah, kalo begitu aku langsung balik rumah ya, Tim.”

“Iya, sekali lagi terima kasih ya, Mbak.”

Rahma mengangguk dan segera pamit. Segera dia menggandeng Aish dan bergegas kembali ke rumah.

“Gaya banget memang, sok baik pada orang, padahal sendirinya juga butuh.”

“Iya Ti, Rahma itu anaknya udah mau empat. Suaminya juga kerjanya serabutan gitu, kok ya masih sempat sempatnya ngurusin orang lain. Anaknya mau dikasih makan apa.”

“Aku malah kasihan sama anak-anaknya.”

“Belum lagi kalau lahiran nanti, mau pakai apa bayarnya?”

Suara-suara sumbang itu mampir di telinganya ketika langkahnya telah tiba di samping rumah Mbak Narti. Rahma terhenyak. Jaraknya hanya beberapa jengkal dari tiga orang tersebut, Mbak Narti dan dua tetangganya yang lain. Posisi mereka membelakangi dirinya, sehingga tidak sadar Rahma telah berada di belakang mereka. Hatinya berdenyut sakit mendengar mereka membicarakan kondisi keluarganya. Air matanya tiba-tiba menetes. Tak sanggup lagi mendengarkan, dia kemudian memilih berbalik arah dan memilih jalan memutar menuju rumahnya.

Ia berjalan, sambil menghapus air matanya. Aish, putrinya yang paling kecil hanya memandangnya heran. Dia tahu, putrinya tersebut belum paham apa pun. Sehingga ketika diajak memutar, dia hanya menurut. Aish memang anak yang cenderung pendiam.Sesampainya di rumah, dia terpekur di meja makan. Tak sanggup lagi mengerjakan pekerjaan rumah. Bahkan Aish yang bermain di halaman rumah sendirian, ia biarkan. Air matanya kembali menetes mendengar perkataan-perkataan tetangganya tadi.

Ia kembali teringat kejadian satu setengah tahun yang lalu. Waktu itu suaminya merasa sedih dan prihatin atas kejadian yang menimpa teman baiknya, Rohim. Rohim, adalah suami Fatim yang meninggal akibat tabrak lari. Saat itu Fatim begitu terguncang karena kepergian Rohim begitu mendadak dengan 3 orang anak yang masih kecil. Esok paginya setelah kematian Rohim, Ilham mengambil keputusan untuk membantu keluarga Rohim sekecil apa pun itu. Dia memutuskan untuk menyisihkan beras satu cangkir kecil setiap hari. Dalam dua minggu ketika beras tersebut sudah cukup banyak, ia memerintahkan Rahma untuk menyerahkan kepada Fatim.Tidak seberapa memang, tapi Ilham berpendapat, beras itu sebagai bentuk kepeduliannya kepada keluarga temannya. Walaupun hidup mereka juga masih serba kekurangan. Rahma saat itu hanya patuh terhadap perintah suaminya.

Maka sejak saat itu keluarga mereka rutin memberikan beras kepada Fatim. Rahma menghela napas mengingat kenangan itu, dan akhirnya dia memutuskan untuk beranjak menyelesaikan pekerjaan rumah tangga hari ini. Coba ditepisnya suara suara tak mengenakkan hati dari tetangga-tetangganya tadi.

Sore menjelang, mentari bersiap mengundurkan diri. Angin sepoi-sepoi menyapa, menguarkan hawa sejuk sore ini. Rahma memandang ketiga buah hatinya dari beranda rumah. Mereka bertiga tampak bermain dengan gembira. Gundah kembali muncul di hatinya. Suaminya belum kembali. Ia juga merasa gamang, beras untuk hari ini sudah habis tak bersisa. Ia cemas, apakah suaminya berhasil mendapatkan uang kali ini. Kalau tidak, dipastikan mereka tak bisa makan apa-apa besok pagi. Penghasilan sebagai tukang sol sepatu memang tak menentu. Sering Ilham pulang dengan tangan hampa karena tak seorang pun menggunakan jasanya. Meski begitu, Ilham tak pernah putus asa. Ilham juga selalu menguatkannya.

Tampak dari kejauhan suaminya mengayuh sepeda dengan pelan. Lama kelamaan sosoknya semakin dekat. Ketiga anaknya yang menyadari kedatangan ayahnya segera berlari dan menyongsong lelaki tersebut. Mereka tampak tertawa bersama. Rahma yang melihat tersenyum sambil mengelus perutnya.

Ketiga sosok terkasihnya tersebut akhirnya menghampirinya di beranda. Ia segera mencium tangan suaminya takzim. Wajah suaminya kelihatan bahagia, senyum sedari tadi terus muncul di wajahnya.

“Mas kelihatan bahagia sekali. Ada kejadian apa?”

Ia akhirnya memutuskan untuk bertanya. Rasa penasarannya tak terbendung.

“Hari ini Mas tidak sengaja bertemu dengan kawan lama. Tadi kami ngobrol cukup lama. Dia ngajak Mas gabung untuk membantu usahanya. Usaha sepatu lukis.”

“Alhamdulillah”, ucapnya pelan.

Tiba tiba suaminya menyodorkan beberapa lembar uang ke arahnya.

“Ini uang buat belanja. Hasil dari beberapa orang yang menggunakan jasa Mas hari ini.”

“Kok, banyak banget, Mas?”

Sebenarnya tadi yang mengesol sepatu cuma dua orang. Sisanya, uang dari kawan lamaku. Tadi aku sempat membuat beberapa pasang sepatu lukis. Iseng dipotret kawanku tersebut, dan ternyata peminatnya banyak sekali. Sepatu yang aku lukis langsung terjual semua.”

Puji syukur ya Allah, rasa syukur tak hentinya ia panjatkan dalam hati. Ia menitikkan air mata. Menyesali ketika ia merisaukan rezeki dari Allah.

“Loh, kok malah nangis?” suaminya kaget.

Rahma menghapus air mata bahagianya. Ia menceritakan kejadian yang dialaminya hari ini. Tentang doa Fatim dan cibiran dari para tetangga tentang keluarganya.

Ilham tersenyum mendengar cerita dari istrinya.

“Jangan pernah merisaukan tentang rezeki, selama kita mau berusaha. Mas dari dulu yakin, selama kita membantu sesama, Allah tidak akan membiarkan umatnya kekurangan. Kita harus yakin itu. Apalagi yang kita bantu adalah anak-anak yatim.”

Rahma mengangguk, membenarkan perkataan suaminya.

“Memang di mata orang kita hidup kekurangan. Tapi perlu kamu tahu, sebenarnya kita selalu dicukupkan oleh Allah. Selama kita hidup berumah tangga kita tak pernah kekurangan. Selalu saja ada rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Itu mungkin kuasa Allah lewat doa-doa dari keluarga Fatim. Padahal yang kita beri tidak seberapa. Tetapi Allah membalasnya begitu setimpal.”

Rahma tergugu mendengar penuturan suaminya kali ini. Betapa ia selama ini sering meragukan rezekinya. Ya Rabb, nikmat mana lagi kami dustakan. Jadikan kami keluarga yang gemar bersedekah di jalan-Mu. Doanya di senja sore ini menutup gundah dalam hatinya.(*)

Ponorogo, 10 Agustus 2001.

Mila, biasa menggunakan nama pena Mila Athar. Gadis Jawa yang saat ini masih belajar menulis. Memiliki keinginan bisa menebar manfaat lewat tulisan. Sangat suka membaca. Baginya membaca bukanlah hobi tapi menjadi bagian dari kewajiban. Membaca juga merupakan asupan gizi bagi seorang penulis. Saat ini sangat berharap bisa bergabung lewat berbagai forum kepenulisan untuk memperkaya wawasan dalam dunia tulis menulis. Jika ingin berteman bisa lewat FB: Mila Athar

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply