Segelintir Perantau di Bulan Ramadan

Segelintir Perantau di Bulan Ramadan

Segelintir Perantau di Bulan Ramadan
Oleh: Uzwah Anna

Perut mulas. Aku mesti bolak-balik ke toilet. Ini gara-gara kemarin malam aku makan bakso dengan cabe tak kira-kira saat buka puasa. Demi jaga gengsi, kutambahkan tujuh sendok sambal dalam semangkuk baksoku. Sebenarnya aku sudah tahu dan sangat paham dengan kemampuan lambungku akan efek cabe. Mulut memang kuat pedas. Namun, bertolak belakang dengan perut, panas! Jika saja tak puasa, akan segera kutelan obat penghenti diare.

Aku mesti minta izin pada leader line-ku untuk sekadar istirahat sejenak di ruang medis yang berada di ujung lorong gudang dekat musala. Aku rebahan seraya meringis menahan mulas. Kuelus-elus perut agar lebih nyaman.

***

Sampai di kontrakan tak ada satu hal pun yang kulakukan kecuali mencopot sepatu dan kaus kaki. Seragam kerja masih melekat di badan. Ah, aku malas sekali untuk mencopotnya. Tulang dan otot semacam lemas semua. Badanku terasa loyo karena kehabisan cairan sebab puasa dan diare. Pun juga memang sejak lama tubuh terasa remuk redam akibat kelelahan. Sebentar lagi lebaran. Jadi, pihak pabrik menaikkan target yang gila-gilaan demi terjaganya stok selama libur panjang nanti. Tentu saja pihak perusahaan tak mau rugi. Maka, mereka memforsir tenaga karyawannya.

Selama bulan puasa, tak ada satu manpower pun yang lolos dari lembur. Enam hari selama seminggu kami bekerja selama dua belas jam. Dari jam delapan pagi hingga jam delapan malam. Dan ini sudah berlangsung hampir tiga bulan. Karena tempat tinggalku cukup jauh, maka aku sampai kontrakan sekitar jam sepuluh malam. Mandi, cuci baju dan menyetrika seragam untuk kerja besok—paling cepat hingga jam sebelas malam. Lalu besok pagi mesti kerja lagi. Begitu terus hingga badan remuk. Angka nominal di ATM memang lumayan sih, tetapi jika terus-menerus seperti ini, bisa penyakitan.

Duh, Gusti … maaf selalu mengeluh.

***

Selama satu tahun penuh, inilah hari yang paling kunanti-nantikan—bukan cuma aku, sepertinya sebagian besar perantau yang beragama Islam: mudik! Rata-rata harga tiket pas hari-hari begini melonjak hingga dua kali lipat. Bahkan, temanku yang mau mudik ke luar pulau pernah ditawari tiket oleh calo dengan harga empat kali lipat. Ya, mau bagaimana lagi, karena kehabisan tiket. Daripada tak bisa berlebaran di kampung, maka dengan sangat terpaksa dia menelan pil pahit itu—melakukan deal dengan makelar tiket. Jangankan dia, aku saja yang mendengar kisahnya terasa tercekik. Untung saja dia tak terserang asma dan masih lancar bernapas sampai sekarang. Belajar dari kejadian buruk tersebut, untuk mudik kali ini aku memesan tiket jauh-jauh hari sebelum hari-H.

***

Sejak semalam aku tak bisa tidur. Setelah packing barang yang akan dibawa mudik, aku membersihkan kontrakan. Kasihan tempat tinggalku ini, jarang sekali kurapikan dan kubersihkan. Untung saja jarang orang yang main ke sini. Sebenarnya aku memang tak pernah mengizinkan siapa pun—kecuali teman akrab—main ke kontrakanku. Aku risi jika dikomentari jorok. Lantas mereka menyarankannku agar begini-begitu. Hei, lu siapa? Aku merasa bahwa diriku adalah manusia yang merdeka dan berdaulat seutuhnya. Jadi, daripada diceramahi macam penjahat, lebih baik tak kuizinkan saja cecunguk-cecunguk itu menginjakkan kaki di kontrakanku. Toh, aku berhak menentukan arah hidupku. Merdeka!

“Tempat kayak gini rawan sekali DBD. Ngebersihin butuh waktu berapa lama, sih? Tinggal ambil kain lap, sapu ama pel-pelan kan beres!” ucap salah seorang teman bernada memerintah.

Ih, Sok tahu! Yang paling tahu keadaanku sebenarnya, ya tentu aku sendiri. Buktinya bertahun-tahun tinggal di sini aku baik-baik saja. Belum pernah terkena DDB dan sakit lainnya ‘yang serius’. Alhamdulillah ….

Aku mendapat cuti selama lima belas hari. Seminggu cuti resmi Lebaran, seminggu lagi merupakan separuh dari jatah cuti tahunan. Kenapa tak diambil saja semua jatah cutinya? Nggak, ah, sayang. Ntar Kalo ada apa-apa, sulit ngurus cuti lagi. Akan tetapi, jika masih ada sisa cuti semacam ini, kemungkinan besar tak ribet buat mengurus perizinan cuti mendadak—jika terjadi sesuatu.

Cuci baju, nyetrika, nyapu, ngepel semuanya beres. Capek! Jadi, aku rebahan agar punya tenaga buat besok mudik. Namun, ternyata meski sudah berusaha dipejam-pejamkan, mataku tak mau tidur. Aku terjaga hingga jam tiga pagi. Mungkin karena aku tak sabar ingin segera pulang kampung. Kangen …. Ya, sudah aku putuskan untuk tak tidur saja sekalian sampai pagi.

[Ntar balik ke sini bawain gua kripik apel ama kripik salak, yak!]

[Non, balik jangan lupa cangking apel Malang]

[Nggak muluk-muluk. Bawain aja apa yang khas dari daerah lu]

Ya, ampun …. Mudik saja belum, mereka sudah pesan beraneka ragam. Huft! Bodo, ah! Kuabaikan saja chat dari teman-teman se-line-ku itu. Toh, aku merasa tak punya kewajiban memenuhi tuntutan mereka. Jika nanti memang masih ada uang lebih, ya aku bawakan oleh-oleh. Gitu aja, beres!

Jam lima pagi aku sudah siap dengan kaus oblong hitam polos, celana jeans berwarna biru gelap, dan sepatu kets putih. Terlihat sangat santai. Iya, tentu saja. Karena aku malas buat beribet-ribet ria. Beberapa lembar kantong plastik sudah kusiapkan di salah satu kantong ransel berwarna hitam—buat berjaga-jaga karena aku mabuk kendaraan. Aku memang sangat gemar dengan warna hitam. Makanya, hitam selalu mendominasi atas segala benda yang kumiliki.

Dua hari lalu, aku sudah bilang pada bapak ojek langganan agar menjemputku jam tujuh tepat. Sebab di tiket bus tertera jadwal pemberangkatan jam 08:00. Tak apalah aku menunggu sejam. Ah, rasanya sudah tak sabar bertemu Bapak, Ibu di kampung.

Aku suka pada bapak ojek ini sebab dia tepat waktu. Pernah beberapa kali aku berlangganan pada ojek lain, tetapi selalu molor. Ketika kutanya apa alasannya, mereka hanya menjawab, “Tenang aja, Neng …. Kan cuma telat lima belas menit.”

Cuma lima belas menit? Itu kalau orang tenggelam sudah ngambang tak bernyawa. Seenaknya saja bilang, “Cuma lima belas menit.”

***

“Terima kasih, Pak,” ucapku pada bapak ojek langganan seraya menyerahkan ongkos.

“Kagak apa-apa, Neng. Bawa aja dulu. Pan, Neng mau mudik,” tolak bapak yang rambutnya sudah didominasi oleh uban tersebut. Dia menghadangkan tangan agar aku mengambil uang itu kembali. “Pan ntar, Neng balik lagi di mari. Itu duit buat beli makanan aja di jalan, Neng.”

Seumpama yang bilang begini supervisorku, maka tanpa pikir panjang langsung saja kukantongi lagi uang ini. Namun, aku tahu betul kondisi bapak ojek ini. Ojek adalah pekerjaan utamanya. Sementara beliau mesti menghidupi istri beserta ketiga cucunya yang masing-masing berusia SD dan SMP. Jadi, semakin bapak ojek keukeuh menolak, semakin keukeuh pula aku memberikannya pada beliau.

“Lah, ini banyak amat, Neng. Pan ongkosnya kagak sampe sebegini banyak,” ujarnya seraya menggenggam uang tersebut.

Lantas kubilang, “Itu rezeki Bapak.”

Aku tak ingin berdebat lagi masalah uang. Lantas aku meminta beliau agar segera pulang. Sebenarnya bapak ojek ingin menunggu hingga busku berangkat, tetapi aku melarangnya. Jika tetap di sini kemungkinan besar langganan beliau akan pindah ke yang lain. Aku hanya merasa tak tega jika pendapatan beliau berkurang hanya untuk menemani keberangkatanku pulang ke Malang.

Matahari semakin terik. Lewat satu jam dari jadwal yang tertera di tiket.  Kepalaku mulai oleng ke kanan ke kiri, ngantuk! Namun, sepertinya belum ada tanda-tanda bus hendak berangkat. Beberapa kali aku mengelus-elus perut. Meski diare sudah membaik, tetapi kadang-kadang masih ada rasa mulas.

Pukul sepuluh. Para gadis dan ibu-ibu yang sedari tadi telah berdandan heboh mulai kuyu. Wajahnya mengkilap sebab perpaduan make up murahan dengan keringat yang tak henti-hentinya mengalir. Anak-anak kecil mulai merengek. Mereka mencopot bajunya dan hanya mengenakan kaus kutang. Kaum bapak bertindak dan menunjukkan taringnya, mereka uring-uringan. Menuntut sopir bus segera mengemudikan armadanya.

Akhirnya setelah perdebatan alot dengan alasan tak jelas, bus berangkat setelah terlambat tiga jam! Benar-benar tak amanah. Kelak jika mudik lagi aku tak ingin menggunakan jasa bus ini. Sangat merugikan penumpang! (*)

 

Uzwah Anna: Lahir, tumbuh dan besar di sebuah pelosok kampung, di Kabupaten Malang. Gemar kulineran bakso dan soto. Pecinta kudapan tape goreng, tahu isi dan cilok. Suka berkebun buah dan bunga. Mawar merah merupakan bunga terfavorit!

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata